Tak Menyerah meski di Jalan yang Tak Mudah
Potret guru-guru hebat itu bisa jadi jamak di daerah lain di Nusantara. Semangat mereka dalam mendidik siswa di tengah situasi ini seolah memberikan secercah harapan bagi masa depan anak-anak di daerah itu.
Kebijakan belajar daring di tengah pandemi Covid-19 membuat Dodi Riana (37), guru di SD Negeri Jayamekar, Kampung Bantaka, Desa Muaracikadu, Kecamatan Sindangbarang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, harus menghadapi dunia baru. Tantangannya bukan hanya infrastruktur jalan di Jabar selatan yang buruk, melainkan kemiskinan yang mencengkeram warga.
”Tidak semua orangtua siswa memiliki ponsel pintar. Kami (para guru) harus berjalan sekitar satu jam untuk sampai di salah satu desa yang paling ujung agar siswa dapat tetap belajar,” kata Dodi.
Di sekolah berjarak sekitar 150 kilometer dari Jakarta itu, tiga guru harus menangani 94 siswa. Artinya, setiap guru memegang dua kelas sekaligus. Kini beban itu semakin berat. ”Pada hari biasa, kami sudah kewalahan. Sekarang kami harus menempuh jarak yang cukup jauh karena harus berjalan kaki,” ujarnya.
Bersama Mulyana (35), guru lainnya, mereka berangkat menuju kampung tempat tinggal siswa. Sebelumnya, mereka mampir ke sekolah untuk mengambil buku pelajaran dari kelas 1 hingga kelas 6.
Para siswa di sekolah itu berasal dari sejumlah kampung, antara lain Bantaka, Panyusupan, Ciheulang, dan Cipait. Tidak setiap hari mereka mengunjungi siswa yang sama. Supaya adil, jadwal pun disusun.
Hari Senin dan Selasa adalah agenda berkunjung ke rumah siswa di kampung terjauh dari sekolah, yakni Kampung Pojok, Desa Muaracikadu. Jalan yang mereka lalui adalah jalan setapak yang hanya bisa dilewati pejalan kaki. Dodi harus menitipkan sepeda motornya di desa sebelah, kemudian dilanjutkan berjalan kaki 4- 5 kilometer menuju kampung itu.
Namun, lelah seketika sirna saat Dodi melihat antusiasme para siswa. ”Mereka sudah menunggu kedatangan kami untuk belajar di rumah. Terkadang di sela-sela itu ada yang curhat kepada saya, katanya mereka kangen belajar di sekolah,” ujar Dodi sambil tertawa.
Bagi-bagi masker
Dodi dan Mulyana membagikan masker kain kepada siswa untuk dipakai saat pelajaran berlangsung. Upaya pencegahan ini tetap dilakukan meski dalam keterbatasan. Mereka tidak bisa bertatap muka setiap hari, maka semua pelajaran sebisa mungkin diberikan hingga pukul 16.00 per hari. Dodi pun memberikan PR yang cukup banyak kepada anak-anak untuk dikumpulkan minggu depan.
Jalan lain yang harus dilalui adalah jembatan anyaman bambu dan tanah liat. Saat cuaca hujan deras, kekhawatiran kerap muncul terlebih saat sungai meluap dan jembatan tidak terlihat lagi. Meski begitu, Dodi dan Mulyana melakukannya dengan tulus dan ikhlas.
Sebagai guru honorer, mereka hanya digaji Rp 300.000 per bulan. Pembayaran gaji dilakukan setiap empat bulan sekali. Baginya gaji itu tidaklah cukup menutup kebutuhan keluarga, belum lagi di situasi sekarang. Dia harus mengeluarkan uang bensin lebih banyak, biasanya hanya 1 liter menjadi 3 liter.
Menghadapi tantangan serupa, Saini (47), guru kelas 1 SDN 1 Tegalkarang, Kabupaten Cirebon, Jabar, juga punya solusinya. Namun, ia melalui dengan tidak mudah.
”Saya coba memberi tugas lewat grup Whatsapp, tetapi tidak efektif karena sebagian murid saya, orangtuanya jadi tenaga kerja Indonesia. Jadi, mereka diasuh oleh nenek yang cuma tahu video call,” kata Saini, Rabu (29/4/2020).
Sementara bapak si murid umumnya bekerja sampai sore hari. Ada yang jadi petani, kuli, perajin rotan, dan penggembala kambing. ”Kata orangtuanya, kalau belajar pakai handphone, bertengkar terus dengan anak. Kalau sama bu guru kan nurut,” ujar Saini menirukan ungkapan salah seorang wali murid.
Itu sebabnya, sejak kegiatan di sekolah yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota itu diliburkan, orangtua tunggal untuk tiga anak ini memilih keliling kampung demi mengajar 33 siswanya secara langsung. Menggunakan sepeda motor, Saini melintasi areal persawahan untuk ke rumah siswa hingga sejauh 3 kilometer.
Tidak semua rumah murid didatangi. Jika ada siswa yang rumahnya berdekatan, Saini memilih satu rumah untuk berkumpul. Setidaknya ada empat atau lima siswa yang ikut belajar. Lebih dari itu bisa memicu kerumunan.
