Polres Flores Timur Mengidentifikasi Pelaku dan Provokator Perang Suku di Adonara
Polres Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sedang mengidentifikasi pelaku dan provokator perang antara suku Kwaelaga dan suku Lama Tokan di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Flores Timur, yang menewaskan enam orang.
Oleh
·4 menit baca
ADONARA, KOMPAS — Kepolisian Resor Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sedang mengidentifikasi pelaku dan provokator perang antara suku Kwaelaga dan suku Lama Tokan di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Flores Timur, yang menewaskan enam orang. Kasus ini berawal dari perebutan tanah di Wulen Watan Pantai Bani Desa Baobage, Kecamatan Witihama. Masalah tanah di Adonara hanya bisa diselesaikan secara hukum adat.
Kepala Polres Flores Timur Ajun Komisaris Besar Dennys Abraham yang berada di lokasi, Jumat (6/3/2020), mengatakan, enam jenazah yang tewas dalam perang suku sedang dalam proses pemakaman.
Tiga korban dari suku Kwaelaga sudah dimakamkan, sementara satu korban masih menunggu kedatangan anaknya dari luar NTT. Kemungkinan, Sabtu (7/3/2020), korban keempat akan dimakamkan setelah anaknya tiba.
Mereka sudah dipertemukan dan berjanji tidak melanjutkan perang suku lagi.
Mereka dimakamkan pada siang hari, terpisah dari korban dari suku Lama Tokan. Korban dari suku Kwaelaga dimakamkan di dusun Sandosi I, sementara korban dari suku Lama Tokan dimakamkan di dusun Sandosi II. Dusun Sandosi I dihuni suku Lama Tokan, Sandosi II dihuni suku Kwaelanga, kemudian membentuk desa Sandosi.
Sementara korban dari suku Lama Tokan dimakamkan pada sore hari setelah pemakaman korban dari suku Kwaelaga.
Sampai Jumat (6/3/2020), belum ada saksi yang dipanggil untuk diperiksa. Polisi sedang mengidentifikasi pelaku dan provokator perang suku tersebut, di samping mengupayakan agar para tokoh masyarakat dan tokoh adat dari kedua suku menahan diri. ”Mereka sudah dipertemukan dan berjanji untuk tidak melanjutkan perang suku lagi,” kata Dennys.
Situasi dan kondisi di Sandosi saat ini aman dan tertib. Sebanyak 600 personel gabungan dari Polres Flores Timur, TNI, dan Brimob dari Maumere, 130 kilometer dari Larantuka, telah berada di lokasi sengketa. Mereka berada di lokasi itu sampai ada penyelesaian yang diterima kedua pihak dan jaminan tidak ada lagi sengketa tanah.
Menurut Dennys, Kamis (27/2/2020), suku Kwaelaga secara diam-diam mendatangi lokasi sengketa di Wulen Wetan Pantai Bani Desa Baobage, Kecamatan Witihama, untuk menanam anakan jambu mete dan kelapa. Tindakan ini membuat suku Lama Tokan marah. Lokasi itu sedang digarap suku Lama Tokan dan suku Wuwur.
Suku Lama Tokan mengajak suku Kwaelaga menyelesaikan kasus itu dengan berperang di lokasi sengketa. Suku yang mengalami korban terbanyak dianggap kalah, bukan pemilik lahan sesungguhnya.
Dosen Hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang, Karolus Kopong Medan, dengan disertasi tentang hukum adat di Pulau Adonara mengatakan, sengketa tanah di Adonara tidak bisa diselesaikan secara hukum positif. Masyarakat setempat hanya bisa menerima penyelesaian secara adat.
Sistem ”Bau Lolon”
Ada dua jenis hukum adat yang bisa diterapkan untuk menyelesaikan sengketa tanah antara suku Kwaelaga dan suku Lama Tokan, bahkan suku-suku lain di Adonara. Penyelesaian dengan sistem ”Bau Lolon” dipimpin seorang ketua adat yang benar-benar disegani dan memiliki reputasi, berasal dari desa itu atau desa lain.
Ia membacakan doa adat, semacam mantra, di hadapan kedua pihak yang bersengketa. Kemudian disiapkan arak asli satu botol. Arak ini dicampur tanah yang diambil dari lokasi sengketa. Arak dan tanah ini dicampur lagi dengan darah satu ekor ayam jantan merah.
Kedua pihak minum bersama campuran itu. Jika salah satu pihak yang berbohong, diyakini secara perlahan-lahan mereka akan mengalami musibah dalam berbagai bentuk, seperti kematian, penyakit yang sulit disembuhkan, tidak punya keturunan, dan sakit jiwa menyeluruh. ”Hal seperti ini sudah berlangsung di kalangan masyarakat dan terbukti,” kata Medan.
Cara kedua adalah ”Belo Witi Wulin” atau potong leher kambing. Kedua pihak menghadirkan dua ekor kambing jantan dengan usia dan bobot serta jenis yang sama. Kambing-kambing ini didoakan ketua adat terkenal pula. Kedua kelompok yang bersengketa masing-masing memotong satu leher kambing.
Jika salah satu pihak tidak mampu memutuskan leher kambing sampai terjatuh di tanah, dia dianggap berbohong. Lokasi sengketa itu wajib diserahkan kepada pihak yang mampu memutuskan leher kambing sampai tuntas.
Medan mengatakan, sistem ini dianggap tidak logis dan tidak masuk akal oleh para ahli hukum atau ilmuwan. Namun, sistem ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu oleh nenek moyang orang Adonara. Kebenaran selalu berpihak kepada yang berhak memiliki, dengan memberikan petunjuk yang pasti.
”Hukum positif yang diupayakan pemerintah bakal sia-sia. Pemda setempat pun sudah paham soal hukum adat ini sehingga terkait sengketa tanah, mereka tidak bersedia memproses secara hukum. Namun, pemda bisa memfasilitasi mereka melakukan hukum atau sumpah adat,” tutur Medan.
Banyak kasus di Adonara, ketika pengadilan sudah memutuskan hak sah tanah itu kepada orang tertentu, kasus itu akan tetap bergulir. Pihak yang kalah di pengadilan tidak menerima. Perang pun bakal terjadi lagi. Mereka menilai pengadilan itu disogok pihak yang menang perkara.