Rumor dan Hoaks di Tengah Pandemi Rentan Akibatkan Stres
Seiring dengan pertambahan jumlah kasus Covid-19, rumor dan hoaks beredar luas. Situasi ini rentan menyebabkan stres di masyarakat.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring dengan bertambahnya jumlah warga terkena Covid-19, konten rumor sampai hoaks pun turut berkembang luas di masyarakat. Di tengah suasana pandemi, masyarakat memerlukan akses terhadap informasi yang valid.
Berdasarkan data Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri hingga 4 April 2020, jumlah penanganan kasus hoaks terkait Covid-19 mencapai 75 kasus. Kasus ini menyebar di 21 polda dan 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur masing-masing menangani 11 kasus hoaks terkait Covid-19. Kedua polda ini tercatat terbanyak menindak kasus, diikuti Polda Jawa Barat (6 kasus), Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri (6 kasus), dan Polda Lampung (5 kasus).
Ada berbagai macam kemungkinan yang menyebabkan penyebaran hoaks Covid-19. Misalnya, masyarakat sudah jenuh lalu iseng, masyarakat benar-benar tidak tahu informasi tentang Covid-19, dan kecenderungan merasa ingin paling dulu mengabarkan informasi.
Anggota Divisi Kebebasan Berekspresi SAFENet, Abul Hasan Banimal, saat dihubungi Minggu (12/4/2020), di Jakarta, mengatakan, ada berbagai macam kemungkinan yang menyebabkan penyebaran hoaks Covid-19. Misalnya, masyarakat sudah jenuh lalu iseng, masyarakat benar-benar tidak tahu informasi tentang Covid-19, dan kecenderungan merasa ingin paling dulu mengabarkan informasi.
Dia mengemukakan, data penanganan kasus hoaks tentang Covid-19 sejauh ini mengacu ke setiap provinsi. Dia sendiri tidak berani berspekulasi tentang latar belakang pelaku penyebaran hoaks karena SAFENet belum melakukan penelitian lebih jauh.
”Saya rasa sepertinya terlalu dini penyebaran hoaks tentang Covid-19 sebagai perbuatan pabrikan atau disebarkan oleh jaringan tertentu,” kata Abul.
Menurut dia, semakin besar jumlah kasus hoaks di suatu provinsi, bisa dimaknai ada korelasinya dengan kasus orang terkena Covid-19. Di DKI Jakarta, misalnya. Total kasus Covid-19 mencapai lebih dari 1.000 orang.
SAFENet menyadari bahwa informasi yang keluar ke masyarakat butuh pengecekan dan akurasi tinggi sehingga pesan yang disampaikan benar-benar valid. Akan tetapi, hal yang kadang terjadi adalah proses memvalidasi sebuah informasi tidaklah mudah. Akibatnya, tidak jarang malah masyarakat berspekulasi dan kemudian berakhir menjadi informasi hoaks.
Abul mengatakan, masyarakat berhak tahu perkembangan pandemi Covid-19 beserta penanggulangannya, tetapi tidak semua informasi harus dibuka. SAFENet menyarankan agar pemerintah tetap mengedepankan privasi.
Dia menambahkan, jangkauan penyebaran informasi/konten Covid-19 perlu diperluas lagi. Bentuknya pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat tidak cepat menyimpulkan, lalu disebarluaskan.
Justru berkembang subur
Forbes melalui artikel ”During Covid-19 Pandemic It Isn’t Just Fake News But Seriously Bad Information That is Spreading on Social Media”, Rabu (8/4/2020), menuliskan kegelisahan Johns Hopkins Medicine tentang hoaks dan rumor tentang Covid-19. Volume besar rumor tentang Covid-19 di media sosial sering kali mengutip ahli imunologi John Hopkins dan pakar penyakit menular lainnya.
”Rumor dan kesalahan informasi mudah beredar di masyarakat selama krisis. Kami pun tidak tahu asal-usul informasi beserta penyebarannya,” tulis John Hopkins Medicine dalam pernyataan tertulisnya.
ScienceAlert.com telah mengingatkan, penyebaran hoaks tentang Covid-19 bisa berasal dari akun palsu di media sosial dan hal ini sudah terjadi. Di beberapa permasalahan lain, akun palsu mirip dengan akun sah dari sumber tepercaya. Ada juga akun yang digerakkan oleh robot atau bot untuk merespons informasi dari akun sah.
Berdasarkan riset Center for Informed Democracy and Social-Cybersecurity (IDeaS) dan CASOS Center di Carnegie Mellon University, per 27 Maret 2020, disinformasi tentang Covid-19 di media sosial setidaknya terbagi beberapa kategori. Misalnya, disinformasi tentang sifat virus, cerita konspirasi, prosedur diagnosis, tanggap darurat, dan informasi tak akurat tetapi lucu atau terasa menyenangkan.
Cerita yang berisi informasi tidak akurat juga menyasar ke jumlah kematian, respons politisi, kasus Covid-19 yang dilaporkan, dan kegiatan pemerintah. Informasi seperti itu belum dilacak kebenarannya, tetapi telanjur menyebar di media sosial.
Mengutip Popular Science (popsci.com), Kate Starbird, Co-Founder of the University of Washington Center for an Informed Public, konten rumor ataupun disinformasi dapat memicu stres, tetapi penyebarannya di media sosial sebenarnya bukan untuk menyakiti orang lain. Pelaku penyebaran tidak mempunyai akses ke sumber informasi yang dapat diandalkan. Pada saat bersamaan, mereka (sebenarnya) ingin mencoba memahami peristiwa yang menakutkan.