Perempuan Berperan Besar dalam Pusaran Ekstremisme dan Radikalisme
Tak banyak yang tahu bahwa perempuan memiliki peran yang cukup kompleks dalam pusaran ekstremisme dan radikalisme. Meski demikian, perempuan juga berperan sangat penting dalam pencegahan ekstremisme dan radikalisme.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan perempuan dan anak-anak dalam ekstremisme kekerasan menjadi salah satu isu yang mengkhawatirkan dan perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak karena perempuan memiliki peran yang cukup kompleks dalam pusaran ekstremisme dan radikalisme. Meski demikian, perempuan juga berperan sangat penting dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.
Karena itulah dalam rangka Hari Perempuan Internasional 2020, Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC)—sebuah jaringan masyarakat sipil dari berbagai organisasi yang bekerja menangani isu perempuan, terorisme, dan ekstremisme kekerasan—menyelenggarakan pertemuan tahunan dan konferensi nasional bertajuk ”Perempuan dan Pencegahan Ekstremisme: Membaca Tren Baru” di Jakarta, Senin (9/3/2020).
”Selama ini isu ekstremisme dan radikalisme tidak pernah dilihat dari perspektif jender. Maka, WGWC ingin menciptakan ruang-ruang baru untuk seluruh elemen, baik masyarakat sipil maupun pemerintah, untuk menggunakan perspektif jender dalam kerja-kerja perdamaian,” ujar Ruby Kholifah, Panitia Pengarah WGWC, pada pembukaan konferensi tersebut.
Kegiatan tersebut menghadirkan para pakar dan pegiat isu perdamaian, mulai dari kalangan praktisi, akademisi, ormas keagamaan, hingga pengambil kebijakan.
Perempuan memiliki peran yang cukup kompleks dalam pusaran ekstremisme dan radikalisme.
”Peran perempuan yang cukup kompleks, baik sebagai pendukung, pendidik generasi jihadis baru, perekrut, penggalang dana, pelaku, maupun agen perdamaian, haruslah dilihat dengan menggunakan perspektif jender yang baik agar relasi kuasa dalam isu ekstremisme kekerasan dapat terkuak,” ucap Riri Khariroh yang juga Panitia Pengarah WGWC.
Mira Kusumarini, Direktur Eksekutif C-SAVE (Civil Society Against Violent Extremism), menyampaikan, dari sisi regulasi, sebenarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penanganan Tindak Pidana Terorisme mengakomodasi kebutuhan pencegahan, penegakan hukum, serta perlindungan korban dan aparat penegak hukum.
Selain itu, ada pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 sebagai produk hukum turunan UU Nomor 5 Tahun 2018. PP tersebut menjabarkan teknis pelaksanaan upaya-upaya pencegahan tindak pidana terorisme, termasuk kesiapsiagaan nasional, kontra-radikalisme, dan deradikalisasi.
Namun, menurut Mira, walaupun beberapa telah disahkan, masih dibutuhkan banyak kebijakan di tingkat pusat dan daerah, terutama kebijakan yang responsif jender.
Konferensi nasional ini berlangsung hingga Selasa (10/3/2020). Menurut Ruby, selama konferensi, peserta mendiskusikan berbagai isu terbaru, membuka ruang-ruang pembelajaran, dan praktik-praktik terbaik dalam upaya pengarusutamaan jender di wilayah pencegahan, kontra-radikalisme, rehabilitasi, dan reintegrasi.
Selain mendengarkan paparan dari sejumlah pembicara, pada konferensi tersebut juga hadir sejumlah perempuan yang terkait dengan gerakan radikalisme maupun korban bom. Mereka memaparkan situasi dan kondisi kehidupan mereka.