Kemendikbud Prioritaskan Kualitas Pencatatan Obyek Warisan Budaya
Pemerintah menekankan pentingnya kualitas registrasi obyek warisan budaya, bukan sekedar kuantitas. Berdasarkan pengamatan di beberapa daerah, registrasi dilakukan secara kurang mendalam dengan bukti-bukti yang minim.
Oleh
Caecilia Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menekankan pentingnya pendaftaran obyek warisan budaya sebagai langkah prioritas pertama dalam tata kelola kebudayaan. Kepada seluruh dinas kebudayaan di provinsi hingga kabupaten/kota, kementerian mengharuskan registrasi segera dilakukan dengan mengedepankan kualitas pencatatan.
”Jangan kejar kuantitas ketika menjalankan registrasi obyek warisan budaya, melainkan kejar kedalaman. Saya periksa di beberapa dinas, registrasi obyek tidak lengkap bukti-buktinya. Upaya pendaftaran wajib dimaknai untuk mengetahui kekayaan warisan budaya,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid di sela-sela Rakornas Kebudayaan, Kamis (27/2/2020), di Hotel Grand Sahid Jakarta.
Dia menceritakan, sejak tahun 2018, pihaknya telah merintis sistem data pokok kebudayaan yang fungsinya menyerupai bank sentral.
Data pokok kebudayaan ini akan diperkuat. Harapannya, data pokok kebudayaan bisa membentuk sistem tunggal yang memungkinkan kementerian/lembaga lain untuk mengintegrasikan data mereka. Misalnya, Kementerian Kesehatan dengan arsip pengobatan tradisional. Ketika sudah terbentuk satu sistem pendataan registrasi warisan kebudayaan, publik pun bisa mudah mengakses.
Alur langkah setelah registrasi adalah penetapan oleh Kemendikbud. Kemudian, dari hasil penetapan, kementerian memberikan arahan untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi kepentingan publik. Sayangnya, menurut Hilmar, sejumlah aktivitas pemanfaatan seringkali tidak sinkron.
Dia menyampaikan, upaya registrasi obyek warisan budaya berada di bawah Direktorat Perlindungan. Sebagai langkah prioritas pertama, dia mendorong agar dinas beserta tim ahli cagar budaya berperan maksimal.
”Kami akui sudah ada sejumlah komunitas seniman ikut melakukan pendaftaran obyek warisan budaya secara mandiri. Alangkah baiknya pendaftaran dimaksimalkan dari sisi pemerintah. Saya rasa beban kerja terbesar di Ditjen Kebudayaan ada di Direktorat Perlindungan,” katanya.
Hilmar membandingkan dengan Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan. Program kerja di direktorat ini tidak akan sebanyak Direktorat Perlindungan. Meski demikian, dia berharap Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan bisa lebih aktif berkonsolidasi dengan publik, misalnya komunitas seni budaya di desa dan sekolah-sekolah seni. Bentuk-bentuk konsolidasi yang bisa dijalankan, antara lain penelitian dan reservasi.
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim, dalam siaran pers pembukaan Rakornas Kebudayaan, menyebut masih ada inisiatif kebudayaan tidak dijalankan secara berkelanjutan. Selain itu, banyak aktivitas seni budaya tidak saling terhubung. Hal tersebut juga menjadi tantangan memajukan kebudayaan yang tidak boleh diabaikan.
Sebelumnya, dalam sesi forum diskusi Prospek Seni dan Kebudayaan 2020: Peranannya dalam Perkembangan Demokrasi Indonesia, Rabu (26/2/2020), di Bentara Budaya Jakarta, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale Farah Wardhani mengatakan, tren di global menunjukkan kegiatan seni budaya semakin terinstitusionalisasi. Artinya, aktivitas seni budaya telah menjadi bagian dari upaya menciptakan nilai tambah dalam perekonomian.
Dia lantas mencontohkan Singapura yang sejak tahun 2000 sudah berinvestasi di kemajuan kegiatan seni budaya mulai dari membangun infrastruktur fisik penunjang sampai program. Singapura bahkan telah menyampaikan visi ingin menjadi negara yang mengedepankan knowledge based economy.
”Karena obyek warisan budaya mereka tak banyak, mereka akhirnya memutuskan ingin menjadi terdepan memajukan seni budaya ASEAN, termasuk dari Indonesia. Saya berharap Indonesia bisa juga mengambil langkah serupa, apalagi obyek warisan sampai hasil seni budayanya banyak,” katanya.