Protokol pencegahan virus korona baru penyebab Covid-19 pun dilakukan. Sebelum belajar, Saini dan siswa mencuci tangan dengan sabun. Tidak ada jabat tangan. Saini yang mengenakan masker juga menjaga jarak lebih dari 1 meter dengan siswa.
Dalam sepekan, ia berkeliling hingga empat kali untuk mengajar sedikitnya selama sejam. Acap kali ia membawa spidol dan papan tulis sendiri. Sekolah memang tidak terbatas pada ruang kelas.
”Bukannya saya bandel karena tidak mau diam di rumah seperti anjuran pemerintah. Masalahnya, anak-anak butuh belajar. Seminggu enggak ketemu, anak yang mulai bisa membaca ternyata lupa lagi,” kata Saini yang telah menjadi guru 17 tahun terakhir.
Mengajar siswa kelas 1 SD, katanya, tidak cukup dengan penjelasan. Belajar angka 1 sampai 100, misalnya, guru harus menuliskannya, menunjukkan langsung. Jika belajar jarak jauh, siswa sulit memahaminya. Itu sebabnya, ia sukarela berkeliling ke rumah siswa.
”Kadang sekolah membantu uang bensin. Wali murid juga ngasih hidangan saat belajar. Itu sebelum puasa,” katanya diiringi tawa.
Saini bertekad melanjutkan metode pengajarannya dengan berkeliling ke rumah siswa di tengah pandemi Covid-19 yang juga belum pasti berakhir sampai kapan. ”Mau bagaimana lagi? Kita (saya) juga kan makan gaji sebulan. Masak hanya duduk di rumah. Ini kan beban moril. Walaupun saya juga punya pinjaman di bank,” ujarnya.
Saini bahkan mengkritik jika ada guru yang lebih mengutamakan mengurus bisnis dibandingkan memaksimalkan masa belajar jarak jauh. Dia berharap, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat segera mencari solusi atas persoalan belajar jarak jauh di tengah pandemi.
Kandeg (34), salah satu wali murid kelas 1 SDN 1 Tegalkarang, mengapresiasi kegigihan Saini yang rela datang dari pintu ke pintu demi mengajar siswa. ”Ini bisa membantu orangtua murid. Tidak semua orangtua punya telepon pintar. Kalau handphone jadul, banyak. Orangtua juga pas-pasan, enggak setiap hari ada kuota internet,” kata kuli bangunan ini.
Kandeg mengaku, ia kesulitan mengawasi anaknya belajar karena harus bekerja pagi hari dan kembali ke rumah menjelang petang. Sementara istrinya menjadi asisten rumah tangga di Taiwan dan rencananya pulang ke Indonesia tahun depan. Ia berharap, pandemi segera berakhir dan anaknya bisa belajar seperti biasa di sekolah.
Namun, tinggal di kawasan perkotaan tidak membuat semuanya menjadi lebih mudah. Yoga Adipratama (25), pengajar kelas IV di SDN Harapan 1 Kota Cimahi, Jabar, merasakan banyak pengalaman baru mengajar 31 murid via aplikasi Whatsapp.
”Kebetulan banyak siswa kami berasal dari keluarga tidak mampu. Tidak semua anak punya telepon genggam sendiri. Ada yang dipakai orang tuanya bekerja hingga sama sekali tidak punya telepon genggam,” katanya. Orangtua siswa banyak bekerja sebagai buruh pabrik hingga pengemudi ojek daring.
Ia mencontohkan ada siswa yang mengirimkan tugas sekolah saat tengah malam. Alasannya, telepon genggam dibawa orangtua yang bekerja sebagai pekerja daring. Ada juga siswa yang alpa mengirimkan tugas karena ia dan keluarganya benar-benar tidak memiliki telepon pintar. Akibatnya, dia harus meminjam telepon pintar milik temannya.
Bahkan, ada tiga anak yang saya datangi rumahnya untuk kirim tugas secara manual karena tidak punya telepon pintar dan rumahnya jauh dengan teman sekelasnya.
Dengan segala dinamika baru, Yoga mengatakan, sulit mendapatkan standar pengajaran sama seperti sebelum pandemi. Kemudahan daring, katanya, belum mampu mengalahkan metode tatap muka. ”Selama pandemi, saya lebih banyak memberi materi softskill terkait Covid-19 ketimbang materi akademik,” katanya.
Namun, Yoga mengatakan, kondisi ini tetap memberi banyak pelajaran. Bagi siswa, kondisi ini membuatnya membiasakan diri dengan pembelajaran jarak jauh. Menurut dia, bila sengaja direncanakan hasilnya tidak akan secepat sekarang.
”Guru juga dituntut lebih kreatif. Untuk mengisi penilaian siswa, misalnya, saya menggunakan aplikasi Quizizz dan Google form yang lebih memudahkan pekerjaan. Sebelumnya keduanya tidak pernah dipakai,” katanya.
”Kami bisa langsung praktik belajar jarak jauh. Mungkin kalau sengaja dilakukan bisa memakan waktu lama,” katanya.
Potret guru-guru hebat itu bisa jadi jamak di daerah lain di Nusantara. Semangat mereka dalam mendidik siswa di tengah situasi ini seolah memberikan secercah harapan bagi masa depan anak-anak di daerah itu.