12 Tahun, Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat Delapan Kali Lipat
Kondisi perempuan Indonesia masih jauh dari aman. Selama 12 tahun, jumlah laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dari pemerintah dan berbagai lembaga meningkat hampir delapan kali lipat.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Catahu Komnas Perempuan) 2020 yang diluncurkan, Jumat (6/3/2020) di Jakarta menunjukkan jumlah laporan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019 mencapai 431.471 kasus. Angka ini jauh melonjak dibandingkan Catahu Komnas Perempuan tahun 2008 yang jumlahnya mencapai 54.425 kasus atau naik 792 persen.
Peningkatan jumlah laporan kekerasan setiap tahun menunjukkan fenomena gunung es dari kekerasan terhadap perempuan. Situasi tersebut juga memberi arti bahwa hingga kini perlindungan dan keamanan terhadap perempuan masih jauh dari harapan, bahkan telah terjadi pembiaran.
“Fenomena ini dapat dikatakan (bahwa) kekerasan terhadap perempuan menjadi budaya yang menguat di kalangan masyarakat kita,” ujar Mariana Amiruddin, Komisioner Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan.
Selain Mariana, Catahu Komnas Perempuan 2020 juga disampaikan bergantian oleh beberapa komisioner lainnya, yakni Veryanto Sitohang, Siti Aminah Tardi, Tiasri Wiandani, Rainy Hutabarat, Retty Ratnawati, dan Bahrul Fuad, serta Koordinator Divisi Pemantauan Badan Pekerja Komnas Perempuan, Dwi Ayu Kartikasari.
Catahu Komnas Perempuan disusun berdasarkan laporan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima dan ditangani oleh berbagai lembaga masyarakat, institusi pemerintah, Kepolisian, dan Pengadilan di seluruh provinsi, termasuk pengaduan langsung yang diterima Komnas Perempuan melalui Unit Pelayanan Rujukan (UPR).
Catahu Komnas Perempuan menyoroti peningkatan jumlah laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak ditindaklanjuti hingga ke proses pengadilan. Persoalan kekerasan terhadap perempuan masih terganjal penyelesaian secara hukum. “Misalnya satu kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan sejak tahun 2016, hingga tahun 2020 masih berjalan (menggantung),” ujar Siti Aminah.
Kekerasan terhadap anak
Pada Catahu tahun 2020, Komnas Perempuan menemukan jumlah laporan kekerasan terhadap anak perempuan meningkat sebanyak 2.341 kasus (sekitar 65 persen) dibandingkan tahun 2018 (1.417 kasus). Dari semua jenis kekerasan yang dialami anak perempuan, inses merupakan yang paling tertinggi (770 kasus) dan kekerasan seksual (571 kasus).
Bahkan dari data kekerasan seksual di ranah personal, kasus inses menempati angka tertinggi (822 kasus), disusul perkosaan (792 kasus). Pada Catahu 2019 lalu, kasus inses juga menempati angka tertinggi dalam kekerasan seksual di ranah personal atau keluarga (1.071 kasus). Pelaku inses adalah orang-orang terdekat korban yakni ayah dan paman.
Ruang aman perempuan juga semakin terusik seiring meningkatnya kejahatan berbasis siber. Pada 2019, fenomena kejahatan siber terhadap perempuan meningkat terutama dalam bentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban. Begitu juga dengan kekerasan seksual terhadap perempuan difabel meningkat 47 persen dengan korban terbanyak perempuan difabel intelektual.
Komnas Perempuan juga mencatat fenemona kasus femisida (pembunuhan terhadap perempuan karena status jender). Dari pemantauan di media daring sepanjang 2019 terdapat 145 kasus femisida.
Pada akhir Catahu yang dibacakan Retty Ratnawati, Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, antara lain mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Ghafur Akbar Dharma Putra menilai, peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan seharusnya menjadi perhatian pemerintah terutama lembaga yang terkait, terutama lembaga penegak hukum.
“Atas laporan Komnas Perempuan seperti ini, berarti ada sesuatu yang salah. Pertanyaannya, apakah regulasinya belum ada? Kalau sudah ada kan harus diimplementasikan. Jadi, permasalahannya di sana,” tegas Ghafur seraya menegaskan perlunya pembenahan mulai dari sistem pelaporan hingga pengadilannya.
Dia menilai, tingginya kekerasan terhadap perempuan juga memperlihatkan pemahaman tentang kesetaraan jender di masyarakat yang masih rendah.
Bukan dokumen mati
Koordinator Sekretariat Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Bagi Perempuan Korban Kekerasan, Veni Siregar mengapresiasi Catahu Komnas Perempuan tersebut. FPL memberikan dukungan dengan mengirimkan catatan kasus yang didokumentasikan di lembaga masing-masing.
“Kami berharap Catahu Komnas Perempuan bukan menjadi dokumen mati, tapi dokumen yang bisa menjawab persoalan dan tantangan yang dialami lembaga layanan, misalnya dalam kasus kekerasan terhadap perempuan di beberapa wilayah yang membahayakan pendamping dan korban. Saat korban melapor, upaya hukum masih mengalami hambatan,” tegas Veni.
FPL juga berharap, rekomenasi dari Catahu Komnas Perempuan menjadi rekomendasi yang bisa ditindaklanjuti berbagai lembaga terkait untuk menjawab persoalan. Ke depan Veni mengusulkan agar penyusunan rekomendasi Komnas Perempuan perlu melibatkan perwakilan lembaga layanan yang menyerahkan catatan kasus supaya rekomendasi yang dibuat sejalan dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan.
“Kami berharap aparat penegak hukum dan semua pemangku kebijakan berpartisipasi menjawab persoalan yang didokumentasikan Komnas Perempuan setiap tahun,” kata Veni.