Undang-undang Sistem Perbukuan mengamanatkan buku itu murah, bermutu, dan merata. Aspek murah ini kini terfasilitasi dengan terbitnya pembebasan Pajak Pertambahan Nilai buku.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah telah membebaskan Pajak Pertambahan Nilai buku melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5/PMK.010/2020 pada 10 Januari 2020. Kebijakan ini baru menyelesaikan persoalan biaya beli buku. Meski demikian, di luar itu masih ada persoalan-persoalan penting lainnya yang mendera perbukuan Indonesia mulai dari hulu ke hilir.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5/PMK.010/2020 memutuskan buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama yang atas impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Buku pelajaran umum yang dimaksud adalah buku pendidikan sebagaimana dimaksud UU No 3/2017 tentang Sistem Perbukuan dan buku umum yang mengandung unsur pendidikan.
Kriteria buku umum mengandung unsur pendidikan yang mendapatkan fasilitas bebas PPn adalah tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, diskriminatif, unsur pornografi, kekerasan, dan ujaran kebencian.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Rosidayati Rozalina, Minggu (8/3/2020), di Jakarta, mengungkapkan, sudah ada beberapa kebijakan yang sifatnya memberikan insentif pembelian buku, sebelum ada Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 5/PMK.010/2020 dikeluarkan. Akan tetapi, kebijakan tersebut dia nilai multitafsir. Sebagai contoh, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.011/2013, definisi buku pelajaran umum yang bebas PPn adalah buku buku-buku fiksi dan nonfiksi untuk meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa.
UU No 3/2017 tentang Sistem Perbukuan mengamanatkan buku itu murah, bermutu, dan merata. Aspek "murah" ini terfasilitasi dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 5/PMK.010/2020.
"Kendati demikian, masih ada persoalan ketika penulis buku meminta kenaikan royalti dan berpotensi menaikkan biaya pembelian. Hal itu lain cerita. Kami sekarang fokus bahwa pembebasan PPn untuk semua buku ini bermanfaat positif bagi daya beli masyarakat karena sudah sesuai amanah pertama UU No 3/2017 tentang Sistem Perbukuan," ujar dia.
Dari sisi hulu perbukuan, Rosidayati menyebutkan, jumlah perusahaan penerbit buku anggota Ikapi di Indonesia sekarang mencapai sekitar 1.700-an. Akan tetapi, hanya setengah di antaranya yang aktif.
Rata-rata produksi buku baru setiap tahun berkisar 30.000 judul baru atau sekitar 119 judul baru per 1 juta penduduk. Jumlah ini tergolong tinggi dibanding negara ASEAN lainnya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 250 juta jiwa, maka situasi tersebut tidak ideal. Di Thailand terdapat sekitar 215 judul baru, sedangkan Malaysia 639 judul baru, dan Vietnam 273 judul baru per 1 juta penduduk per tahun.
Sementara dari sisi hilir, dia menyebutkan adanya iklim usaha tidak kondusif. Misalnya, sejumlah perusahaan penerbit tergantung permintaan produksi buku pendidikan sekolah, tetapi adanya ketetapan harga eceran tertinggi dari pemerintah sehingga nilai jual jauh di bawah harga ritel. Ditambah lagi, adanya persoalan pembajakan liar untuk buku-buku populer.
Belum standar
Kepala Biro Hukum dan Perencanaan Perpustakaan Nasional Joko Santoso menyebutkan, berdasarkan riset Perpustakaan Nasional pada 2018, baru 19,48 persen dari total 164.610 perpustakaan di seluruh Indonesia yang memenuhi standar ideal. Salah satu standar ideal adalah kecukupan jumlah buku.
Sementara pada saat bersamaan, dia menyebut pemerintah berusahaa memperluas jangkauan perpustakaan ataupun ruang baca bagi warga sampai ke pelosok desa. Dia lantas mencontohkan Peraturan Menteri Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018 yang salah satu arahannya adalah memprioritaskan penggunaan dana desa untuk pembangunan perpustakaan.
Pendiri gerakan Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka, menceritakan, gerakan akar rumput mengumpulkan dan mendistribusikan buku secara mandiri mulai menggeliat sejak 2014. Inilah makna dari pustaka bergerak.
"Gerakan ini bukan hanya menyebarkan buku ke berbagai penjuru Indonesia, khususnya desa tertinggal, terdepan dan terluar, melainkan juga mempererat silahturahmi sesama warga Indonesia," ujar dia.
Gerakan Pustaka Bergerak sempat mendapat dukungan dari instansi pemerintah melalui PT Pos Indonesia (Persero), yakni biaya pengiriman gratis buku setiap tanggal 17. Pelaksanaan dukungan yang diberi nama free cargo policy ini dimulai Mei 2017. Berdasarkan hasil rekapitulasi kiriman buku Mei 2017 sampai Desember 2018 terdapat lebih dari 312 ton lebih buku terkirim ke seluruh Indonesia. Selama sekitar 20 bulan itu lahir ratusan komunitas Pustaka Bergerak di berbagai provinsi. Komunitas tersebut menjumpai anak-anak ataupun warga yang selama ini kesusahan mengakses buku.
Memasuki tahun 2019 sampai sekarang, dukungan pengiriman gratis buku setiap tanggal 17 oleh pihak PT Pos Indonesia (Persero) dihentikan. Nirwan mengaku menyayangkan keputusan itu. Menurutnya, menggerakkan masyarakat sipil mengumpulkan buku lalu dikirim ke pelosok adalah bagian dari pemerataan akses buku. Dukungan free cargo policy juga mampu menghemat biaya pengiriman sampai ratusan juta rupiah per bulan.
Direktur Utama PT Pos Indonesia (Persero) Gilarsi Wahyu Setijono membenarkan, pihaknya pernah menyediakan layanan pengiriman gratis buku ke seluruh Indonesia setiap bulan pada tanggal 17. Hal itu untuk mendukung program Gerakan Literasi Nasional yang digulirkan oleh pemerintah. Namun, layanan itu terhenti karena perusahaan sedang mencari model anggaran yang lebih berkesinambungan.
"Semua pihak yang punya kepedulian sama terhadap literasi dapat bersama-sama memikul. Dengan demikian, layanan pengiriman gratis buku bisa terus berjalan secara berkelanjutan," ujar dia. Harapannya, inovasi skema anggaran baru pengiriman gratis bisa lahir sebelum peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei.