Ritual masyarakat adat Osing dipercaya mampu mengusir keburukan termasuk pagebluk atau pandemi. Pagebluk adalah istilah yang lebih ramah di telinga orang Jawa ketimbang pandemi.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·5 menit baca
Aneka tradisi ritual bersih desa masih hidup dan dihidupi oleh masyarakat adat Osing yang merupakan suku asli Banyuwangi. Ritual tersebut dipercaya mampu mengusir keburukan termasuk pagebluk atau pandemi. Pagebluk adalah istilah yang lebih ramah di telinga orang Jawa ketimbang pandemi.
Cerita orang-orang tua, pagebluk adalah situasi di mana banyak kematian terjadi secara mendadak. ”Isuk lara, sore mati. Sore lara, isuk mati (pagi sakit, sore meninggal. Sore sakit, pagi meninggal)” menjadi ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana kematian yang sangat cepat.
Di Banyuwangi, Jawa Timur, kisah tentang pagebluk erat hubungannya dengan tradisi-tradisi bersih desa yang sampai saat ini masih rutin dilaksanakan. Beberapa tradisi tersebut adalah Barong Ider Bumi Kemiren dan Seblang Olehsari. Tradisi ini biasa digelar rutin setiap tahun pada bulan Syawal di dua desa berbeda, Desa Kemiren dan Desa Olehsari.
Letak kedua desa ini berdampingan. Keduanya ada di Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Anda yang hendak ke Gunung Ijen dari arah pusat Kota Banyuwangi pasti akan melewati salah satu desa tersebut. Pendiri sanggar Barong Sapu Jagad, Sucipto (54), menuturkan, munculnya kesenian barong di Desa Kemiren tidak bisa dilepaskan dari wabah penyakit yang sempat menyerang desa tersebut ratusan tahun lalu.
Guna mengusir wabah penyakit tersebut, sesepuh Desa Kemiren yang biasa dikenal dengan nama Mbah Buyut Cili mendapat wangsit lewat mimpinya. ”Mbah Buyut Cili diminta mencari kayu pulai (Alstonia scholaris) sepanjang dua jengkal atau sekitar 60 sentimeter (cm) dan memasukkan kayu tersebut ke dalam sumur. Kendati perintah itu sudah dilakukan, wabah penyakit tak kunjung hilang. Sang sesepuh kembali mendapat wangsit. Ia diminta memahat kayu pulai menjadi topeng,” ujarnya.
Konon, saat topeng dibuat, ada kekuatan lain yang menggerakkan tangan Buyut Cili. Dari kayu tersebut tercipta kepala barong dan macan. Setelah kedua topeng tersebut tercipta, penyakit pagebluk hilang. Sebagai ucapan syukur, topeng barong dan macan tersebut dikembangkan dalam bentuk tari-tarian.
Tarian barong biasa dimunculkan saat upacara ”Ider Bumi” yang dilakukan pada 2 Syawal (hari kedua Lebaran) atau Senin dan Jumat pertama pada bulan Dzulhijah. Hal itu juga menjadi ritual mengusir penyakit dan segala keburukan di Desa Kemiren. Setiap bagian dan warna barong mempunyai makna filosofis.
Demikian juga dalam hidup, kita jangan bergerak atau hidup semaunya sendiri.
Makna tersebut menjadi pegangan dan nilai-nilai yang dihidupi masyarakat Osing di Desa Kemiren hingga saat ini. Sucipto mencontohkan, arti filosofis dari permainan barong Kemiren yang dimainkan dua orang. Di bagian belakang, ada pemain yang sedang mengintip dan mengikuti gerakan pemain depan.
”Pemain yang ada di depan harus ingat dengan pemain di belakang, jangan bergerak semaunya sendiri. Demikian juga dalam hidup, kita jangan bergerak atau hidup semaunya sendiri, kita harus memikirkan anak cucu di belakang kita,” kata Sucipto. Sucipto mengakui, makna filosofis tersebut bukanlah hasil karangannya. Makna-makna tersebut diwarsikan secara turun-temurun bersama dengan topeng barong. Adapun Sucipto merupakan generasi keenam penerus barong Kemiren.
