Di Indonesia, perempuan diposisikan untuk selalu bersinggungan dengan air, seperti memasak, mencuci baju, mencuci peralatan makan, dan memandikan anak. Mereka menjadi korban berlapis dari dampak krisis air.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Imbauan pemerintah untuk rajin mencuci tangan, sebagai antisipasi untuk memutus mata rantai pencegahan virus Covid-19, dinilai tidak sejalan dengan kondisi di lapangan. Kenyataannya, meskipun air merupakan hak dasar warga negara, hingga kini masih banyak masyarakat yang mengalami krisis air, dan tidak mudah mengakses air bersih untuk kebutuhan mereka.
Di Jakarta, misalnya, privatisasi air (pengelolaan air diserahkan kepada PT Aetra Air dan PT Palyja) memberi dampak besar bagi masyarakat, terutama perempuan. Meski terus membayar dengan tarif tinggi untuk pelayanan air, sejumlah masyarakat seperti di daerah Rawa Badak dan Cilincing, Jakarta Utara, terus mengalami permasalahan seperti air bau, keruh, dan debit air yang sedikit. Bahkan, aliran air hanya jalan di waktu tertentu.
”Akibatnya, perempuan harus terjaga hingga dini hari untuk menampung air yang biasanya keluar pada tengah malam. Mereka juga harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli air isi ulang demi memenuhi kebutuhan air minum dan memasak makanan karena air dari perusahaan tidak layak konsumsi,” ujar Dinda Nuur Annisa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan (SP) di Jakarta, Selasa (24/3/2020).
Di tengah pandemi virus Covid-19, terutama di Jakarta, air menjadi kebutuhan yang penting dan esensial. Maka penetapan air sebagai hak dasar, hak asasi manusia sudah sepatutnya. Sayangnya, hal yang esensial itu tidak bisa didapatkan semua orang karena dikalahkan dengan kepentingan industri dan investasi.
Peran jender yang dilekatkan selama ini menempatkan perempuan untuk lebih banyak bersinggungan dengan air, seperti memasak, mencuci baju, mencuci peralatan makan, dan memandikan anak.
”Pada akhirnya, dalam situasi apa pun, termasuk wabah corona, mereka yang miskin dan termarjinalkan yang paling banyak menjadi korban. Di dalam kelompok tersebut, perempuan mendapatkan dampak berkali-kali lipat,” papar Dinda.
Sebab, ketika masyarakat sulit mengakses sumber air, kalangan perempuanlah yang paling merasakan dampaknya. Sebab, peran jender yang dilekatkan selama ini menempatkan perempuan untuk lebih banyak bersinggungan dengan air, seperti memasak, mencuci baju, mencuci peralatan makan, dan memandikan anak.
Begitu juga dari sisi kesehatan reproduksi, perempuan memiliki kebutuhan lebih besar atas air serta kerentanan spesifik. Krisis air juga membuat perempuan mengalami beban berlapis karena harus berpikir dan bekerja lebih berat ataupun menyiasati pengelolaan uang rumah tangga untuk membeli air demi memastikan ketersediaannya untuk kebutuhan keluarga dan rumah tangga.
Karena itulah, bertepatan dengan peringatan Hari Air Sedunia 2020, yang jatuh pada 22 Maret 2020, Solidaritas Perempuan menuntut Presiden Joko Widodo agar memberikan jaminan perlindungan serta sarana dan prasarana pendukung untuk pengelolaan air berbasis komunitas oleh kelompok masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki.
Selain itu, pemerintah harus memberikan jaminan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi perempuan atas air yang cukup, aman, dan terjangkau secara fisik serta finansial untuk penggunaan pribadi, keluarga dan rumah tangga, ataupun untuk kebutuhan produksi dan irigasi. Caranya dengan memastikan akses dan kesempatan serta manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki atas hak atas air.
Solidaritas Perempuan juga mendesak Presiden Jokowi untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan atas air dengan mengeluarkan kebijakan seperti menghentikan segala bentuk privatisasi dan monopoli air oleh perusahaan serta menindak tegas perusahaan yang melakukan pencemaran dan perusakan sumber air.
”Memberikan jaminan partisipasi dan keterlibatan penuh perempuan serta keterwakilan kepentingan perempuan dalam kelembagaan, kebijakan, program, dan pengambilan keputusan terkait pengelolaan air dan sumber daya air di semua tingkatan,” kata Dinda.
Selain soal privatisasi air, Solidaritas Perempuan juga mencatat beberapa persoalan dialami masyarakat, terutama perempuan. Misalnya, monopoli sumber mata air oleh perusahaan, pencemaran sumber air karena limbah, serta penghancuran sumber mata air masyarakat.
Hukum tertinggi
Muhammad Reza Sahib, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, mengungkapkan bahwa hak atas air dan sanitasi adalah hukum tertinggi dan status ini diakui serta dijamin dalam UUD 1945.
Namun, hak atas air dan sanitasi adalah antitesis dari fakta ketidakadilan air, yakni miliaran orang di bumi yang terhalangi hak atas airnya, ratusan juta di Indonesia. ”Dampak paling ekstrem dapat dilihat dari tingkat kematian bayi yang lebih besar daripada angka kematian akibat perang. Kematian ini akibat buruknya air dan sanitasi yang vital dalam proses reproduksi,” ujar Reza yang mengutip pernyataan Ban Ki-moon, mantan Sekretaris Jenderal PBB.
Sebab, perempuan jugalah yang paling dulu akan merasakan dampak buruk air (baik kualitas maupun kuantitas) dalam rumah tangga dan komunitas. Dan, di saat bersamaan perannya tidak direkognisi dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Di banyak wilayah konflik agraria, perempuanlah yang menjadi garda depan melawan penghancuran air dan sistem hidup yang ditopangnya seperti yang dilakukan perempuan-perempuan Kendeng, Jawa Tengah.
Namun, lanjut Reza, peran perempuan hanya dijadikan stempel dalam berbagai model kebijakan mitigasi krisis air, contohnya pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) ala Bank Dunia yang melekat pada prasyarat Water Resources Sector Adjustment Loan (Watsal) yang berujung pada dipaksakannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dan dibatalkan MK pada 2015). Begitu juga dalam Perjanjian Kerja Sama Swasta-Pemerintah (Public-Private Partnership) di DKI Jakarta.
”Perempuan disebut paling awal dan menjadi basis klaim untuk urgensi kebijakan-kebijakan yang keliru, tetapi tidak dilibatkan dalam proses pembentukan kebijakan, penentuan prioritas, dan seterusnya,” katanya.