Dalam selembar kertas bukti pembayaran—biasa disebut ”invoice”—dari toko waralaba di Indonesia, lazim dipenuhi berbagai istilah asing. Sebut saja ”waiter”, ”cashier”, dan ”number of customer”. Apa arti dari semua itu?
Oleh
KASIJANTO SASTRODINOMO
·3 menit baca
Secarik kertas bukti pembayaran—biasa disebut invoice atau invois menurut KBBI—saya terima dari kasir sebuah toko kue waralaba cukup bekèn. Menurut info, toko itu tersua di banyak kota di Indonesia. Jika alamat toko dan ucapan ”terima kasih” [atas kunjungan konsumen] yang tertulis pada kertas itu dihapus, invois tersebut malah bisa dikira berasal dari negeri lain. Soalnya, hampir seluruh tulisan di dalamnya memakai bahasa Inggris kecuali alamat dan ucapan terima kasih tadi, serta nama petugas toko yang ”berasa” Indonesia.
Tidak seperti kuitansi konvensional yang simpel, invois mutakhir merekam njelimet seluk-beluk transaksi jual-beli. Pada baris teratas tertulis sederet huruf kapital dan angka—mungkin kode toko yang cuma relevan bagi pemiliknya. Kemudian tercantum kolom initiated untuk menandai waktu kedatangan pembeli dan awal kontaknya dengan petugas toko/kasir; diikuti isian settled yang mencatat durasi transaksi hingga detik-detik pembeli meninggalkan toko. Berikutnya tercatat nama waiter, cashier, pos ID dan aneka kode lain.
Bagian lembar invois selanjutnya adalah semacam ”ruang tamu” tempat pemilik toko mengekspresikan keramahan dengan menyapa welcome kepada pembeli yang namanya juga dituliskan dalam invois itu atas permintaan kasir. Lalu tertera kata table yang menunjuk pada meja-kursi bernomor tempat pembeli menunggu pesanannya diproses. Table mengisyaratkan bahwa toko juga menyediakan ruang bagi yang ingin bersantap di tempat. Ada invois restoran lain yang mencantumkan no. costumer (baca number of customer) untuk mendata jumlah tamu yang datang.
Di bagian tengah lembar invois dirinci pesanan (order) makanan/barang beserta harga satuannya. Tersebutlah istilah subtotal, yakni jumlah harga semua pesanan, lalu tax (pajak), dan total yaitu keseluruhan harga pesanan plus pajak yang harus dilunasi pembeli. Isian lainnya ialah discount (potongan harga), paid (searti total), dan cash yakni nominal uang yang disodorkan konsumen dan jika ada kembalian akan dituliskan dalam change. Setelah itu, isian final bill/payment menanyakan cara pembayaran (tunai/kredit) sebelum diakhiri dengan salam, ”Terima kasih telah mengunjungi ... [nama toko]” ―tapi tidak semua invois memuat hal serupa. Jadi, mesin hitung itu bisa berbahasa Indonesia.
Invois versi lain (dari sebuah resto bakmi) memasukkan rounding alias ’pembulatan’ dan after rounding ’setelah pembulatan’. Istilah itu untuk menggenapkan total pembayaran dengan cara mengabaikan receh ganjil yang nilai uangnya tak berarti. Misal, subtotal tagihan 147,005 rupiah, rounding 0,05, sehingga total pembayaran—after rounding—adalah 147.000 rupiah. Jadilah pecahan 5 sen itu dengan ikhlas disetip. Di warung kelontong, pembulatan itu (karena ’tidak ada kembalian”) bisa ’disubstitusi” permen, atawa sejumput kecil cabe rawit kala belanja di pasar desa.
Bayangkan, bahkan sekadar minum secangkir kopi pahit pun kita harus melewati ”proses verbal” ala pasar global—ujar Sobari setelah menerima cabikan invois dari kasir sebuah kedai kudap-minum di selasar stasiun kereta bawah tanah. Teman ngopi saya itu memang biasa membayangkan macem-macem dalam imajinasinya.
KASIJANTO SASTRODINOMO, Alumnus FIB Universitas Indonesia