Seorang jurnalis sekaligus peneliti Joaquim Magalhães de Castro, baru saja meluncurkan buku "Lautan Rempah: Peninggalan Portugis di Nusantara". Dia menceritakan jejak sejarah Portugis yang memperkaya budaya Nusantara.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS,--Akulturasi atau penyerapan budaya asing dalam budaya lokal turut memperkaya khazanah budaya di Nusantara. Salah satunya, kedatangan pedagang rempah Portugal yang melahirkan jejak sejarah menarik di Indonesia.
Jejak akulturasi Portugal di Nusantara terekam dalam buku "Lautan Rempah: Peninggalan Portugis di Nusantara" karya jurnalis sekaligus peneliti Joaquim Magalhães de Castro. Buku diluncurkan di Kantor Kedutaan Besar Portugal untuk Indonesia di Jakarta, Selasa (3/3/2020). Hadir, antara lain, Direktur Penerbitan dan Pendidikan PT Gramedia Asri Media, Suwandi S Brata.
Keinginan Joaquim Magalhães de Castro meneliti jejak pedagang rempah Portugal di Indonesia berpijak pada cerita sejarah Francisco Serrão dan António Abreu yang berlabuh di kepulauan Malucas, kini bernama Maluku, pada 1511. Sebagai materi pendukung, dia menggunakan buku Portuguese Influence in Indonesia karya António Pinto da França yang terbit tahun 1970. Dua karya lain yaitu Tratado dos Descobrimentos karya António Galvão, serta Tratado das Ilhas Malucas karya orang tak dikenal. Perjalanan pertama di Indonesia dilakukan pada 2009 melalui proyek 7 Wonders of Portuguese Origin selama tiga bulan.
Dalam cacatannya, cengkeh dan lada merupakan rempah yang paling banyak diperdagangkan antara Indonesia-Portugal. Dia juga mencatat sejumlah peninggalan Portugal, seperti benteng, gedung, makanan, pakaian, adat istiadat, sampai alat musik.
Dia juga berinteraksi langsung dengan orang Indonesia keturunan Portugal, seperti almarhum Edmundus Pareira, pria asal Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang masih fasih berbahasa Portugal lama, bahkan menyusun kamus Portugal-Indonesia.
Di Flores, misalnya, dalam bukunya, Joaquim bercerita pernah berkunjung ke Jalan Don Thomas. Nama jalan ini diberikan untuk mengingat Raja Sikka terakhir yang dibaptis oleh orang Portugis dan dinamakan Da Silva. Pemilik hotel Waiwali yang juga bernama Don Thomas adalah cucu.
Di Hutumuri, Ambon, Maluku, dia bertemu dengan Kepala Adat Hutumuri yang bernama Adhe Siaahaya yang tinggal di Jalan Dr Kayadoe. Kayadoe menjadi nama keluarga yang umum di desa-desa Hutumuri dan Wai, Ambon, Maluku. Menurut Joaquim, pemasangan nama Kayadoe bertujuan mengenang orang Portugal yang sempat singgah dan bertahan.
"Anda bisa menyebut buku saya ini buku tentang perjalanan yang isinya lebih banyak membicarakan soal interaksi manusia dan akulturasi budaya. Dari jejak pedagang rempah muncul pernikahan dengan masyarakat setempat," ujar dia.
Melalui bukunya, Joaquim lebih banyak bercerita perdagangan rempah, tidak ada okupasi ataupun kolonialisasi Portugal di Indonesia. Dalam sesi peluncuran, dia mencontohkan betapa dirinya takjub dengan alunan musik keroncong yang jika didengarkan secara seksama mirip dengan musik fado dari Lisboa, Portugal.
Pada saat peluncuran, dia juga sempat membawa beberapa bukti barang jejak pedagang Portugal. Sebagai contoh, lada, kue bolu, dan okulele.
"Di setiap makanan Indonesia hampir selalu ditemukan cabai. Siapa yang tidak pernah makan risoles dengan cabai?" kata dia.
Joaquim melakukan perjalanan selama hampir dua bulan dari Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Jawa, sampai Sumatera. Dalam bukunya, dia menambahkan catatan jurnalistik berupa hasil wawancara, dokumentasi, foto, dan menyusun daftar istila bahasa Portugal kuno.
Buku "Lautan Rempah:Peninggalan Portugis di Nusantara" masuk dalam daftar rekomendasi Menteri Pendidikan Portugis sebagai buku bacaan nasional atau national reading plan.
Suwandi S Brata, menyebut "Lautan Rempah: Peninggalan Portugis di Nusantara" lebih pantas disebut buku perjalanan personal. Akan tetapi, bagi siapapun yang membaca akan semakin memahami hubungan sejarah Indonesia - Portugal.