Dalam kasus virus korona baru, media harus mengedepankan fungsi edukasi dan kontrol sosial. Ini penting untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat, tidak justru menambah bingung masyarakat.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Pengumuman kasus virus korona (corona) baru di Indonesia pada Senin (2/3/2020) memang mengakhiri kesimpangsiuran informasi dan tanda tanya masyarakat tentang ada tidaknya kasus ini di Tanah Air. Namun, kondisi ini juga sekaligus memunculkan kekhawatiran di masyarakat akan ancaman virus yang penyebarannya sangat cepat ini.
Ditambah lagi, arus informasi tentang virus ini mengalir semakin deras. Pemberitaan media tentang virus ini bertambah banyak, dari berbagai sudut pandang. Aksi berburu masker dan cairan antiseptik pencuci tangan yang diyakini efektif untuk membentengi diri dari infeksi virus korona baru, aksi borong bahan makanan di sejumlah tempat, dan terutama ihwal pasien-pasien yang terinfeksi virus tersebut juga tak luput dari pemberitaan.
Namun, cara sejumlah media menampilkan informasi tersebut, terutama soal pembukaan identitas kedua pasien yang tengah dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianto Saroso, Jakarta, beberapa waktu lalu, menjadi berlebihan, cenderung mengeksploitasi informasi, dan bahkan melanggar kode etik jurnalistik. Nama, alamat, data pribadi, dan kehidupan pasien seharusnya tidak boleh disebarluaskan.
Selain tidak etis, memberitakan data pribadi pasien dalam kasus ini menstigma kedua pasien, apalagi mereka dinyatakan sebagai penderita penyakit Covid-19 akibat virus korona baru yang pertama di Indonesia. Pemberitaan yang demikian, secara tidak langsung, telah menempatkan kedua pasien tersebut sebagai ”sumber” infeksi virus korona baru dan karena itu harus dihindari, bahkan rumahnya pun harus dihindari. Kondisi ini membuat pasien tertekan (Kompas, 4/3/2020).
”Begitu Presiden mengumumkan kasus virus korona baru, jurnalis seperti ikut terkejut, ikut heboh. Mungkin (jurnalis dan medianya) tak sempat merencanakan (peliputan) sehingga mereka lupa pada kode etik (jurnalistik),” kata Wakil Ketua Dewan Pers Hendy Ch Bangun, Kamis (5/3/2020). Kemampuan abstraksi wartawan diuji, tidak melanggar kode etik tetapi bisa menjelaskan dengan gamblang, dan ini berbanding lurus dengan profesionalitas wartawan sekaligus media yang menaunginya.
Kode etik jurnalistik yang ditetapkan pada 2006 telah memberi rambu-rambu dan acuan untuk kerja jurnalistik yang profesional dan proporsional. Prinsip-prinsip kode etik jurnalistik, termasuk kebenaran, bersikap independen, transparan, dan bertanggung jawab, tidak hanya berlaku bagi jurnalis atau wartawan, tetapi juga para penjaga gawang (gatekeepers) di ruang redaksi, termasuk pemilik media.
Yetha, wartawan yang pernah bekerja di sejumlah media elektronik, mengungkapkan, berdasarkan pengalamannya, belum semua wartawan paham dengan baik kode etik jurnalistik. Apalagi, tidak semua media membekali wartawannya dengan pengetahuan jurnalistik yang cukup, termasuk tentang kode etik jurnalistik.
Dalam kondisi demikian, tuntutan yang tinggi untuk mendapatkan informasi dan memproduksi berita secepatnya sering kali membuat wartawan akhirnya hanya berdisiplin pada rumus 5W1H, yaitu tentang siapa, apa yang terjadi, di mana peristiwa terjadi, kapan, mengapa terjadi, dan bagaimana terjadi. Di era tsunami informasi saat ini, informasi yang real time memang menjadi kebutuhan masyarakat.
”Memang sering kali ada ungkapan di kalangan wartawan, mengapa media mainstream (arus utama) tidak boleh, toh di media sosial (medsos) begitu (semua dibuka). Ini salah. Media mainstream harus dibedakan dengan media sosial. Media mainstream punya etika kerja, punya tanggung jawab terhadap publik, medsos tidak ada aturannya,” kata Yadi Hendriyana, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).
Konten edukatif
Selain sebagai media informasi, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers nasional juga mempunyai fungsi pendidikan atau edukasi, hiburan, dan kontrol sosial. Saat menghadapi kasus virus korona baru seperti saat ini, kalangan pers, mulai dari IJTI, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), hingga Dewan Pers, meminta media menonjolkan fungsi edukasi dan kontrol sosial.
Fungsi edukasi itu bisa dilakukan dengan memberikan informasi tentang perkembangan terbaru kasus virus korona baru ini, mulai dari cara penularannya, cara antisipasi, hingga bagaimana mencegah penyebarannya. Tak kalah penting adalah tips-tips yang bermanfaat, seperti edukasi untuk hidup sehat agar publik bisa terhindar dari penyakit yang belum ada vaksin penangkalnya ini.
”Jika hendak menyampaikan angka kematian (jumlah korban jiwa virus korona baru), harus pula diikuti persentase kesembuhan,” kata komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis, dalam pernyataan tertulisnya.
Masyarakat perlu diedukasi bahwa peluang sembuh dari penyakit Covid-19 akibat infeksi virus korona baru ini sangat besar. ”Tumbuhkan optimisme lewat data. Data kesembuhan tersedia di banyak negara. Kehati-hatian sangat penting, tetapi ketakutan dan paranoid tidak membantu apa-apa, malah memperparah suasana,” kata Ketua AMSI Wenseslaus Manggut.
Adapun fungsi kontrol media dilakukan dengan memastikan melalui pemberitaan bahwa negara menjalankan upayanya secara maksimal dalam menghadapi penyebaran virus ini dan mengobati mereka yang terinfeksi. Media harus mendorong dan membantu pemerintah agar terus melakukan sosialisasi secara terus-menerus tentang standardisasi penanganan yang dilakukan. Media harus menghindari ruang berita dipakai untuk debat kusir, berpolemik yang tidak perlu, yang justru menimbulkan kebingungan dan kepanikan di masyarakat.
Di tengah kondisi masyarakat yang terjangkiti FoMO (Fear of Missing Out), yaitu gejala tidak ingin ketinggalan informasi, kasus virus korona baru ini menjadi pembelajaran bagi media untuk benar-benar hadir menyajikan informasi yang kredibel. Kredibilitas pembuat berita akan menunjukkan berita tersebut dibuat bukan oleh sembarang orang yang tidak memahami permasalahan yang diangkat. Ini akan menjaga marwah wartawan agar profesi ini selalu dapat dipertahankan sebagai pilar keempat demokrasi.