Orang-orang yang terluka saat ledakan bom terorisme harus hidup dalam kesulitan akibat kerusakan tubuhnya. Beberapa di antara mereka mampu bertahan, bahkan berdamai dengan keadaan. Bagaimana caranya?
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Tanggal 9 September 2004 menjadi momen yang tak akan terlupakan bagi Nanda Olivia (40). Ledakan bom di sekitar gedung Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, benar-benar mengubah jalan hidupnya. Hampir 16 tahun berlalu, ingatannya akan kejadian tragis itu masih utuh.
Saat itu, Nanda bersama tiga penumpang lain sedang berada di dalam bus Kopaja P66 jurusan Blok M-Manggarai. Bus berhenti di seberang Kedubes Australia. Lalu, sekitar pukul 10.25, tiba-tiba bom meledak. Duar...!
Nanda, yang saat itu duduk di semester akhir STIE Perbanas Jakarta, terluka parah. Dia kehilangan tulang di punggung tangan kanan, gendang telinga robek, dan bahunya sobek. Penumpang lain (yang kemudian diketahui bernama Mutia), siswa SMA, meninggal.
Meski masih bertahan hidup, luka-luka membuat Nanda menjadi penyandang disabilitas. Sejak itu hidupnya dipenuhi kebencian terhadap pelaku teroris.
Setiap kali menonton berita di televisi tentang terduga teroris yang ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, Nanda berteriak. Tak jarang dia memaki-maki para terduga teroris di depan televisi.
Dalam satu kesempatan ketika dipertemukan dengan Ali Fauzi (mantan narapidana teroris, adik Amrozi, terpidana bom Bali), Nanda tidak mau melihat wajah Ali. Kebencian itu menggelagak sampai ubun-ubun.
Namun, sejak bertemu dengan beberapa perempuan yang suaminya menjadi terpidana teroris tiga tahun lalu, Nanda perlahan-lahan mulai berdamai dengan kenyataan. Kebencian dalam dirinya memudar. Apalagi, kemudian dia lebih sering dipertemukan dengan sejumlah perempuan lain yang juga menjadi ”korban” terorisme.
Kini Nanda menjadi Sekretaris Yayasan Penyintas Indonesia (kumpulan penyintas bom di berbagai daerah) bersama Aliansi Indonesia Damai (Aida). Bersama teman-temannya, dia aktif berkampanye tentang bahaya terorisme.
”Saya akhirnya menyadari, tak ada gunanya terus membenci, tidak akan mengembalikan tangan saya seperti dulu. Tidak akan menghidupkan anak SMA (yang tewas) di belakang saya saat kejadian itu,” ungkap Nanda.
Perempuan itu berbicara sambil menahan haru pada sesi ”Untold and Unheard Stories: GBV dalam Ekstremisme Kekerasan” dalam Pertemuan Tahunan Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC) dan Konferensi Nasional Perempuan dan Ekstremisme Kekerasan: Membaca Trend Terbaru di Jakarta, Senin (9/3/2020).
Dalam diskusi yang dipandu Maria Ulfa Ansor (komisioner Komnas Perempuan) itu, Nanda berbicara bersama N (nama samaran, istri narapidana teroris), Syarafina Nailah (yang kembali dari Suriah), dan Putri Aisyiyah Rachma Dewi (peneliti Universitas Negeri Surabaya).
Nanda mengungkapkan bagaimana dia kemudian berdamai dengan diri sendiri dan berhenti hidup dalam kebencian. ”Saya memutuskan untuk ikhlas, bukan untuk teman-teman, tetapi untuk diri saya sendiri,” katanya.
Dalam diskusi tersebut, sambil menangis, N mengakui bahwa terorisme itu salah. Dia berusaha keras mencegah suaminya tidak terlibat dalam aksi kejahatan itu. Perempuan itu juga berulang kali melarang suaminya bergabung dalam kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah. Namun, suami menolaknya.
Saat bersamaan, masyarakat telanjur mengucilkannya. Situasi kian tak mudah bagi N. ”Saya dicap kerja sama dengan orang-orang Densus. Tapi, tidak apa-apa, saya hadapi semua. Di lingkungan saya tinggal, saya juga dijauhi orang-orang yang pernah akrab,” katanya.
Pada akhirnya, N mengantarkan suaminya menyerahkan diri ke polisi. Suami itu kini menjadi narapidana teroris.
Ruby Kholifah, Panitia Pengarah WGWC, mengungkapkan, konferensi nasional tersebut digelar untuk mendiskusikan isu-isu terbaru, membuka ruang-ruang pembelajaran, dan praktik-praktik terbaik terkait pengarusutamaan jender di wilayah pencegahan, kontraradikalisme, rehabilitasi, dan reintegrasi. Pada akhir acara tersebut juga digelar pertemuan tahunan untuk konsolidasi gerakan perempuan dan ekstremisme kekerasan di tingkat nasional dan daerah.
”Selama ini isu ekstremisme dan radikalisme tidak pernah dilihat dari perspektif jender, maka WGWC ingin menciptakan ruang-ruang baru untuk seluruh elemen, baik masyarakat sipil maupun pemerintah, untuk menggunakan perspektif jender dalam kerja-kerja perdamaian,” papar Ruby.
Perspektif jender menjadi sangat penting karena persoalan perempuan dan anak-anak dalam ekstremisme kekerasan menjadi salah satu isu yang mengkhawatirkan dan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak.
Sebab, menurut Riri Khariroh, mantan anggota Komnas Perempuan, peran perempuan yang cukup kompleks, sebagai pendukung, pendidik generasi jihadis baru, perekrut, penggalang dana, pelaku, dan juga sebagai agen perdamaian, haruslah dilihat menggunakan perspektif jender yang baik. Dengan begitu, relasi kuasa dalam isu kekerasan ekstremisme akan terkuak.