Suara Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan Makin Lantang
Ribuan perempuan dan aktivis pembela hak asasi manusia mendesak pemerintah dan DPR membahas dan mengesahkan sejumlah Rancangan Undang-Undang yang melindungi perempuan.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Perlawanan perempuan terhadap kekerasan semakin lantang disuarakan pada peringatan Hari Perempuan Internasional 2020. Mengusung tema ”Melawan Kekerasan Sistematis terhadap Perempuan”, ribuan perempuan dan aktivis pembela hak asasi manusia, Minggu (8/3/2020), turun ke jalan menggelar peringatan Hari Perempuan Internasional 2020.
Ancaman penyebaran virus korona baru tak menyurutkan semangat perempuan dari berbagai komunitas untuk berkumpul. Di Jakarta, sejak pukul 09.00, ribuan perempuan mendatangi salah satu sisi Jalan MH Thamrin, tak jauh dari gedung Bawaslu, membentuk barisan panjang yang mengarah ke Monumen Nasional.
Para perempuan yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Perempuan Anti-Kekerasan (GERAK Perempuan) hadir dengan membawa berbagai poster dan spanduk berisi aspirasi perempuan dan kelompok-kelompok rentan. ”Hentikan Penindasan” atau ”Perempuan Bersatu Melawan Kekerasan” menjadi yel-yel yang diteriakkan para perempuan.
Peringatan Hari Perempuan Internasional (International Womens Day/IWD) 2020 memberi warna tersendiri bagi perempuan. Tak hanya perempuan aktivis dari berbagai organisasi, kegiatan yang digelar pada hari libur tersebut juga membuat perempuan-perempuan buruh (pekerja) ikut melebur dalam peringatan tersebut.
Pada IWD 2020, GERAK Perempuan menyuarakan enam tuntutan kepada negara. Pertama, segera tangani dan tuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Kedua, bangun sistem perlindungan komperehensif bagi perempuan, anak, dan kelompok minoritas. Ketiga, cabut produk perundang-undangan dan batalkan rencana perundang-undangan yang diskriminatif, tidak berkeadilan jender, dan melanggar hak.
Tuntutan keempat, hentikan agenda pembangunan yang berpihak kepada investor. Kelima, batalkan Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (omnibus law), RUU Ketahanan Keluarga, dan RKUHP. Keenam, bahas dan sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat dan ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
GERAK Perempuan menyatakan kekerasan terhadap perempuan terjadi secara sistematis, baik terhadap perempuan biologis (cisgender) maupun individu yang mengidentifikasi diri sebagai perempuan (transgender/non-conforming).
Kekerasan yang dilandasi oleh nilai hetero-patriarki (nilai yang memberikan keistimewaan lebih pada laki-laki biologis, heteroseksual, dan maskulin), bekerja melalui institusi agama, budaya, dan negara.
Lingkaran kekerasan
Dampaknya, kekerasan sistematis terhadap perempuan mewujud dalam kebijakan yang mengatur ranah publik dan privat, produk perundang- undangan, sikap politik, norma sosial, serta berbagai sistem mulai dari bahasa, pengetahuan, kemasyarakatan, hingga teknologi, ekonomi, kepercayaan dan kesenian. Sistem tersebut dilanggengkan melalui cara-cara militeristik, manipulatif, berulang, dan tidak pernah putus.
”Perempuan tidak memiliki ruang aman, mulai dari dalam rumah, dunia pendidikan, dunia kerja, ruang publik, hingga dunia maya. Perempuan diperangkap dalam berbagai bentuk lingkaran kekerasan,” kata Mutiara Ika dari GERAK Perempuan.
Bentuk kekerasan sistematis terhadap perempuan ada yang langsung menyasar tubuh perempuan, seperti kekerasan seksual, kekerasan fisik, psikis, dan verbal. Selain itu, bentuk kekerasan menyasar ruang kehidupan perempuan sebagai basis operasinya, seperti kekerasan berbasis ekonomi, kekerasan berbasis lingkungan, kekerasan berbasis orientasi seksual, dan identitas jender.
Rantai kekerasan yang melilit perempuan, mulai dari dalam rumah hingga ruang publik, tak kunjung berakhir. ”Kami meyakini bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah sistematis. Kami percaya bahwa kesetaraan, nirkekerasan, solidaritas, dan demokrasi adalah nilai dan prinsip yang harus ada untuk membangun kekuatan politik guna menghentikan kekerasan sistematis terhadap perempuan,” tegas Lini Zurlia, yang juga dari GERAK Perempuan.
Keprihatinan atas tingginya kekerasan terhadap perempuan selaras dengan Catatan Akhir Tahun Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2020, yang menyebutkan pada tahun 2019 laporan kekerasan terhadap perempuan mencapai 431.471 kasus.
Suara lantang saat peringatan IWD 2020 juga disampaikan Institut Perempuan, antara lain dengan mendesak DPR dan pemerintah untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan sejumlah RUU yang berpihak pada perempuan dan korban kekerasan.
”Dalam hal legislasi, tahun 2020 merupakan momen penting. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga berada di Prolegnas,” kata Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala.
Perdagangan orang
Selain melawan ketimpangan, IWD 2020 diharapkan juga menjadi momentum untuk mengakhiri kerentanan pekerja migran perempuan Indonesia. Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, mengungkapkan wajah mayoritas pekerja migran Indonesia adalah perempuan (68 perempuan).
”Kasus-kasus yang terjadi mayoritas dialami pekerja migran perempuan (80 persen). Kasus terbesar adalah terperangkap dalam praktik perdagangan orang, disusul permasalahan kontrak kerja, dan penipuan,” kata Wahyu.
Tak hanya aktivis organisasi masyarakat sipil, harapan di IWD 2020 juga hadir dari Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI). Ketua Presidium Diah Pitaloka, dalam keterangan pers, mengungkapkan pentingnya kehadiran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, kendatipun sejak Indonesia merdeka, perempuan telah diakui sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga kini jumlah kehadiran dan kepemimpinan perempuan dalam politik Indonesia masih relatif kecil, bahkan berjalan lambat dibandingkan dengan negara lain di kawasan yang sama.
”Karena itu, KPPRI mendorong hadirnya lebih banyak kepemimpinan perempuan baik di legislatif, eksekutif, yudikatif, TNI, dan Polri maupun lembaga publik lainnya,” ujar Diah.
Kehadiran perempuan dalam berbagai ruang tentu menjadi sebuah harapan di IWD 2020. Selamat Hari Perempuan Internasional.