Para ”Kartini” masa kini berupaya keras berjuang di tengah pandemi Covid-19. Dalam situasi serba tidak pasti ini, hal terpenting yang harus dilakukan adalah menyesuaikan diri agar bisa bertahan.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·4 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga berusaha bertahan. Mereka tidak mengenal kata menyerah untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga. Inilah gambaran Kartini-Kartini masa kini.
Bagi Arfiana Khairunnisa (34), communication officer di lembaga nonprofit di Jakarta, Covid-19 telah mengubah ritme hidupnya. ”Kalau biasanya aku hanya fokus bekerja di kantor, sekarang aku bekerja di rumah. Jadi, ya, lumayan tambah sibuk,” ujar orangtua tunggal dari satu anak ini, di Jakarta, Senin (20/4/2020).
Sebelum ada wabah, Fian bekerja di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, pukul 09.00- 17.00. Begitu ada wabah, ibu dari putri bernama Wikan Shamita (5,5 tahun) ini bekerja di rumah. Saat hendak bekerja, ada kalanya putrinya mengajak bermain atau belajar bersama atau Fian harus mengurus pekerjaan rumah. Akhirnya, ritme hidup berubah. Banyak tugas kantor yang biasanya dikerjakan siang, harus diselesaikan malam setelah Wikan tidur.
Semua aku lakukan, yang penting membuat aku bahagia, anakku bahagia. Dengan situasi serba tidak pasti ini, paling penting adalah bisa menyesuaikan diri agar bisa bertahan. (Arfiana Khairunnisa)
Wabah korona baru ini juga membuat Fian harus kreatif dalam mendidik buah hatinya. Kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan di luar rumah, seperti menonton film di gedung bioskop atau berkemah, kemudian dilakukan di dalam rumah. Fian juga mengubah kebiasaan olahraga, yaitu bersepeda di luar rumah, menjadi sepeda virtual di rumah. ”Semua aku lakukan, yang penting membuat aku bahagia, anakku bahagia. Dengan situasi serba tidak pasti ini, paling penting adalah bisa menyesuaikan diri agar bisa bertahan,” katanya.
Wabah juga memukul kelompok perempuan kepala keluarga yang selama ini mengandalkan hidup dari pekerjaan informal seperti berjualan. Darsi (41), pedagang kopi keliling, kemarin, dengan sabar menunggu pembeli di Jalan Arteri Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ibu dua anak ini menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi menjadi gerobak kopi. Di tengah merebaknya wabah korona baru, Darsi merasakan betul tantangan finansial, yaitu omzet dagangannya terjun bebas dari Rp 150.000 per hari, sekarang menjadi nol rupiah per hari.
”Kemarin, saya mendapatkan uang Rp 45.000. Setelah dipakai untuk membeli bensin Rp 25.000, penghasilan saya hanya Rp 20.000. Hidup serba sulit. Karantina di dalam rumah membuat depresi, bekerja cari uang juga sulit,” ujar perempuan asal Sragen, Jateng, ini.
Dengan kondisi pendapatan yang pas-pasan, Darsi hidup dalam keterbatasan. Sudah dua bulan terakhir ia menunggak membayar sewa kontrakan Rp 300.000 per bulan. Ibu yang mengasuh dua anak ini juga kesulitan membayar listrik Rp 200.000 per bulan. Untuk berbelanja makanan, membayar uang sekolah anaknya, dan mengisi paket data telepon seluler agar anaknya bisa belajar secara virtual ia juga tak sanggup. Darsi juga absen mengirim uang ke kampung halaman yang biasanya Rp 1.000.000 per bulan.
Beralih aktivitas
Beruntunglah Darsi bisa menjahit. Beberapa hari terakhir, ia mendapatkan order menjahit 50 masker. Sekali menjahit, ia mendapatkan uang Rp 100.000. ”Kemarin, pas banget token listrik saya habis, saya mendapat uang dari menjahit masker. Uang itu langsung saya pakai membeli token listrik,” kata perempuan yang tinggal di Gang Pancong, Jakarta Utara, ini.
Ada kalanya, mantan buruh pabrik ini juga mendapat bantuan kebutuhan pokok dari teman-temannya di Federasi Buruh Lintas Pabrik. Untuk memasak, ia mengandalkan dapur milik tetangga. Darsi berharap, pandemi Covid-19 segera berlalu. ”Saya merasa gerak saya dipersempit karena Covid-19 ini. Saya harus isolasi mandiri, tetapi terlalu lama di dalam rumah saya juga merasa depresi. Di luar rumah, saya ingin bekerja, tetapi pendapatan tidak pasti,” katanya.
Situasi serba sulit juga dirasakan Nita Ambarwati (29), ibu satu anak yang tinggal di daerah Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Biasanya, Nita memenuhi kebutuhan keluarga dengan berjualan makanan ringan, seperti sosis bakar dan berjualan minuman instan. Pendapatannya Rp 1.000.000 per bulan. Dengan adanya pandemi, pendapatan menjadi tidak pasti. Hal itu menjadi tantangan karena Nita memiliki bayi berusia 3,5 bulan. ”Kebutuhan sedang banyak-banyaknya, seperti untuk membeli makanan, untuk kontrol kesehatan ke puskesmas, dan untuk tabungan kalau sewaktu-waktu anakku sakit,” ujarnya.
Sebagai orangtua tunggal dari anaknya, Nita mengandalkan hasil bumi untuk bertahan. Ia memetik sayur seperti daun pepaya, pare, dan cabai yang ditanam di kebunnya untuk makan. Ia juga mengandalkan hasil panen beras yang masih ada. Nita bersyukur, ia tinggal di perdesaan sehingga masih banyak tanaman yang bisa digunakan untuk mengisi perut. Nita juga bersyukur masih mendapatkan bantuan kebutuhan pokok dari masjid di dekat rumahnya.
Fian, Darsi, dan Nita adalah segelintir Kartini-Kartini masa kini yang mencoba tetap bertahan dan berjuang di tengah pandemi Covid-19. Meski penghasilan sehari-hari turun drastis, mereka mencoba mencari peluang-peluang baru demi menghidupi keluarga tercinta. Selamat Hari Kartini...