Menghindari Penyebaran Covid-19, Flores Timur Menggerakkan Kaum Muda ke Ladang
Pemerintah Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, menggerakkan 75.000 anak muda di wilayah itu turun ke ladang. Banyak pekerjaan di ladang dapat dikerjakan anak-anak muda di saat pandemi Covid-19
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Pemkab Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, menggerakkan 75.000 anak muda secara perorangan atau semua anggota keluarga di wilayah itu turun ke ladang. Banyak yang bisa dikerjakan oleh anak-anak muda di ladang saat pandemi Covid-19 ketimbang duduk di rumah.
Wakil Bupati Flores Timur (Flotim) Agus Payong Boli dihubungi di Larantuka, Kamis (23/4/2020), mengatakan, kebijakan pemerintah agar tetap tinggal di rumah untuk mencegah penularan Covid-19 bisa dialihkan dengan tinggal di ladang atau kebun. Tinggal di ladang secara perorangan atau kelompok anggota keluarga.
Flotim berusaha menggerakkan anak-anak muda yang putus sekolah untuk turun ke ladang atau kebun. Mereka karantina diri di kebun atau ladang, tidak boleh hanya tinggal di rumah, apalagi sebagian dari mereka itu sudah mengalami pemutusan hubungan kerja oleh majikan. ”Tinggal di rumah sangat membosankan, hanya menghabiskan stok pangan yang ada, tanpa penghasilan tambahan,” kata Agus Boli.
Kami memanfaatkan air sisa, baik dari hujan maupun dari sungai terdekat, supaya tanaman bisa tumbuh dan dipanen sesuai target. Meski tidak untuk dijual di pasar, tetapi memenuhi kebutuhan sehari-hari, itu sudah cukup. (Agus Payong Boli)
Pernyataan Agus Boli ini disampaikan saat melakukan panen raya pagi gogo di dua bidang tanah berbeda di dua desa di Flores Timur, yakni Bantala, Kecamatan Lewolema, dengan luas lahan padi gogo 5 hektar dan Desa Wailolong, Kecamatan Ile Mandiri, 10 hektar. Tanaman padi gogo ini diselingi tanaman lain, seperti jagung, umbi-umbian, dan pisang.
Jumlah anak muda di Flotim sekitar 75.000 orang dari total penduduk 280.178 jiwa (2017). Jumlah ini belum termasuk mereka yang menjadi tenaga kerja ilegal dan legal di luar negeri. Pada saat pemberlakuan tinggal di rumah oleh pemerintah, sebagian anak muda ini malah memanfaatkan waktu untuk duduk-duduk bersama rekan-rekan di jalan dan di rumah-rumah, tanpa kegiatan apa pun.
Ia menilai, di tengah pandemi Covid-19 ini banyak anak muda duduk di rumah atau duduk di pinggir jalan sambil mengoperasikan telepon pintar. Mereka menghabiskan pulsa data dan telepon dari pagi sampai pagi lagi. Mereka melakukan pemborosan dan membebani hidup orangtua karena mayoritas anak muda di Flotim tidak memiliki pekerjaan tetap.
Banyak pekerjaan
Padahal, saat ini banyak kegiatan di kebun (ladang) yang boleh dikerjakan, seperti membersihkan rumput serta menanam jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan buah-buahan yang dapat dipanen dalam 1-2 bulan, seperti terung, tomat, dan pare. Pemkab membantu bibit-bibit dari tanaman itu, termasuk mesin pompa air.
”Kami memanfaatkan air sisa, baik dari hujan maupun dari sungai terdekat, supaya tanaman bisa tumbuh dan dipanen sesuai target. Meski tidak untuk dijual di pasar, tetapi memenuhi kebutuhan sehari-hari, itu sudah cukup,”ujarnya.
Mereka juga boleh menanam pakan ternak, seperti lamtoro, umbi-umbian, rumput gajah, dan sejenisnya. Ternak peliharaan terkenal di Flotim, yakni babi, kambing, ayam, dan sapi.
Selama di ladang (kebun) mereka akan berjemur di panas matahari dan bekerja sendirian atau bersama anggota keluarga. Covid-19 tidak akan menyebar antara mereka selama berada di ladang.
Pemkab Flotim akan memberi dukungan bagi kaum pemuda dan keluarga yang dengan tekun berada di ladang berupa beras, telur ayam, dan mi instan. Masing-masing paket senilai Rp 100.000 per orang per hari.
Koordinator Petani Milenial NTT Gestianus Sino mengatakan, pandemi Covid-19 ini menimbulkan kesulitan serius di sektor ekonomi keluarga. Anak-anak muda harus digerakkan turun langsung ke ladang atau kebun. Flotim khususnya dan NTT umumnya lebih dikenal dengan sistem pertanian lahan kering.
Kesulitan utama di NTT adalah air. Air untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit, apalagi untuk mengolah dan menyiram tanaman, termasuk hortikultura. Banyak keluarga terpaksa membeli air untuk kebutuhan sehari-hari dengan biaya Rp 100.000-Rp 500.000 per tangki atau 5.000 liter untuk kebutuhan lima hari bagi 4-5 anggota.
Anak muda yang tinggal di pesisir saat ini sangat sulit mengolah lahan. Kecuali mereka yang menetap di pegunungan, wilayah itu masih lembab dan mudah mendapatkan air dari sungai. Namun, tidak semua anak muda memiliki lahan di pegunungan atau perbukitan.
”Sejumlah anak muda yang ada di pesisir ingin mengupayakan batako atau batu merah secara perorangan, tetapi itu pun butuh air yang cukup. Kuncinya ada pada ketersediaan air. Kalau boleh Pemkab Flotim membantu sumur bor atau mengalirkan air dari pegunungan ke wilayah pesisir,” kata Sino.
Ia menilai, banyak anak muda di NTT ingin terjun di bidang pertanian. Namun, kekeringan menjadi salah satu kendala paling serius. Saat ini NTT mulai memasuki musim kemarau.
Bisa dilakukan anak muda saat ini, menanam jenis tanaman tertentu di bibir aliran sungai, seperti umbi-umbian, jagung, dan kacang-kacangan agar bisa tumbuh. ”Jika sungai itu bisa dialirkan ke lahan, lebih bagus lagi, hanya perlu dukungan pemerintah daerah setempat,” katanya.