Penguasaan Olah Rasa, Tantangan Menari di Panggung Virtual
Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 memaksa mayoritas kegiatan berpindah ke ruang virtual, termasuk tari. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran hilangnya olah rasa tarian.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perkembangan teknologi digital memengaruhi penyajian kegiatan tari tidak lagi hanya muncul di ruang dan waktu terbatas, melainkan meluas ke berbagai media dalam jaringan. Fenomena ini memicu perdebatan makna pesan tari yang ingin disampaikan seniman.
Peneliti kajian tari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Purnawan Andra mengatakan, ketika teknologi digital dipakai, seniman harus memahami konsep komunikasi tari luar jaringan (luring) dan dalam jaringan (daring) yang berbeda. Teknologi digital memungkinkan video presentasi tari bisa semakin mudah diedit dan dipotong. Penonton bisa mempunyai keleluasaan memandang gerakan sampai menonton ulang sajian pertunjukan tari.
Ketika presentasi tari bisa disajikan secara daring. Siapapun bisa menarikan berbagai genre tari di manapun dan memakai media digital apapun. Kondisi ini menerobos batas yang selama ini melekat di tari, mulai dari teknik, penyajian, estetika, dan media yang digunakan.
Dia mengakui situasi seperti itu tak hanya terjadi di ranah dunia seniman tari. Masyarakat secara umum kini bergeser dari aktivitas agraris, industrial, dan sebagainya ke informasi.
Tari adalah kegiatan menghadirkan tubuh melalui representasi gerak yang hadir dalam teknik. Jadi, penari harus menguasai teknik-teknik gerak.
Andra tetap percaya, tari adalah kegiatan menghadirkan tubuh melalui representasi gerak yang hadir dalam teknik. Jadi, penari harus menguasai teknik-teknik gerak.
Di tengah pembatasan sosial karena Covid-19, pemanfaatan teknologi digital adalah keniscayaan. Ketika tari disajikan melalui medium berbasis teknologi digital, teknik gerak harus dikuasai sehingga pesan pun tersampaikan.
"Ketika tekukan lutut berbeda, bahkan hanya satu sentimeter, maka pesan dan kesannya pun berbeda. Rasa dalam tari merupakan pencapaian pasca teknik. Ketika penari hadir di ruang fisik lalu virtual, kecerdasan tubuh tetap utama," ujar dia saat menghadiri diskusi virtual "Kiprah Tari di Masa Pandemi" yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya Yogyakarta, Rabu (29/4/2020), dari Yogyakarta. Diskusi virtual ini bertujuan untuk memperingati Hari Tari Sedunia.
Tak tergantikan
Penari Lengger Lanang asal Banyumas, Rianto, meyakini, spirit kehadiran tubuh secara luring tidak tergantikan. Ada olah rasa yang berkurang ketika kegiatan tari disiarkan di ruang virtual.
Dia kini tinggal di Jepang. Pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah Jepang menyebabkan dia harus berkreasi menghadirkan kegiatan tari dan pelatihan di ruang virtual. Satu minggu pertama, dia merasa tidak mempermasalahkan cara baru itu. Namun, pekan berikutnya dia mulai dilanda kebosanan.
Menurut pria yang pernah membintangi film Kucumbu Tubuh Indahku ini, kekuatan ekspresi mata dan gerak tubuh akan langsung dirasakan oleh penonton ketika tari dibawakan secara luring atau langsung. Kendati dia harus mengakui, saat pertunjukkan luring pun ada kelemahan, misalnya, teknik menari masih belum dikuasai secara optimal.
"Berkegiatan di ruang virtual yang dilakukan terus-menerus akan berdampak besar ketika pandemi Covid-19 usai. Sebagai seniman tari, saya khawatir aktivitas seperti itu mengurangi olah rasa. Ketika tubuh dihadapkan pada teknologi, \'vibranya\' berbeda," imbuh Rianto.