Kasus limbah radioaktif di perumahan Batan Indah, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, memberi pelajaran berharga. Kita perlu memperkuat pengawasan penggunaan tenaga nuklir, termasuk limbahnya.
Oleh
I Gusti Agung Angga Putra / Rini Kustiasih / Haris Firdaus / M Zaid Wahyudi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan penggunaan tenaga nuklir di Indonesia perlu diperkuat. Keamanan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas. Namun, penambahan alat pengawasan dan teknologi pemantauan zat radioaktif juga perlu terus diupayakan untuk mencegah pencemaran radioaktif.
Desakan itu disampaikan Komisi VII DPR kepada Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dalam rapat dengar pendapat dengan kedua lembaga itu di Jakarta, Kamis (20/2/2020).
Penguatan diperlukan guna menghindari penyalahgunaan limbah radioaktif seperti ditemukan di area tanah kosong perumahan Batan Indah, Tangerang Selatan, Banten, akhir Januari 2020. Tingginya paparan radiasi itu diketahui saat uji fungsi rutin perangkat pemantau radioaktivitas lingkungan bergerak milik Bapeten.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu menggugat pengawasan Bapeten. ”Selaku pengawas, Bapeten bertugas mengontrol dan mencegah penyalahgunaan limbah dan produk nuklir,” katanya. Kenyataannya, masih kecolongan.
Komisi VII DPR mengatakan, temuan paparan radiasi tinggi itu memunculkan keraguan publik atas profesionalitas Bapeten dan Batan dalam mengelola nuklir dan limbahnya. ”Radioaktif mencemari tanah, pohon, dan buahnya,” kata anggota Komisi VII DPR lain, Adriana Dondokambey.
Menurut Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto, sensor pendeteksi radiasi terbatas. ”Andai ada detektor di banyak tempat, kita bisa segera tahu (ada pencemaran radioaktif),” ujarnya. Namun, menyediakan ribuan detektor butuh biaya besar.
Bapeten dan Batan juga membantah sumber radiasi tinggi di perumahan Batan Indah berasal dari limbah mereka. Saat ini, ada 14.000 izin penggunaan produk nuklir di Indonesia, sebanyak 13.600 izin adalah rumah sakit dan industri serta 400 izin lain ada di Batan. ”Jelas limbah itu bukan dari kami,” kata Kepala Batan Anhar Riza Antariksawan.
Kamis kemarin, pembersihan lokasi paparan radiasi tinggi dihentikan sementara sambil menanti hasil pemeriksaan sampel tanah oleh Batan. ”Tim mengevaluasi dekontaminasi yang dilakukan sejak 11 Februari,” kata Kepala Bagian Komunikasi Publik dan Protokol Bapeten Abdul Qohhar.
Di Yogyakarta, sejumlah ahli teknik nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM) mendesak pemerintah mengusut tuntas kasus tersebut. Temuan sesium-137 (137Cs) di lokasi perumahan tidak wajar. Zat radioaktif harus selalu disimpan di tempat yang aman, termasuk limbahnya.
”Tanggung jawab pihak berwenang menelusuri bagaimana sumber (radioaktif) bisa muncul di situ,” kata Kepala Laboratorium Teknologi Energi Nuklir UGM Alexander Agung.
Dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM Haryono Budi Santoso mengatakan, keberadaan sesium-137 di lokasi tak wajar itu bisa karena kesalahan manusia, pencurian, atau sabotase. Dugaan itu muncul karena berdasarkan data yang ada, tidak terjadi kecelakaan reaktor atau bencana alam.
Kini, sembari menyelesaikan pembersihan lokasi paparan radiasi yang sudah lebih dari 90 persen, hasil pemeriksaan seluruh badan (whole body counting/WBC) terhadap 9 warga juga sedang dinanti. Qohhar menyebut hasil WBC oleh Batan selesai difinalisasi dan diserahkan ke Bapeten. Hasil WBC akan diumumkan Jumat (21/2/2020) ini.
Batas aman paparan radiasi masyarakat adalah 1 miliSievert (mSv) per tahun. Namun, dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM Anung Muharini mengatakan, itu adalah batas administratif. Artinya, orang yang terpapar radiasi melebihi batas tidak otomatis langsung terganggu kesehatannya. Seseorang akan mengalami gangguan kesehatan (susunan darah berubah) bila terkena paparan radiasi seketika sebesar 500 mSv.