Krisis akibat pandemi Covid-19 memukul perusahaan media yang telah mengalami krisis sejak sebelum pandemi Covid-19. Dalam kondisi ini, media tetap dituntut menjalankan fungsi sosialnya, bahkan lebih dari sebelumnya.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Penyajian berita yang akurat, kredibel, dan berkualitas merupakan satu langkah penting untuk memerangi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang penyebarannya sangat cepat dan luas ini. Pemberitaan yang demikian membantu masyarakat memahami cara mengantisipasi virus ini.
Di beberapa negara bahkan media harus menghadapi ancaman sanksi dan hukuman dari otoritas pemerintah setempat demi menjamin hak masyarakat atas informasi ini. Padahal, media berperan menyosialisasikan langkah-langkah yang diambil pemerintah.
Media juga memastikan negara menjalankan upaya secara tepat dan maksimal untuk melindungi warganya. Tak jarang, media menggali informasi yang belum diketahui negara, untuk penanganan Covid-19 yang lebih baik.
Lebih dari itu, media juga dituntut menyajikan berita-berita yang memberi harapan, inspirasi, dan optimisme. Seperti dikatakan Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh dalam rilis pada 26 Maret 2020, pemberitaan media yang mencerahkan dan menyejukkan masyarakat semakin relevan saat ini.
Media juga menjadi rumah penjernih (clearing house) dan penyeimbang di tengah gelombang hoaks yang menyebar cepat melalui media sosial. Dengan hampir 70 persen masyarakat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial, penyebaran hoaks bisa melemahkan upaya penanganan Covid-19.
Karena itu, saat ini merupakan momen penting bagi media untuk memainkan peran dan fungsi sosialnya, lebih dari sebelumnya. Namun fungsi ini terancam karena krisis akibat pandemi ini juga memukul bisnis media yang mengandalkan pendapatan iklan sebagai penopang utama hidupnya.
Banyak perusahaan dan pelaku usaha menghentikan promosi produk mereka melalui media. Demikian pula, tidak ada lagi acara-acara yang bisa mendatangkan tambahan pendapatan bagi perusahaan media. Pendapatan iklan media daring, misalnya, kata Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia, Wenseslaus Manggut, telah turun hingga 30 persen.
Kondisi media konvensional (cetak, televisi, radio) bisa lebih parah lagi. Sebelum pandemi Covid-19 pun, pendapatan perusahaan media konvensional terus turun. Riset Nielsen menunjukkan, pertumbuhan belanja iklan untuk media konvensional di Indonesia terus turun. Dari tahun 2015 ke 2016 tumbuh 19 persen dan pada 2-18 ke 2019 hanya tumbuh 2 persen. Kini tidak ada lagi pertumbuhan itu, bahkan minus hingga mendekati titik nadir.
Di India, Indian Newspaper Society yang mewakili sekitar 1.000 penerbit memperkirakan industri surat kabar dapat kehilangan 2 miliar dollar AS selama 6-7 bulan ke depan. Perusahaan-perusahaan di India pada 2019 mengalokasikan hampir 2,6 miliar dollar AS dari total 9 miliar dollar AS biaya iklan, untuk media cetak. (Reuters, 14/4/2020)
Pendapatan iklan Grup ABP yang menerbitkan harian berbahasa Inggris The Telegraph dan harian berbahasa Benggali bahkan hampir nol pasca penguncian wilayah di India. Sekitar 80-85 persen pendapatan salah satu media besar di India ini dari iklan.
Krisis ini memang semakin memukul bisnis media konvensional, terutama media cetak yang telah mengalami krisis akibat disrupsi teknologi dan kenaikan harga kertas. Disrupsi teknologi telah mengalihkan kue iklan media konvensional dalam porsi besar ke platform digital global seperti Facebook dan Google.
Di Amerika, media cetak telah kehilangan lebih dari 70 persen pendapatan iklan sejak 2006. Pada Maret 2020 pendapatan iklan media cetak di Amerika turun lagi, 10-25 persen, dan di kuartal kedua turun 30-50 persen. (USA Today, 31/3/2020).
Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika pandemi Covid-19 belum juga teratasi. Segala upaya pun dilakukan agar dapat bertahan. Direktur Bisnis Harian Pikiran Rakyat yang juga Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar Primadi Ruswita mengatakan, selain mengurangi halaman, pihaknya tak lagi menerbitkan edisi Minggu.
Times of India juga mengurangi halaman dari 40 menjadi 16 halaman. Tampa Bay Times, surat kabar terbesar di Florida, bahkan kini hanya terbit pada Rabu dan Minggu karena pendapatan iklannya turun 50 persen.
Sejumlah media juga memotong gaji, bahkan mengurangi karyawannya. Berdasarkan data Posko Pengaduan Jurnalis yang dibuka Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, hingga 16 April sebanyak 22 wartawan mengadukan pemotongan gaji dan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan mereka.
Sejumlah industri media besar di India memotong gaji karyawannya sekitar 5-30 persen. Times of India bahkan memberhentikan beberapa staf di tim majalah Sunday-nya. Surat kabar di India tengah mencari dukungan Federal melalui kenaikan 50 persen tarif iklan pemerintah agar dapat bertahan.
BuzzFeed News, situs web berita di Amerika, memotong gaji karyawannya 25 persen, dan CEO Jonah Pereti merelakan tidak dibayar selama krisis ini. Langkah serupa dilakukan CEO Gannet Paul Bascobert, hingga tak ada lagi pemotongan gaji karyawannya di Amerika dan Inggris. Gannet merupakan pemilik USA Today dan lebih dari 250 surat kabar lokal di Amerika.
Untuk membantu media lokal, pemerintah Federal Amerika memberikan stimulus dana sebesar 500 juta dollar AS dalam bentuk iklan kesehatan masyarakat (Washington Post, 26/3/2020). Penerbit surat kabar Afrika-Amerika juga mengandalkan pendanaan filantropis untuk bertahan.
Di Indonesia
Perusahaan pers di Indonesia melalui Dewan Pers telah meminta bantuan negara, dengan mengusulkan sejumlah insentif untuk perusahaan pers melalui pemerintah. Upaya-upaya tersebut tidak sekadar untuk mempertahankan bisnis media, tetapi juga menjaga api jurnalisme tak padam.
Dalam perayaan Hari Pers Nasional 2020 pada Februari lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan, negara sangat membutuhkan kehadiran pers (media) dengan perspektif yang jernih dan turut berperan melawan kekacauan informasi, hoaks, ujaran kebencian yang mengancam kehidupan demokrasi. Pers juga harus bisa menciptakan masyarakat yang sehat dalam mencerna informasi. (Kompas, 9/2)
Karena itu, kata Presiden, ekosistem media harus dilindungi dan diproteksi sehingga masyarakat mendapatkan konten berita yang baik. Namun kini, siapakah yang bisa melindungi ekosistem media yang semakin terancam akibat pandemi Covid-19 ini?
Bahkan, krisis kali ini bisa lebih buruk daripada krisis ekonomi 2008, dengan konsekuensi yang lebih berat (Niemanlab.org, 31/3/2020). Akankah kehidupan demokrasi juga akan terancam jika pilar keempat demokrasi ini roboh?
“Fungsi-fungsi luhur pers untuk menyampaikan informasi, edukasi, hiburan, dan kontrol sosial sulit terpenuhi, manakala industri pers makin sulit beroperasi, bahkan terancam bangkrut,” kata Januar.