Kartono Mohamad, Dokter dengan Visi Kesehatan Masyarakat yang Tajam
Kartono Mohamad (81), Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia periode 1985-1988, meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Selasa (28/4/2020) sore. Almarhum dikenal sebagai dokter bervisi tajam.
Oleh
DEONISIA ARLINTA & ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia kesehatan semakin berduka setelah kabar kepergian datang dari cendekiawan yang juga tokoh bidang kesehatan, Kartono Mohamad (81). Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia periode 1985-1988 ini meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Selasa (28/4/2020) pukul 16.25 WIB.
Menurut rencana, jenazah almarhum akan dikebumikan di TPU Bivak Karet pada Rabu ini. ”Belum diputuskan kapan (waktu pemakaman). Pagi,” ujar Goenawan Mohamad, adik Kartono, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (28/4/2020).
Kartono dikenal sebagai sosok yang kritis serta tidak pernah gentar memperjuangkan keadilan dan perbaikan di bidang kesehatan. Ia juga aktif di berbagai organisasi, seperti Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, Yayasan AIDS, dan Gerakan Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan. Salah satu capaian Kartono lainnya adalah membenahi organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada masa kepemimpinannya.
”Beliau adalah ketua IDI yang sangat inspiratif dan egaliter,” kata Ketua PB IDI periode 2018-2021 Daeng M Faqih.
Pada saat kepemimpinannya, IDI semakin diperkuat. Ia juga menggagas awal terbentuknya Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Selain itu, pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939, ini turut berperan dalam pendirian Badan Pembelaan Anggota PB IDI. Ia menilai badan ini diperlukan untuk memberikan pendampingan bagi dokter ketika menghadapi masalah etika kedokteran.
Tidak hanya berjuang di banyak organisasi, Kartono juga sering membagikan pemikirannya yang tajam dan kritis terkait kesehatan melalui banyak tulisan. Setidaknya ada 209 tulisannya yang dimuat di harian Kompas. Tulisan-tulisan tersebut mulai diterbitkan pada 1971 sampai 2016.
Banyak hal yang ia bagikan dalam tulisan-tulisannya, mulai dari persoalan kesehatan dasar, persoalan kebijakan dan pelayanan kesehatan, profesi dokter, etika kedokteran, rumah sakit, hingga obat-obatan. Penjelasan yang ia sampaikan komprehensif dengan bahasa yang cenderung mudah dimengerti.
Berbagai buku pun telah ia tulis, antara lain Pertolongan Pertama dan Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi. ”Ide Dokar, panggilan akrab yang menginspirasi saya sejak kecil dan ketika saya kuliah di FKUI. Buku catatan kuliah beliau dan buku teks membantu saya mendalami ilmu kedokteran,” tulis Pandu Riono, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dalam akun Twitter-nya.
Dokter dengan visi tajam
Kartono diingat sebagai dokter dengan visi kesehatan masyarakat yang sangat tajam dan jauh ke depan. Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia tahun 1985-1988 dan 1991-1994 itu rajin ”merekrut” dan membentuk ideologi advokasi pada anak muda. Boleh dibilang, Indonesia kehilangan seorang pejuang yang memiliki visi kuat dalam pembangunan kesehatan masyarakat, dokter yang tidak hanya memikirkan dirinya dan mendedikasikan hidupnya untuk kesejahteraan sosial.
Ketua Dewan Penasihat MKEK PB IDI Prijo Sidipratomo mengenang bertemu dengan Kartono waktu Mukernas IDI tahun 2008. Saat itu Kartono minta waktu untuk memperkenalkan Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI), sekaligus ”menantang” Prijo yang saat itu menjadi President Elect PB IDI dan menjadi Ketua PB IDI pada 2009-2012 untuk ikut memperjuangkan gerakan pengendalian tembakau. Hal itu pula yang mewarnai kegiatan PB IDI pada masa itu.
”Waktu itu tujuannya memengaruhi kebijakan pemerintah terkait tembakau sehingga pencapaian MDGs bisa lebih signifikan,” kata Prijo.
Prijo mengagumi visi Kartono terkait kesehatan sebagai modal pembangunan sumber daya manusia. Pengendalian tembakau mampu menghemat pengeluaran keluarga sehingga dana untuk membeli tembakau bisa digunakan untuk membeli makanan bergizi, yang pada gilirannya bisa menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Hal sama dirasakan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. ”Saya merasa bangga bisa bergaul dengan Pak Kartono Mohamad,” ujarnya.
Menurut Tulus, Kartono sangat egaliter dan humoris. Mampu bergaul tanpa berjarak dengan anak muda yang jauh dari segi usia ataupun pengalaman.
”Pak Kartono tidak segan berbagi ilmu. Sangat membantu membina dan membentuk ideologi advokasi anak muda, baik di bidang kesehatan maupun isu-isu publik lain,” tutur Tulus.
Pengalaman yang tak terlupakan bagi Tulus adalah saat para aktivis kesehatan masyarakat mempersoalkan hilangnya ayat tembakau dari Undang-Undang Kesehatan tahun 2009. Hal itu menjadi isu nasional dan akhirnya ayat tentang tembakau masuk kembali ke dalam UU Kesehatan.