Perbedaan dalam suatu bangsa akan selalu ada. Justru karena perbedaan itulah kita bisa saling belajar, lalu tumbuh bersama secara maksimal. Yang perlu dicegah, perbedaan jangan sampai jadi runcing.
Oleh
Ida Rsi Waskita Sari
·3 menit baca
Komposer Jepang kenamaan, Kitaro, pernah menyebut keheningan bagaikan sebuah musik. Dalam keheningan, ”Alam mengilhami saya. Saya hanyalah seorang utusan,” ujarnya. Karena itu, musisi kelahiran tahun 1953 tersebut melukiskan sebagian lagunya ”bagikan awan-awan, sebagian lagi bagaikan air”.
Lalu bisakah kita menjadikan keheningan yang akan menyelimuti Bali pada tahun baru Saka 1942 (Nyepi, 25 Maret 2020) ibarat sebuah musik? Musik alam yang memberikan kekuatan baru pada tekad kita mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa? Bukan sebaliknya, memperuncing perbedaan hingga menyebabkan warga terpecah-belah dan pembangunan kembali terhambat?
Seperti telah kita sadari bersama, perbedaan dalam suatu bangsa akan selalu ada. Justru karena perbedaan itulah kita bisa saling belajar, lalu tumbuh bersama secara maksimal. Yang perlu dicegah, perbedaan jangan sampai jadi runcing.
Perbedaan dalam suatu bangsa akan selalu ada.
Apalagi, sampai menimbulkan kerusuhan dan perpecahan. Kita bisa belajar dari konflik bangsa-bangsa lain. Bahkan, kita sendiri pernah mengalaminya di masa lampau. Akibatnya, kekuatan bangsa jadi terkuras dan cita-cita kemerdekaan jadi semakin sulit terwujud.
Kekhawatiran akan timbulnya perpecahan di antara anak bangsa menguat lagi akhir-akhir ini. Dimulai aksi turun ke jalan organisasi-organisasi tertentu, sampai ramainya pro-kontra atas Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Semoga segala kekhawatiran itu mampu diatasi sehingga langkah kita mewujudkan cita-cita kemerdekaan bisa berjalan tanpa hambatan berarti.
Korupsi
Ketika mengawali pemerintahannya, Presiden Jokowi bertekad akan membangun negara bebas dari korupsi, serta menjadikan Indonesia negara bermartabat dan tepercaya. Untuk itu, kemandirian ekonomi harus diwujudkan dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Juga melakukan revolusi karakter melalui kebijakan kurikulum pendidikan nasional.
Semua itu belum sepenuhnya terwujud saat ini meskipun ekonomi kita, menurut ekonom Faisal Basri, telah menempati peringkat ketujuh dunia pada tahun 2018 jika diukur menggunakan produk domestik bruto berdasarkan paritas daya beli.
Kue ekonomi Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh menempati peringkat kelima pada tahun 2030 dan peringkat keempat tahun 2050 setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Meskipun demikian, ternyata pemerintah masih tidak berdaya dalam memberantas korupsi. Kasus Jiwasraya, contohnya. Rakyat menuntut agar kasus itu dibongkar tuntas.
Diungkap ke mana saja uangnya mengalir, pejabat mana yang ikut terlibat, dan kelicikan seperti apa yang dipraktikkan. Meskipun kini Badan Pemeriksa Keuangan dan Kejaksaan Agung telah menanganinya, bagaimana pertanggungjawaban pemerintah sebagai pengawas?
Di sinilah pentingnya revolusi karakter, yang pembentukannya memerlukan waktu panjang, yaitu sampai tiba waktunya bangsa ini merasa ”malu dan terhina” untuk korupsi. Merasa malu dan terhina jika melanggar etika, menyalahgunakan jabatan, undang-undang, atau ajaran agama.
Dalam membangun etika dan rasa malu untuk korupsi, peran agama sangatlah penting. Dalam hal ini, peran agama sangat dibutuhkan sebagai contoh dan pelopor.
”Kasih sayang sebagai religion values harus disebarkan sebagai nilai moral yang dapat membentuk sosok pribadi berakhlak karimah dan bermartabat, yang mampu membangun peradaban dunia yang damai,” kata KH MA Sahal Mahfudz di depan Muktamar Sufi di Jakarta tahun 2011.
Radikalisme
Pada kesempatan lain, presiden ke-3 RI, BJ Habibie, juga menegaskan, radikalisme bukan bagian ajaran agama mana pun. ”Hal itu muncul akibat rendahnya iman takwa dan intelektualitas seseorang atau kelompok tertentu. Radikalisme itu bukan ajaran agama. Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan kekerasan,” ujarnya (Kompas, 29/7/2017).
Pernyataan BJ Habibie itu bisa menjadi jawaban untuk menerangkan kenapa, misalnya, di Timur Tengah ketenteraman tersingkir dan di India terjadi ketegangan antara Hindu dan Islam. Padahal, Hindu tegas mengajarkan ”tat twan asi” (itu/dia adalah dirimu), dan Islam membawa rahmat bagi alam semesta.
Kita memang sangat membutuhkan ”nyepi” sejenak. Lepas dari hiruk-pikuk keseharian, lalu menyendiri dalam keheningan alam yang sunyi.
Menjadi semakin jelas mengapa kita membutuhkan keheningan sejenak menghadapi masa depan yang kian bergegas, semakin sesak dan kompleks ini.
Kita memang sangat membutuhkan ”nyepi” sejenak. Lepas dari hiruk-pikuk keseharian, lalu menyendiri dalam keheningan alam yang sunyi. Tradisi Bali telah menyediakan keheningan dan kesunyian seperti itu menjadi ”musik” setiap tahun saat menyambut tahun baru Saka.