Seniman dan pekerja ekonomi kreatif gotong royong secara mandiri agar tetap berkarya di tengah pandemi Covid-19. Pemasukan yang diperoleh dibagi kepada rekan-rekan lain yang membutuhkan.
Oleh
Mediana
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Agar tetap berdaya di tengah pandemi Covid-19, para seniman bergotong royong membantu satu sama lain. Melalui aneka proyek kreatif, mereka secara mandiri menyelenggarakan gelar karya dan diskusi interaktif.
Sejak Senin (20/4/2020), Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui platform jejaring digital bagi penari, Indonesia Dance Network, menjalankan program Saweran Online Talk. Diskusi dalam jaringan (daring) itu menampilkan pembicara berlatar belakang seniman tari dan dipandu oleh Ratri Anindyajati, produser independen dan manajer seni sekaligus penyintasCovid-19. Program disiarkan secara langsungdi akun Instagram Indonesia Dance Network serta kanal Youtube #budayasaya dan Indonesia Dance Network.
Pelaksana Tugas Ketua Bidang Program DKJ Rusdy Rukmarata saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (21/4/2020), mengatakan program Saweran Online Talk berlangsung sampai Kamis (23/4/2020). Konsep saweran dipilih karena merujuk ke kultur masyarakat. Ketika berlangsung seni pertunjukan keliling, misalnya, penonton biasanya memberikan uang kepada pemain yang bersifat sukarela atau saweran.
Hasil saweran akan didistribusikan kepada seniman yang membuat karya tentunya setelah dipotong 25 persen untuk donasi, 5 persen administrasi, dan 2,5 persen pajak penghasilan.
Sementara itu, melalui program Saweran Online, seniman tari bisa menampilkan karya dan menggelar kelas yang pendistribusiannya melalui internet. Apabila warga yang menonton suka, mereka boleh menyumbang seikhlasnya. Caranya adalah mereka klik link URL yang ada di caption video, lalu menyelesaikan pembayaran melalui Doku dan OVO. Hasil saweran akan didistribusikan kepada seniman yang membuat karya tentunya setelah dipotong 25 persen untuk donasi, 5 persen administrasi, dan 2,5 persen pajak penghasilan.
Rusdy menekankan, program Saweran Online bukan forum budaya, melainkan jaring pengaman. Persyaratan seniman tari yang mau terlibat pun tidak ketat. Beragam genre tari bisa ditampilkan. Tidak ada target nilai saweran yang terkumpul.
”Pada awal Februari 2020, kami telah mendengar sejumlah kegiatan seni pertunjukan dibatalkan sehingga penari dan koreografer tidak bekerja, tetapi sekolah masih buka. Setelah Februari 2020, kegiatan pengajaran tari di kelas mulai tutup dan isu larangan mudik keluar. Program ini benar-benar bersifat jaring pengaman bagi seniman tari yang terdampak,” tuturnya.
Selama tiga hari penyelenggaraan diskusi, pihaknya akan mengevaluasi sejauh mana antusias publik. Setelah itu, penonton akan disuguhkan konten tarian, kelas, dan senam tari yang diadakan secara daring. Seniman penerima bantuan harus mempunyai rekening sehingga memudahkan panitia mengirim saweran.
Salah satu seniman tari yang berpartisipasi dalam sesi Saweran Online Talk adalah Jecko Siompo, pendiri Sanggar Animal Pop Family. Kegiatan kelas tari sanggar yang dia pimpin biasanya dilakukan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ketika revitalisasi TIM berlangsung, kegiatan masih bisa dilakukan. Akan tetapi, ketika pembatasan sosial mulai berlaku, seluruh latihan harus berhenti.
Agar operasional sanggar tetap berjalan, Jecko mengajak pelatih membuat kelas jarak jauh memakai metode daring. Mengenai besaran iuran yang harus dibayarkan siswa selama kelas daring, dia mendorong pelatih mengomunikasikan kepada orangtua. Apabila ada orangtua siswa yang juga terdampak, tak sanggup bayar, pihak sanggar bisa memahami.
”Kami sedih, tetapi dampak pandemi Covid-19 dialami banyak orang di seluruh dunia. Hidup saya dari menari, sampai-sampai berhasil membeli ponsel pun dari tari. Namun, saya selalu percaya bahwa rezeki tidak akan tertukar sehingga saya tidak takut tetap terus menari dan mengajarkan tari,” kata Jecko.
