Media Dituntut Terapkan Jurnalisme yang Peka dan Berempati
Di tengah kecemasan masyarakat saat ini, media massa memegang peran penting untuk menyampaikan semangat dan harapan kepada publik dalam menghadapi pandemi Covid-19 akibat virus korona baru.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi yang kemudian disusul pengumuman dua kasus positif Covid-19 di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo awal bulan lalu. Semua panik. Topik ancaman virus korona baru pun memenuhi ruang-ruang media sosial. Di tengah situasi kebingungan, publik membutuhkan panduan informasi yang tepercaya.
Masyarakat menanti setiap perkembangan yang terjadi, terutama langkah-langkah pemerintah dalam menghadapi pandemi tersebut. Maka, berita-berita media massa pun di tunggu, apakah melalui koran, televisi, radio, ataupun berita daring.
Awalnya, media pun berjibaku di lapangan, berusaha keras mendapatkan informasi paling teranyar, sesuai peran media, yakni memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui serta wajib memberikan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Di sisi lain, media pun dituntut publik untuk menerapkan jurnalisme yang memiliki kepekaan dan empati terhadap situasi.
Saat Presiden mengumumkan dua warga Indonesia positif Covid-19, sejumlah media langsung membuka data kedua pasien secara rinci, termasuk tempat tinggalnya dan berbagai cerita tentang runtutan kisah paparan virus korona baru, penyebab penyakit Covid-19. Lalu, kritik pun bermunculan, media dikritik karena penyebutan rinci identitas kedua pasien dinilai ”keterlaluan” sehingga berdampak langsung kepada kedua pasien yang diberitakan.
Tak cuma itu, media di Indonesia juga dianggap tidak sensitif dalam pemberitaan. Media nasional dibanding-bandingkan dengan media di China, yang katanya lebih mengangkat kisah-kisah heroik dan gerakan sosial masyarakat di China.
Mengapa demikian? Padahal, sudah ada imbauan dari organisasi asosiasi jurnalis, seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pusat, yang mengimbau para jurnalis selalu mengedepankan keselamatan dalam peliputan, memberikan rasa aman, menyejukkan dan menenteramkan masyarakat, serta menjaga hak-hak pasien dalam peliputan kasus Covid-19.
Bahkan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyerukan prinsip-prinsip peliputan dan pemberitaan Covid-19 bagi jurnalis dan media di Indonesia. Khusus untuk publikasi berita tentang Covid-19, AJI meminta jurnalis dan media perlu menerapkan prinsip liputan yang bertanggung jawab, memiliki kepekaan dan empati, serta mempertahankan akurasi. Sama seperti seruan IJTI, AJI juga mengingatkan agar jurnalis dan media tidak memublikasikan data pribadi pasien penderita Covid-19.
Tidak memicu kepanikan
Terkait konten, AJI secara tegas meminta jurnalis menghindari publikasi konten yang memicu kepanikan publik. Penggunaan kata sifat yang bisa menambah kecemasan dalam masyarakat harus dihindari. Misalnya, ”virus yang mematikan ini” atau mengasosiasikan virus dengan warga negara tertentu yang bernada rasisme atau xenofobia, serta memicu stigma terhadap kelompok tertentu.
Media-media daring diimbau pula menghindari penggunaan judul yang semata menarik perhatian orang alias clickbait serta mengurasi foto dengan bijak agar tidak mengaburkan informasi atau menyebarkan informasi yang salah.
Di masa-masa kritis ini, berita-berita tentang pencegahan penyebaran Covid-19 sangat dibutuhkan publik. Selain itu, kisah-kisah pasien yang bisa sembuh dari Covid-19 juga ditunggu-tunggu masyarakat untuk menumbuhkan harapan.
Dalam penyampaian konten-konten tersebut, AJI mengingatkan media agar tetap memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik dengan menerapkan verifikasi secara ketat sebab, penyampaian informasi-informasi yang keliru justru akan menambah kebingungan dan kekacauan masyarakat. Selain itu, media juga diimbau tetap fokus mengawal upaya penanggulangan krisis yang dilakukan pemerintah supaya dampak wabah ke masyarakat bisa diminimalkan.
Kawal penanggulangan krisis
Pandemi Covid-19 harus dihadapi bersama-sama. Karena itulah, media mesti tetap fokus mengawal upaya penanggulangan krisis yang dilakukan pemerintah agar dampak Covid-19 ke masyarakat bisa diminimalkan. Soal publikasi media saat ini, menurut Ketua Umum AJI Abdul Manan, fakta terus bertambahnya jumlah korban dan langkah pemerintah yang lamban semestinya dilihat sebagai bentuk kontrol sosial media. Sepanjang itu faktual, pemberitaan itu tidak bermasalah.
”Akan lebih baik bagi publik jika media banyak menyoroti kinerja pemerintah supaya lebih bertanggung jawab dan membuat kebijakan yang cepat dan tepat. Beberapa waktu lalu, para menteri cenderung meremehkan bahaya dan ancaman virus korona baru. Karena itulah dibutuhkan kritik yang keras bagi pemerintah,” kata Manan, di Jakarta, Rabu (18/3/2020).
Sementara itu, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana menilai pemerintah memiliki pertimbangan untuk menangani bencana non-alam, seperti Covid-19, mulai dari masa tanggap darurat sampai Mei 2020, dengan langkah-langkah tepat.
”Tapi yang paling penting saat tanggap darurat itu, Indonesia harus mencontoh Vietnam dan Korea yang siap dalam melakukan antisipasi, termasuk menyemprot disinfektan ke seluruh fasilitas umum. Sejauh ini, pemerintah kita belum siap. Bahkan, kawan-kawan jurnalis yang mau memeriksakan diri di rumah sakit saja sempat telantar, bagaimana nasib masyarakat kecil?” kata Yadi.
Pemerintah juga dinilai tidak tegas, kebijakan bekerja dari rumah (work from home) hanya sebatas imbauan bukan kewajiban. ”Ketegasan pemerintah penting. Sebagian kawan jurnalis bisa bekerja dari rumah, seperti media daring dan koran, tetapi televisi tidak bisa. Newsroom televisi sebagian besar sudah mengatur protokol masing-masing dengan bagus,” kata Yadi.
Keselamatan jurnalis
Baik AJI maupun IJTI sendiri mengeluarkan imbauan berupa mitigasi peliputan wabah Covid-19. Intinya, jurnalis harus mempertimbangkan aspek keselamatan dalam bertugas tanpa harus mengabaikan fungsi utamanya meliput dan memberitakan Covid-19 sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada publik.
Pemberitaan dan peliputan Covid-19 di sejumlah daerah harus dilakukan melalui protokol keselamatan yang ketat bagi para jurnalis, baik yang di lapangan maupun di newsroom.
Selain itu, perusahaan media dan seluruh jajaran redaksi juga wajib menjamin keselamatan para jurnalisnya di lapangan, wajib membekali pengetahuan yang memadai tentang protokol kesehatan , serta memberikan perlengkapan untuk keselamatan para jurnalisnya saat meliput Covid-19.
”Namun tak ada berita seharga nyawa. Jurnalis tetap harus mengutamakan keselamatan dirinya dibandingkan berita yang diliputnya,” kata Yadi.
Maka, kesehatan dan keselamatan kerja para jurnalis hendaklah menjadi prioritas saat penugasan berisiko, seperti liputan soal Covid-19.