Tiga Tahun Terakhir, Ada 11 Bahasa Daerah di Nusantara Punah
Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah yang tersebar di sejumlah pulau. Ini kekayaan budaya yang jarang dipunyai negara-negara lain. Hanya saja, sebagian bahasa daerah itu mulai punah akibat kehilangan penutur lokal.
Oleh
Caecilia Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama tiga tahun terakhir, ada 11 bahasa daerah di Indonesia yang punah. Fenomena ini merupakan lanjutan dari tahun-tahun sebelumnya. Kepunahan terjadi akibat tidak ada lagi penutur bahasa tersebut di daerah masing-masing.
Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), 11 bahasa daerah yang punah itu berasal dari provinsi Papua Barat, Papua, Maluku, dan Maluku Utara. Contoh bahasa daerah yaitu bahasa Tandia (Papua Barat), bahasa Ternateno (Maluku Utara), bahasa Mawes (Papua), dan bahasa Hoti (Maluku).
Kepala Badan Bahasa Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Danang Sunendar, Jumat (21/2/2020), di Jakarta, menjelaskan, kepunahan bahasa berlangsung tahunan. Kesebelas bahasa daerah yang diketahui sudah punah tiga tahun terakhir semestinya menjadi pemicu agar bahasa daerah lain yang statusnya ”rentan”, ”mengalami kemunduran”, ”terancam punah”, dan ”kritis” harus segera dilestarikan.
Kesebelas bahasa daerah yang punah itu masuk ke dalam kajian vitalitas 90 bahasa daerah yang penurunan penuturnya tergolong drastis. Ada 19 bahasa daerah berstatus rentan, seperti bahasa Buru (Maluku), bahasa Meoswar (Papua), dan bahasa Minahasa (Sulawesi). Dikatakan ”rentan” berarti bahasa daerah itu masih digunakan oleh semua anak-anak dan orang tua, tetapi penuturnya sedikit.
Ada tiga bahasa daerah berstatus mengalami kemunduran, yakni bahasa Hitu (Maluku), bahasa Tobati (Papua), dan bahasa Kayeli (Maluku). Status ”mengalami kemunduran” berarti bahasa daerah tersebut masih memiliki sebagian penutur anak-anak ataupun orang tua, dan sebagian anak-anak lain tidak menggunakan.
Adapun jumlah bahasa daerah terancam punah mencapai 25 dan kritis terdapat 6 bahasa. Status ”terancam punah” artinya semua penutur berusia 20 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit. Generasi tua tidak bisa berbicara kepada anak-anak ataupun di antara mereka sendiri. Status ”kritis” berarti penutur bahasa daerah berusia 40 tahun ke atas dan jumlahnya sedikit.
”Kalau anak-anak baru belajar bahasa ibu saat sekolah, maka potensi bahasa daerah untuk punah besar,” katanya.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengajak pemerintah daerah agar berperan serta dalam pelestarian bahasa daerah, seperti untuk urusan validasi bahasa. Selain itu, pemerintah daerah didorong untuk aktif melibatkan ahli bahasa setempat.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud Urip Danu Ismadi mengemukakan, hampir keseluruhan bahasa daerah yang vitalitasnya rendah berasal dari Indonesia bagian timur. Ini disebabkan hampir setiap desa di wilayah itu mempunyai bahasa ibu berbeda-beda. Jumlah penuturnya semakin berkurang, bahkan tidak diwariskan ke generasi muda. Ditambah lagi, populasi penduduknya pun sedikit.
”Kondisinya berbeda dengan di Indonesia bagian barat. Populasi penduduknya besar. Penutur bahasa daerah masih banyak dan diwariskan ke generasi muda,” ujarnya.
Urip menjelaskan, kegiatan konservasi dipilih agar bahasa daerah yang vitalitasnya rendah tetap lestari. Sebagai contoh, membuat dokumentasi bahasa berupa kamus, memasukkan bahasa daerah ke muatan lokal, pengembangan kegiatan seni budaya, dan registrasi.
718 bahasa daerah
Sampai Oktober 2019, jumlah bahasa daerah teridentifikasi mencapai 718, dialek 778, dan subdialek 43. Persebaran bahasa di 801 daerah di 34 provinsi. Hanya saja dari 718 bahasa daerah yang berhasil teridentifikasi, baru 113 bahasa di antaranya yang sudah dibuatkan kamus.
Kemendikbud memetakan bahasa daerah sejak 1991 dan dipercepat sejak tahun 2014. Selama dua bulan terakhir, tim peneliti dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud turun tangan untuk memetakan. Hasilnya, ditemukan 50 bahasa daerah.
Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk badan Perserikatan Bangsa-Bangsa di bidang Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) Arief Rahman mengatakan, setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Setiap tahunnya mempunyai tema berbeda. Untuk tahun 2020, UNESCO mengangkat tema ”Melintasi Batas Daerah dan Berbagi Bahasa”. Tema ini bertujuan untuk mengingatkan keragaman linguistik.
”Bahasa memperkokoh mutu bangsa. Bahasa juga berperan meningkatkan kekeluargaan. Tren dunia sekarang menunjukkan tingginya interaksi lintas batas negara sehingga menuntut pelestarian bahasa daerah,” ujarnya.