Persoalan radikalisme yang mengarah pada kekerasan terus terjadi. Hal itu dipicu antara lain kegagalan dalam beragama secara moderat.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan moderasi keagamaan atau penyiaran agama moderat menjadi penentu terwujudnya kehidupan damai di tengah perbedaan dalam kebinekaan. Persoalan radikalisme yang mengarah pada kekerasan dipicu antara lain kegagalan dalam beragama secara moderat.
”Maraknya radikalisme dan terorisme selama satu dekade terakhir mengindikasikan Indonesia gagal membumikan nilai-nilai agama yang moderat dan menjadi rahmat bagi masyarakat,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili, Selasa (3/2/2020), di Jakarta.
Kendati menjadi upaya strategis, dia menilai kegiatan moderasi agama jangan sampai menjadi satu-satunya agenda yang dijalankan pemerintah. Kegiatan itu tetap perlu diikuti literasi, perjumpaan lintas agama, inklusi sosial-keagamaan, dan penghapusan segregasi sosial-keagamaan di masyarakat.
Menurut Halili, di masyarakat Indonesia kerap dijumpai fakta persoalan kebencian terhadap liyan, konservatisme, populisme, hasutan, dan hoaks keagamaan disisipkan kepentingan politik tertentu.
Sementara Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Sekretariat Jenderal Kementerian Agama Nifasri mengatakan, salah satu konflik agama yang masih sering terjadi di masyarakat adalah pendirian rumah ibadah.
Sepuluh kategori
Berdasarkan laporan studi Wahid Foundation tahun 2018 bertajuk ”Kemerdekaan Agama dan Berkeyakinan”, ada sepuluh kategori teratas tindakan pelanggaran, yaitu pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan (48 kasus), diikuti penyesatan (32), pelarangan aktivitas (31), ujaran kebencian (29), dan diskriminasi (24). Beberapa kategori lainnya adalah pemaksaan agama/keyakinan (18), pembatasan/pelarangan aktivitas (13), serangan fisik/perusakan properti (11), pemaksaan pentaatan (11), dan perusakan/pembakaran tempat ibadah (9).
Menteri Agama Fachrul Razi, saat ditemui di acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Senin (2/3/2020), di Jakarta, menyampaikan, pihaknya mendorong agar peserta Rakernas turut menyebarluaskan kegiatan moderasi beragama sampai ke pelosok daerah. Kegiatan itu dinilai bagus untuk membangun kerukunan, persatuan, dan kesatuan bangsa.
”Kalau persatuan dan kesatuan di masyarakat goyah, negara juga akan goyah. Kami berharap kita semua bekerja lebih giat untuk kegiatan moderasi beragama,” kata Fachrul.
Pada saat bersamaan, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Agus Salim menyebutkan, sepanjang tahun lalu terindikasi sekitar 500 aliran paham keagamaan berpotensi bermasalah. Pihaknya melakukan berbagai upaya pencegahan, seperti pembinaan kepada masyarakat. Tujuannya adalah mengantisipasi timbulnya konflik internal umat Islam.
Kalau persatuan dan kesatuan di masyarakat goyah, negara juga akan goyah. Kami berharap kita semua bekerja lebih giat untuk kegiatan moderasi beragama.
Dia menyebut aplikasi deteksi dini konflik kerukunan antarumat beragama. Aplikasi berbasis teknologi informasi ini, menurut rencana, diisi aneka data dan sistem pelaporan.
”Pembinaan paham keagamaan memerlukan penguatan dialog, moderasi, dan fungsi penyuluh. Dengan penguatan fungsi, kami berharap penyuluh mampu mengidentifikasi dan bereaksi cepat terhadap perkembangan aliran keagamaan yang berpotensi menimbulkan masalah,” kata Agus.
Menurut Halili, penyebutan aliran agama bermasalah tidak tepat karena pada dasarnya setiap warga negara dijamin hak konstitusinya untuk beragama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Aliran agama merupakan pilihan jalan bagi setiap warga sehingga harus dihormati.
”Di luar Islam juga sama saja, baik agama abrahamik maupun agama lokal. Aliran-aliran dalam seluruh agama itu harus dihormati dan dijamin negara. Negara tidak berwenang memberikan justifikasi bahwa satu agama atau aliran lebih baik dari yang lain,” katanya.