Kemampuan berpikir komputasional (computational thinking) dimasukkan dalam Kurikulum 2013, dan disisipkan dalam sejumlah pelajaran. Salah satunya informatika. Ini akan memperkuat pelajar menghadapi teknologi digital.
Oleh
·5 menit baca
Kehidupan manusia zaman sekarang kian bergantung pada teknologi digital. Teknologi tidak hanya melayani kepentingan industri, tetapi juga membantu kita memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari, mulai dari transportasi, akomodasi, konsumsi, hingga tentu saja komunikasi. Fenomena ini melahirkan perubahan besar.
Bagi dunia pendidikan, perubahan ini dipandang sebagai tantangan. Lembaga-lembaga pendidikan dituntut untuk mengembangkan kurikulum yang mampu memberikan modal kesadaran, pikiran, dan keterampilan digital bagi generasi baru. Kita harus bisa melahirkan sumber daya manusia yang dapat berkompetisi dalam berbagai bidang.
Menjawab tantangan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menambahkan kemampuan berpikir komputasional (computational thinking) dan simpati (compassion) dalam Kurikulum 2013. Itu memperkuat empat kemampuan lain yang sudah ditambahkan sebelumnya, yakni komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis, serta kreatif dan inovatif. Tambahan kemampuan berpikir komputasional dan simpati akan dimasukkan dalam satuan pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi agar terjadi kesinambungan keluaran kemampuan.
”Dua kemampuan tambahan sebenarnya disisipkan ke materi yang ada di semua mata pelajaran, bahkan sejak anak duduk di sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD). Sejauh ini, kami memang sedang mengkaji perubahan Kurikulum 2013. Kami mempelajari kurikulum-kurikulum yang ada di negara lain,” kata Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Awaluddin Tjalla saat menghadiri acara Grow with Google, Selasa (18/2/2020), di Jakarta.
Mengutip BBC, kemampuan berpikir komputasional mempunyai empat landasan, yaitu dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, dan algoritma. Pada saat implementasi, landasan tersebut tidak selalu dijalankan secara berurutan, bahkan ketika seseorang ingin menciptakan solusi berbentuk teknologi digital.
Salah satu pelajaran yang disisipi kemampuan berpikir komputasional adalah pelajaran informatika. Untuk itu, mulai tahun ajaran 2020/2021, mata pelajaran Informatika diberikan kepada siswa kelas VIII SMP dan XI SMA. Namun, pelajaran ini masih bersifat pilihan.
Menurut Awaluddin Tjalla, sebelumnya, mata pelajaran Informatika telah diberikan kepada siswa kelas VII SMP dan kelas X SMA. Sifatnya pun pilihan. Kemendikbud menerapkan kebijakan ini secara bertahap pada jenjang kelas yang ada di SMP dan SMA. Kebijakan ini tidak digiatkan kepada semua kelas dan semua jenjang pendidikan karena keterbatasan guru mata pelajaran Informatika yang piawai dan bersertifikat kompetensi.
Hingga kini, diperkirakan baru 1.000-an dari total 10.000-an guru Informatika yang memenuhi dua persyaratan teknis Kemendikbud. Sisanya kebanyakan guru mata pelajaran Informatika, tetapi berlatar pendidikan non-Informatika, misalnya Bahasa Indonesia dan Agama Islam.
”Tak hanya di Informatika, kami mengakui persoalan ketidaknyambungan latar belakang pendidikan dengan mata pelajaran yang mereka ajarkan terjadi pada mata pelajaran lain. Data kami memperkirakan 30 persen dari sekitar 3,5 juta guru berada dalam persoalan tersebut,” ujar Awaluddin
Menurut dia, keberagaman kondisi geografis, ekonomi, dan budaya memengaruhi suplai guru dan sekolah bermutu. Kemendikbud mengakui realitas tersebut menjadi tantangan. Misalnya, masih ada guru belum melek internet.
Berdasarkan studi terbaru AlphaBeta, tenaga kerja berketerampilan digital bisa menyumbangkan Rp 4.441 triliun atau 16 persen dari proyeksi produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2030. Saat ini, tenaga kerja berketerampilan digital berkontribusi Rp 908 triliun atau 6 persen dari total PDB.
Mengutip studi McKinsey, The Archipelago Economy:Unleashing Indonesia Potential (September 2012), akhir 2030 Indonesia diprediksi membutuhkan 113 juta tenaga kerja mahir dan semi-mahir.
Dalam laporan studinya itu, McKinsey beralasan, kebutuhan pekerja mahir dan semi-mahir sampai 113 juta orang itu akan mampu menyokong pertumbuhan PDB tahunan sebesar 5-6 persen pada 2030. Dengan jumlah pekerja terampil sebanyak itu pula, McKinsey memperkirakan Indonesia dapat meraih posisi ketujuh negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Namun, McKinsey mengkhawatirkan, Indonesia kemungkinan hanya mampu menyediakan 104 juta pekerja mahir dan semi-mahir pada 2030. Ini artinya, Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah menyuplai sembilan juta orang.
Pada saat laporan studi diturunkan, McKinsey menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di urutan ke-16 terbesar di dunia. Jumlah tenaga kerja mahir dan semi-mahir sebanyak 55 juta orang.
Pengalaman guru
Guru bimbingan teknologi informasi komunikasi-informatika SMP Islam Al Azhar 26 Yogyakarta, Nur Ernawati, memandang pengajaran kemampuan berpikir komputasional harus menyenangkan sehingga anak-anak tertarik. Antarguru beberapa mata pelajaran pun perlu berkolaborasi mengajarkan kemampuan itu.
Nur menjadi satu dari 140 guru yang terdaftar sebagai peserta pelatihan kemampuan berpikir komputasional yang diselenggarakan oleh Bebras Indonesia dan Google pada 2019. Dia telah mengajarkan kemampuan itu kepada lebih dari 400 muridnya.
”Muatan materi latihan kemampuan berpikir komputasional bersifat lintas mata pelajaran. Oleh karena itu, saya mengajak guru ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan matematika agar bersama-sama melatih,” ujarnya.
Nur menceritakan, selama melatih kemampuan itu terjadi komunikasi dua arah. Saat menyelesaikan soal latihan, misalnya, guru dan siswa bekerja sama mencari penyelesaian.
”Dengan latihan kemampuan berpikir komputasional, anak-anak diharapkan bisa menerapkan di kehidupan sehari-hari. Ketika berhadapan dengan permasalahan, mereka bisa luwes mencari penyelesaian yang konkret,” katanya.
Berlatih cari solusi
Ketua Bebras Indonesia Inggriani Liem memandang, pengajaran kemampuan berpikir komputasional bukan seperti mengajari anak berpikir bak filsuf. Sebaliknya, kemampuan ini mengajak anak latihan mencari jalan keluar atas persoalan. Apalagi semakin tumbuh dewasa, mereka akan dihadapkan pada masalah yang kompleks.
Sejauh ini, latihan kemampuan berpikir komputasional masih banyak digerakkan secara sukarela oleh kelompok-kelompok tertentu. Salah satunya adalah Bebras Indonesia.
”Siapa pun guru bisa mengajarkan kemampuan berpikir komputasional. Kami sekarang mendorong guru antar-mata pelajaran saling berkolaborasi belajar dan mengajarkan kemampuan itu kepada siswa mereka,” kata Inggriani.