Lembaga Sensor Film sedang merevitalisasi perannya. Hal itu seiring dengan kehadiran internet yang mempermudah akses warga menonton film.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas melakukan pemotongan film berdasarkan berita acara penyensoran film oleh tim sensor di Gedung Lembaga Sensor Film, Jakarta, Selasa (23/3/2010).
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Sensor Film kini berada dalam masa transisi. Kehadiran internet mempermudah akses warga menonton film. Selain itu, internet memudahkan pendistribusian film asing masuk ke Indonesia.
Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia periode 2015-2019 Ahmad Yani Basuki menyampaikan hal itu seusai melantik 34 tenaga baru di bidang sensor, Kamis (20/2/2020), di Jakarta. Mereka berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, antara lain ekonomi, politik, dan agama.
”Ada produsen film tidak merasa sebagai subyek hukum, padahal filmnya dikonsumsi warga Indonesia. Platform pendistribusian film semakin beragam karena didukung teknologi digital. Pada saat bersamaan, muncul fenomena film asing tidak diurus ke Lembaga Sensor Film dalam negeri,” ujarnya.
Contoh lain ialah kemunculan jenis film baru yang tidak dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi yang telah ditetapkan LSF Republik Indonesia.
KOMPAS/MEDIANA
Ketua LSF RI periode 2015-2019 Ahmad Yani Basuki
Dia berpendapat, dengan adanya fenomena itu, pemerintah semestinya mempertimbangkan merevisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film.
Sensor mandiri
Ahmad mengemukakan, masih banyak penduduk belum cerdas mengapresiasi konten film. Ada pula warga yang sampai sekarang belum memahami cara kerja LSF RI.
”Mensensor film tak cukup hanya menyasar film yang diputar dalam ruang fisik, seperti bioskop. Sensor suatu film sepatutnya dipahami oleh masyarakat, yakni dengan membudayakan sendiri sensor,” katanya.
Sensor suatu film sepatutnya dipahami oleh masyarakat, yakni dengan membudayakan sendiri sensor.
Pada Rabu (19/2/2020), Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Jakarta Hikmat Darmawan menuturkan, program Kineforum menjadi salah satu yang terdampak revitalisasi Taman Ismail Marzuki.
Ruang yang biasa menjadi tempat pemutaran dan diskusi film jadi yang pertama dirobohkan. Hal itu tidak melunturkan semangat Komite Film. Kineforum akhirnya diarahkan menjadi gagasan, yang berarti pengembangan program tidak lekat pada ”ruang fisik”.