Perundungan dan Pelecehan Seksual adalah Kekerasan, Sama Sekali Tak Layak Diviralkan
Dunia pendidikan Indonesia tercoreng setelah sekelompok siswa melakukan perundungan sekaligus pelecehan seksual terhadap seorang siswi di sebuah SMA di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Sekolah mesti lebih waspada.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
Video perundungan disertai pelecehan seksual terhadap seorang siswi di sebuah SMA di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, mengundang keprihatinan publik. Yang mengejutkan publik, tindakan pelecehan seksual itu dilakukan oleh beberapa siswa!
Ironisnya, tempat peristiwa pelecehan justru di sekolah. Aksi perundungan tersebut direkam kemudian disebar dan langsung beredar luas di masyarakat.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta masyarakat tidak ikut menyebarluaskan rekaman video tersebut.
”Kami sangat prihatin karena itu merupakan bentuk kekerasan dan perundungan terhadap siswi. Apalagi lagi kasus ini terjadi di institusi pendidikan dan dilakukan secara sadar kemudian direkam dan disebarluaskan hingga viral,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati di Jakarta, Selasa (10/3/2020).
Kasus ini terjadi di institusi pendidikan dan dilakukan secara sadar kemudian direkam dan disebarluaskan hingga viral.
Begitu mendapat laporan terkait kasus ini, Kementerian PPPA langsung berkoordinasi dengan sejumlah pihak di Sulut, terutama dengan Dinas PPPA Kabupaten Bolaang Mongondow, Tim Cyber Crime Bareskrim Polri, dan pihak sekolah.
”Saya akan memastikan penanganan segera dilakukan dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Saya juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak menyebarkan video yang menampilkan identitas korban,” ujar Bintang.
Hal tersebut sesuai Pasal 64 (i) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pada bagian lain, Bintang juga mengimbau agar masyarakat tidak segan untuk melaporkan langsung segala bentuk kekerasan terhadap anak kepada Kementerian PPPA melalui pengaduan masyarakat ke nomor 082125751234 dan akun sosial media Kementerian PPPA.
Penanganan psikososial
Retno Listyarti, komisioner KPAI Bidang Pendidikan, mengungkapkan, KPAI mendorong sekolah memproses kasus pelecehan seksual di lingkungan sekolah agar para pelaku jera dan menyadari kesalahannya.
”KPAI mendorong anak korban diasesmen dan anak pelaku juga menjalani proses penanganan psikososial agar dapat mendapatkan rehabilitasi psikologis jika diperlukan terapi tindak lanjut,” ujar Retno.
Karena kejadiannya di lingkungan sekolah, KPAI meminta Dinas Pendidikan Provinsi Sulut untuk penegakan aturan terhadap sekolah dan memastikan sekolah menangani para siswa yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual tersebut.
Sebab, kepala sekolah dan jajarannya memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak-anak selama berada di sekolah dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Kewajiban tersebut telah diatur dalam Pasal 54 UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak juga Peraturan Mendikbud No 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
”Kami menduga ada kelalaian pihak sekolah dalam pengawasan di lingkungan sekolah,” ujar Retno.
Untuk mencegah agar kasus perundungan dan pelecehan seksual tidak terulang kembali, Retno menyatakan, salah satu upaya pencegahannya bisa lewat pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah. ”Selama ini untuk mengajarkan soal pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi tidak mudah. Ada keengganan yang menghambat pengajaran topik itu di sekolah,” ujar Retno.
Padahal, seharusnya, pendidikan soal seksualitas dan kesehatan reproduksi bisa masuk dalam kurikulum agar menjadi standar untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, hingga kini pendidikan seksual di sekolah masih dianggap tabu.