Tradisi ritual masyarakat Osing yang juga berhubungan dengan pagebluk ialah tarian Seblang Olehsari. Ritual tarian ini menyimpan daya magis dan dipercaya mampu mengusir segala keburukan yang ada di Desa Olehsari. Seblang merupakan ritual tradisional yang dilakukan secara turun-temurun sejak tahun 1930 setiap bulan Syawal. Tradisi ini diawali sebulan sebelum pelaksanaan.
Mula-mula akan ada seseorang yang kerasukan. Orang tersebut akan menunjuk siapa penari yang harus tampil dalam ritual Seblang Olehsari. Penari yang terpilih biasanya merupakan keturunan dari Mbah Milah, penari Seblang yang pertama. Umumnya penari terpilih itu ialah seorang gadis. Pada hari H ia akan menari selama tujuh hari berturut-turut sejak pukul 14.00 hingga jelang Magrib.
Pada hari ketika ritual tersebut diselenggarakan, kepulan asap dari tungku kecil menyebarkan harum kemenyan di sekitar panggung permanen di halaman taman desa. Tabuhan gamelan dan pukulan gendang mengiringi syair berbahasa Osing yang dinyanyikan sejumlah wanita. Kolaborasi aroma dan irama membuat nuansa mistis semakin menyeruak.
Saat beraksi, wajah penari tersembunyi di balik omprok (mahkota). Di atas panggung permanen berdiameter 4 meter, ia menari mengitari para pemusik yang berkumpul di tengah. Ia menari tak sadarkan diri. Gerakan tarian yang diperagakan ada dalam pengaruh roh leluhur yang merasuki raganya. Budayawan Banyuwangi, Aekanu Hariyono, mengatakan, ada beberapa gerakan khas yang diperagakan oleh penari seblang di tengah kondisi trans atau tidak sadar. Gerakan yang paling kerap ia peragakan ialah gerakan tangan keluar.
Aekanu menyebut gerakan tersebut dengan istilah nyapon atau gerakan seperti menyapu. Gerakan ini melambangkan upaya mengusir pagebluk dan segala keburukan dari Desa Olehsari. Selain itu, penari Sebelang juga kerap berkacak pinggang, hingga tangan dan lengannya membentuk segitiga. Aekanu mengatakan, bentuk segitiga menjadi simbol konsep Tri Hita Karana dalam Hindu atau konsep Habluminallah-Habluminannas-Habluminalam dalam Islam.
Konsep tersebut menekankan hubungan antara manusia dengan Pencipta, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. ”Gerakan lain yang juga kerap muncul ialah merentangkan tangan atau ndhaplang. Gerakan ini merupakan lambang ada keseimbangan atau keselarasan hidup manusia dengan alam,” ujar Aekanu.
Menghadapi masalah
Setiap zaman memiliki caranya sendiri dalam menghadapi masalah. Ritual dan tradisi yang dilakukan masyarakat Osing saat itu dipercaya mampu mengusir pagebluk. Sementara saat ini, ilmu pengetahuan menjadi ujung tombak perlawanan melawan pandemi. Namun tidak ada salahnya apabila nilai-nilai yang ditawarkan oleh tradisi budaya tersebut dihidupi. Di masa Pandemi Covid-19 saat ini, kita masih bisa belajar dari tradisi Barong Ider Bumi dan Sebelang Olehsari.
Saat ini kita diharapkan patuh pada imbauan pemerintah dan disiplin. Kita tidak bisa bergerak atau hidup semaunya sendiri. Kita harus memikirkan anak cucu yang ada di belakang kita, seperti yang diajarkan Barong Ider Bumi Desa Kemiren. Seperti gerakan dalam tarian ritual Sebelang Olehsari, saat ini pula kita sedang dihadapkan pada usaha untuk menyelaraskan diri antarsesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya.
Pandemi merupakan upaya bumi ini untuk menyeimbangkan kehidupan di dalamnya.
Pandemi Covid-19 memaksa manusia untuk tetap di rumah saja sebagai upaya menjaga kesehatan sesama manusia, entah itu keluarganya atau orang-orang lain di sekitarnya. Pandemi Covid-19 juga membuat pergerakan manusia menggunakan kendaraan berkurang sehingga mampu mengurangi polusi udara.
Pandemi pulalah yang akhirnya memaksa kita beribadah dari rumah untuk semakin mendekatkan diri kita secara personal kepada Tuhan. Pandemi merupakan upaya bumi ini untuk menyeimbangkan kehidupan di dalamnya.