Konduktor Jakarta Concert Orchestra (JCO) Maestro Avip Priatna bersukacita mendapatkan violis piawai Korea, Sueye Park, untuk memainkan ”Konserto Tchaikovsky” di Usmar Ismail Hall, Jakarta, Jumat (21/2/2020).
Oleh
Ninok Leksono
·3 menit baca
”Sungguh, musik merupakan anugerah surgawi yang paling indah bagi umat manusia yang mengembara dalam kegelapan.”
Itulah kesan komposer besar Rusia, Pyotr Ilyich Tchaikovsky (1840-1893), yang ia tuangkan dalam sepucuk surat kepada ibu patronnya, Nadezhda von Meck, 27 November 1877, seperti dikutip Metta Ariono dalam buku program.
Namun, tidak jarang anugerah surgawi yang indah tersebut harus lahir menyusul masa-masa pahit, seperti kegagalan hubungan cinta Tchaikovsky. Meski karya-karyanya banyak diliputi melodi sendu, baguslah bahwa karya tersebut masih dapat ia rampungkan, termasuk ”Konserto Biola” dalam ”D mayor Opus 35”.
Melalui konserto biola, komposer menyerahkan karya yang ia gubah untuk dimainkan oleh violis ulung. Memang tak perlu disangsikan lagi bahwa violis yang telah mencapai derajat permainan kelas maestrolah yang bisa memainkan konserto biola, baik karya Tchaikovsky maupun karya Ludwig van Beethoven (dalam ”D mayor Opus 61”) dan karya Felix Mendelssohn (dalam ”E minor Opus 64”).
Malam itu, Jumat (21/2/2020), di Usmar Ismail Hall, Jakarta, konduktor Jakarta Concert Orchestra (JCO) Maestro Avip Priatna bersukacita mendapatkan violis piawai Korea, Sueye Park, untuk memainkan ”Konserto Tchaikovsky” yang masyhur ini.
Di hadapan sekitar 400 penonton yang memenuhi gedung konser, Sueye dengan penuh percaya diri mengawali bagian pertama allegro moderato dengan bersemangat.
Ini berbeda dengan kejadian saat violis yang dianugerahi karya ini—Leopold Auer yang saat itu adalah concert master di Orkestra Kerajaan Rusia—menolak untuk memainkannya karena menilainya tidak bisa dimainkan, baik karena alasan teknik maupun musikal yang tidak sesuai dengan standar yang ada pada masa itu.
Sueye berbeda dengan Auer karena violis kelahiran tahun 2000 (ya, baru berusia 20 tahun) dan belajar biola sejak usia empat tahun ini justru menjadikan momen itu sebagai ”ajang penaklukan”.
Ia bisa mencurahkan segenap kemahiran teknik, khususnya saat ia menghadirkan cadenza (permainan solo tanpa iringan orkestra), dan penghayatannya atas konserto ini. Penikmat permainan biola dapat menyimak ia menggesek, memetik senarnya, dan melahirkan aneka bunyi biola, seolah tak ada lagi potensi tersisa.
Tak heran jika seusai memainkan karya yang termasuk repertoar baku di gedung-gedung konser dunia ini (meski awalnya tak luput dari kritik tajam), Sueye dan Avip menerima aplaus yang luar biasa meriah dan panjang.
”Konserto Biola Opus 35” ini dapat dikatakan memuncaki pergelaran malam itu, yang juga diawali dengan karya Tchaikovsky yang sangat menggugah dan indah, yakni ”Mars Slavonik Opus 31” dan ditutup dengan ”Simfoni Nomor 5 dalam E minor Opus 64”.
Mengaba dengan penuh energi, Avip menjadikan JCO yang berkekuatan 57 instrumentalis ini sebagai pencipta bunyi yang karismatik. Satu saat dinamis penuh tenaga, pada saat lain memunculkan bunyi melankolis, tapi semua terpadu dalam harmoni orkestra yang melenakan jiwa.