Pemilik dan Direktur Artistik GIGI Art of Dance Gianti Giadi juga ikut berpartisipasi dalam program Saweran Online. Ia telah merekam video latihan tari dan menunggu diunggah di platform. Siapa pun bisa mengikuti kelas itu dan ikut berpartisipasi nyawer.
”Inisiatif program itu bagus karena membantu seniman tari yang belum mempunyai platform. Apalagi, dana hasil sawer yang terkumpul juga dialokasikan untuk donasi korban Covid-19. Akan tetapi, kami tidak mengandalkan program Saweran Online sebagai satu-satunya sumber penghasilan,” ujarnya.
Sejumlah kelas tari di GIGI Art of Dance tetap berlangsung meskipun jumlah muridnya turun drastis. Kelas tari dialihkan memakai aplikasi konferensi video jarak jauh. Siswa diberikan tugas menari, kemudian hasilnya direkam dan dikirimkan ke pelatih.
Perusahaan juga menawarkan produksi konten promosi ke klien dengan metode jarak jauh. Upaya ini untuk menjaga tetap adanya pemasukan ketika perusahaan memperoleh pembatalan acara.
”Komunitas GIGI Art of Dance telah terbangun. Kekeluargaan di antara pelatih pun kuat. Ketika ada pandemi Covid-19, lalu kami harus pangkas upah mereka, mereka tetap mau bekerja. Mereka bersyukur masih bisa bekerja di tengah pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19,” imbuh Gianti.
Sementara itu, seniman seni kontemporer dan kreator Farid Stevy berinisiatif menggelar proyek seni bernama 120 Hours in Distance. Proyek ini bertujuan menyikapi kondisi pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19.
Tak bisa (sekadar) menunggu
Koordinator acara proyek 120 Hours in Distance, Huhum Hambilly, saat dihubungi terpisah, menjelaskan, seniman ataupun pekerja kreatif tidak bisa menunggu pemerintah untuk mengatasi keterbatasan berkarya. Hal itulah yang dirasakan oleh Farid Stevy.
”Bagaimanapun seniman ataupun pekerja ekonomi kreatif tetap harus produktif berkarya dan pemasukan ekonomi mengalir. Sebulan lalu, kami membuka ruang bagi siapa pun, terutama seniman ataupun pekerja ekonomi kreatif, menyampaikan perasaannya menghadapi pandemi. Isinya berupa keluhan uang sampai asmara sehingga dari sanalah kami punya bahan berkreasi,” ujarnya.
Menurut Huhum, penggunaan 120 jam di judul proyek merujuk pada durasi kegiatan, yakni sekitar lima hari berturut-turut. Sama seperti festival yang diselenggarakan secara luring, proyek 120 Hours in Distance yang digelar dari 22-26 April 2020 juga diisi kelas, tantangan, sampai gelar karya seni visual bertemakan pembatasan sosial di berbagai medium.
Untuk kelas, sudah ada sejumlah seniman ataupun pekerja ekonomi kreatif berpartisipasi. Kebanyakan di antara mereka adalah teman dekat Farid Stevy.
”Kami buka kelas daring dengan aneka topik, seperti pencitraan personal. Ini topik paling banyak peminatnya. Kami memang mematok bayaran kepada peserta. Hasilnya ada yang akan dipakai operasional dan donasi,” kata Huhum.
Pada proyek seni ini, Farid menggandeng beberapa publik figur, seperti Rio Dewanto, Chicco Jerikho, Kunto Aji, Iga Massardi, Jimi Multhazam, Ican Harem, Bimacho, Lani, Dendy Darman, dan Ace of Decades untuk sesi Talks. Pada sesi Drawing tampil Jason Ranti, Iwan Effendi, dan Hendra Hehe. Ada pula sesi Jamming bersama Roby Setiawan, dan sesi Guneman bersama Albert Deby dengan sejumlah narasumber.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media Baru Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Ahmad Mahendra, saat dikonfirmasi, menyampaikan, pihaknya mendukung segala inisiatif seniman tetap berkreasi di tengah pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19. Salah satu wujud nyata dukungan adalah bantuan operasional berupa publikasi dan penayangan konten.
”Kalau saweran, kami memang tidak ikut. Saweran itu inisiatif kelompok seniman. Kami juga berada di bawah ketentuan negara,” ujarnya.
Mahendra mengatakan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud berhasil mendata lebih dari 30.000 orang pekerja seni yang terdampak pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Data tersebut dilengkapi dengan karya dan narasi aktivitas. Sementara bantuan, mekanismenya bukan di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan.