Perombakan LKBN Antara, Potret Lemahnya Dukungan Produk Jurnalistik Berkualitas
Disrupsi di industri media tidak selalu diikuti kelincahan manajemen untuk berubah. Tidak jarang, perubahan di internal justru menghilangkan apresiasi terhadap produk jurnalistik berkualitas.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Disrupsi yang dialami perusahaan pers karena pengaruh teknologi digital mendorong perubahan manajemen dan model bisnis, termasuk di Lembaga Kantor Berita Nasional Antara Perubahan ini kerapkali tidak didukung kepedulian dan apresiasi terhadap produk jurnalistik berkualitas.
Salah satu fotografer senior di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara, Billy (bukan nama sebenarnya), Kamis (5/3/2020), di Jakarta, mengatakan, peleburan divisi pemberitaan foto ke redaksi sejatinya tidak menghilangkan semangat pewarta secara individual. Identitas pewarta foto Antara yang biasa disematkan publik ke masing-masing personal tetap melekat. Perusahaan media asing maupun nasional pun tetap menulis kredit identitas tersebut.
Menyangkut polemik reorganisasi Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), dia menganggapnya sebagai ruang pendidikan yang telah bertahun-tahun menghasilkan fotografer berkualitas. Beberapa di antara lulusannya memang tidak bekerja langsung di LKBN Antara, tetapi mempunyai sepak terjang karya yang diakui publik nasional ataupun internasional. Misalnya, Kemal Jufri.
Salah satu fotografer senior lainnya di LKBN Antara, Ery (bukan nama sebenarnya), pekerja di perusahaan media seharusnya seorang wartawan kompeten dan layak dibayar dengan angka yang sesuai dengan kompetensinya. Hal sama berlaku bagi pewarta foto yang sekarang masih digodok untuk pelaksanaan uji kompetensinya oleh organisasi Pewarta Foto Indonesia.
Museum dan GFJA telah menjadi semacam laboratorium pendidikan fotografi jurnalistik bagi siapapun.
Di LKBN Antara, direksi sekarang menuntut jurnalis bisa menghasilkan konten multiplatform seperti media-media lainnya. Sebutan "super reporter" pun mencuat.
"Kantor berita bersaing dengan pelanggannya, seperti media daring adalah tidak pas. Tugas wartawan kantor berita adalah membuat berita berkualitas untuk pelanggannya," tutur dia.
Museum dan GFJA sebagai laboratorium
Dosen program studi fotografi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Edial Rusli mengatakan, ISI Yogyakarta telah bekerja sama dengan LKBN Antara sejak tahun 1995 dalam hal pendidikan fotografi jurnalistik. Di Museum dan GFJA, para mahasiswa bisa belajar fotografi jurnalistik hingga kemudian menggelar pameran foto di sana.
Menurut dia, ISI Yogyakarta menganggap Museum dan GFJA telah menjadi semacam laboratorium pendidikan fotografi jurnalistik bagi siapapun. Di sana, para mahasiswa bisa berinteraksi langsung dengan praktisi fotografi jurnalistik, kurator, dan para pemerhati fotografi.
"Kami tidak tahu seperti apa model pengelolaan Museum dan GFJA pada masa depan. Bagi kami, Museum dan GFJA telah bertahun-tahun menjadi salah satu rujukan penting penggodokan pendidikan fotografi jurnalistik di tanah air," ujar Edial yang juga dikenal sebagai kurator foto.
Kurator dan produser, Yudhi Soerjoatmodjo memiliki pandangan senada. Museum dan GFJA bukan sekadar nama yang disematkan pada ruang atau gedung. Keberadannya memiliki jejak sejarah yang panjang, mulai dari gedung bekas Kantor Berita Domei saat penjajahan Jepang sampai ruang menampilkan karya jurnalistik yang aman ketika pers masuk masa Orde Baru.
Menyoal polemik manajemen LKBN Antara yang berdampak ke reorganisasi Museum dan GFJA, Yudhi mengatakan, fungsi inti ruang seni rupa yaitu sarana mengedukasi. Oleh karenanya, pengelola ruang harus berkompeten dan memahami fungsi itu sehingga bisa menghasilkan program yang sesuai.
"Suatu kreativitas tidak akan lahir tanpa budaya. Ruang yang dibutuhkan bukan semata-mata fisik, melainkan bagaimana menumbuhkan budaya kreatif, itu yang terpenting dan (di) Indonesia (masih) sangat kurang," ujar Yudhi yang pernah menjadi kurator GFJA Januari 1994 - Desember 1999.
Tidak disadari
Dosen program studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Mario Antonius Birowo, memandang, disrupsi industri media yang dipengaruhi teknologi digital dan pergeseran cara konsumsi konten adalah keniscayaan. Akan tetapi, perubahan seperti itu seringkali tidak cepat disadari.
Di sejumlah besar perusahaan media lama seringkali terjebak romantisme masa lalu sehingga kesulitan menghadapi inovasi baru. Kondisi itu kerapkali diperparah dengan lemahnya dukungan masyarakat terhadap produk jurnalistik berkualitas.
"Apabila ada satu perusahaan media lama yang secara konten jurnalistik bagus tutup operasional, kebanyakan orang hanya menyayangkan. Tidak diikuti upaya melanjutkan dukungan agar konten berkualitas itu terus bermunculan," ujar dia. Dalam konteks polemik manajemen LKBN Antara, dia berharap harus ada kepedulian terhadap sisi produksi konten jurnalistik berkualitas yang bertahun-tahun pernah lahir dari lembaga itu.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan berpendapat pentingnya komitmen pemerintah untuk mendukung produk jurnalistik yang bermanfaat bagi masyarakat, apalagi jika menyinggung konteks LKBN Antara.
Dia menyampaikan, AJI menilai dalam situasi media menghadapi krisis seperti sekarang, penting bagi lembaga pers menjaga hubungan baik dengan karyawan, dan serikat pekerja. Tujuannya adalah agar masalah bisa ditanggung bersama. Oleh karena itu, sikap keras terhadap serikat pekerja LKBN Antara terhadap direksi justru kontraproduktif.
"Sikap seperti itu tidak bisa memicu perlawanan dan berpotensi mengurangi kredibilitas. Dalam jangka panjang, hal tersebut bisa menggerogoti kepercayaan publik juga," tutur dia.