Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mencegah kekerasan di lembaga pendidikan kurang berjalan baik. Banyak sekolah yang belum membentuk tim pencegahan kekerasan.
Oleh
CECILIA MEDIANA & NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Murid mendapatkan pendampingan saat pulang dari SMP Negeri 1 Turi, Kecamatan Turi, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (24/2/2020). Hari itu murid kembali bersekolah pascainsiden susur Sungai Sempor yang menewaskan sepuluh murid sekolah tersebut. Pada hari itu mereka mendapatkan pendampingan psikologis untuk mengurangi potensi trauma akibat peristiwa tersebut. Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman mulai menyusun buku panduan kegiatan siswa di luar sekolah terkait manajemen risiko untuk mencegah insiden serupa terulang.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah mengantisipasi kekerasan di sekolah, antara lain dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Namun, banyak sekolah belum menerapkan aturan itu dalam kehidupan nyata belajar-mengajar. Akibatnya, kasus kekerasan cenderung berulang.
”Sekolah semestinya membuat mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan,” kata Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati di Jakarta, Kamis (27/2/2020).
Langkah itu merupakan pelaksanaan Peraturan Mendikbud Nomor 82 Tahun 2015. Para guru perlu dilatih agar memiliki perspektif perlindungan anak, menerapkan disiplin, dan memahami dampak kekerasan.
Satu kasus kekerasan baru saja terjadi di Sekolah Seminari Bunda Segala Bangsa (SBSB) Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Rabu (19/2/2020). Seorang siswa senior memaksa sejumlah siswa yunior untuk menjilat tinja alias kotoran manusia.
Sebelumnya, terjadi kekerasan beruntun di sejumlah daerah. Seorang guru terekam memukul siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 12 Bekasi, Jawa Barat, dan videonya viral di media sosial. Di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, tiga siswa SMP Muhammadiyah di Kecamatan Butuh menjadi tersangka perundungan terhadap rekannya, CA (16). Dari Kota Malang, Jawa Timur, tercatat kasus perundungan tujuh siswa terhadap satu siswa SMPN yang mengakibatkan ruas jari tengah korban harus diamputasi.
Terkait kekerasan di Maumere SBSB, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Harris Iskandar menyampaikan, kasus di sekolah berasrama itu terjadi pada pertengahan Februari 2020. Namun, Dinas Pendidikan Kabupaten Sikka baru mengetahuinya pekan ini. Dinas lantas mengumpulkan orangtua bersama kepala sekolah.
Secara terpisah, Staf Ahli Mendikbud Bidang Regulasi Chatarina M Girsang mengakui banyak sekolah di Indonesia belum membentuk tim pencegahan tindak kekerasan. Kondisi itu terjadi karena sebagian sekolah dan pemerintah daerah belum menganggap kekerasan sebagai masalah serius. ”Sebagian kasus berakar dari rumah dan lingkungan, termasuk konsumsi gawai,” ujarnya.
Di rumah, sebagian orangtua kurang disiplin mengurus anak. Perceraian, kemudahan mengakses konten pornografi melalui media sosial juga rentan memicu kekerasan. ”Soal ini harus dilihat secara utuh, bukan melulu tanggung jawab guru dan sekolah,” katanya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Polisi mengawal tersangka guru berinisial IYA (36), DDS (58), dan R (58) (dari kiri ke kanan) yang dihadirkan dalam acara jumpa pers di Markas Polres Sleman, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (25/2/2020). Acara tersebut digelar terkait perkembangan penanganan kasus insiden susur Sungai Sempor yang mengakibatkan 10 siswi SMP Negeri 1 Turi tewas. Para tersangka dinilai lalai dalam penyelenggaraan acara susur sungai tersebut sehingga menimbulkan korban tewas.
Dari Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dilaporkan, tiga tersangka tragedi susur sungai di SMP 1 Turi, menolak bantuan penangguhan penahanan. Mereka, yaitu IYA (36), R (58), dan DDS (58), menganggap penahanan itu sebagai tanggung jawab atas kelalaiannya yang menyebabkan 10 siswi tewas.
Semula, Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) mengajukan penangguhan penahanan untuk tiga guru itu. ”Tapi, mereka mengatakan, kami tidak usah (diajukan) penangguhan (penahanannya) sebagai empati kami kepada keluarga korban,” kata Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi di Polres Sleman.
Terkait penggundulan kepala tiga tersangka saat ditampilkan dalam jumpa pers, sebagian publik melihat tindakan itu berlebihan karena rentan merendahkan citra profesi guru. Menurut Kepala Bidang Humas Polda DIY Komisaris Besar Yuliyanto, Polres Sleman mempunyai standar operasional merapikan rambut semua tahanan yang baru masuk. Apalagi, ketiga tersangka juga menghendaki penggundulan kepala. Saat ini, Polda DIY menerjunkan divisi profesi pengamanan untuk menelusuri kemungkinan kekeliruan prosedur penyidikan.