Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terkait pers masih mengundang polemik. Komunitas pers menolak RUU ”omnibus law” yang merevisi UU Pers yang selama ini telah berjalan baik.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pers terus mempertanyakan Rancangan Undang-Undang Cipta Karya yang merevisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Revisi itu dianggap tidak jelas urgensinya untuk saat ini. Karena itu, pemerintah dan DPR diminta untuk menarik revisi pasal-pasal terkait pers tersebut.
Dewan pers dan organisasi wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menemui Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas dan anggota Baleg DPR, Rabu (19/2/2020), di kompleks Parlemen Senayan. Hadir dalam pertemuan itu, M Agung Dharmajaya (anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers), Ketua Umum AJI Abdul Manan, Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana, dan pengacara publik LBH Pers, Ahmad Fathanan.
Sehari sebelumnya, Selasa, bertempat di Dewan Pers, Jakarta, perwakilan organisasi pers menyampaikan pernyataan terbuka yang mengkritisi sejumlah pasal dalam RUU Cipta Karya yang merevisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Agung Dharmawajaya menyatakan, dari pertemuan informal, Baleg menerima sikap pers sebagai catatan serius dan mengakomodasi aspirasi kalangan media. ”Secepatnya kami akan mengirim surat secara resmi kepada DPR. Putusannya apa di DPR, banyak opsi. Misalnya apakah sepenuhnya semua yang dibuat ditolak, atau misalnya kemudian hal-hal terutama menyangkut dibatalkan, atau juga opsi lain. Yang jelas DPR memahami betul bahwa pers harus bebas,” katanya.
Abdul Manan menyatakan, dari pertemuan dengan DPR, AJI berharap DPR bersikap kritis terhadap draf RUU Cipta Karya (omnibus law) terkait UU Pers, khususnya soal revisi Pasal 18. Sebab, revisi Pasal 18, khususnya terkait memberi kewenangan pemerintah membuat peraturan pemerintah pemberian sanksi, tidak sejalan dengan semangat UU Pers yang mengakui prinsip self regulation (pengaturan oleh diri sendiri) untuk soal media.
”Pemerintah dan DPR seharusnya menyerahkan pengaturan lebih lanjut soal implementasi UU itu kepada Dewan Pers dan komunitas pers. Karena itu, kami berharap DPR menolak usulan pemerintah soal itu,” kata Manan.
Seperti diberitakan, kalangan pers mempertanyakan usulan revisi dua pasal dalam UU Pers, yang masuk dalam RUU Cipta Karya atau omnibus law, yang sama sekali tidak melibatkan kalangan pers.
Dari draf yang diperoleh kalangan pers, dua pasal dalam UU Pers yang akan diubah dalam RUU omnibus law Pasal 11 dan Pasal 18. Pasal 11 UU Pers menyebutkan, ”Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal”. Namun, pasal itu akan direvisi menjadi ”Pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”.
Adapun Pasal 18 yang diubah adalah soal ketentuan pidana khususnya soal denda yang diatur dalam Ayat (1) dan (2), angka dendanya berubah dari yang sebelumnya Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Ayat (3) pidana denda diubah menjadi sanksi administratif, dari sebelumnya denda Rp 100 juta.
Misalnya, Pasal 18 Ayat (1): ”Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta”. Dalam omnibus law, denda Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar.
Adapun Pasal 4 Ayat (2) berbunyi, ”Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran”. Ayat (3) berbunyi, ”Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”.
Selain denda dalam tiga ayat diubah, Pasal 18 juga ditambahkan satu ayat lagi yang berbunyi, ”Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah”.
Menurut Yadi, dalam pertemuan dengan Baleg, pihaknya menyampaikan tidak ada urgensinya UU Pers dikaitkan dengan omnibus law, yang tujuannya untuk menggenjot investasi dan meningkatkan lapangan kerja.
”Pers kita memiliki andil besar dalam menjaga sistem demokrasi kita, apa tujuannya akan kembali dibatasi? Ketua Baleg memahami betul keresahan pers dan setuju akan keberatan kami, serta sepakat bahwa RUU Cipta Kerja tidak perlu mengatur pers dan akan membatasi kebebasan pers,” kata Yadi.
Mengenai usulan revisi pasal-pasal dalam UU Pers, Agung menambahkan, secara pribadi, dia berpendapat seharusnya DPR dan pemerintah mengeluarkan usulan revisi UU Pers dari RUU omnibus law tersebut.