Digitalisasi Arsip Dewan Kesenian Jakarta Masih Terkendala
Dewan Kesenian Jakarta menyimpan banyak arsip dan koleksi seni, berupa kertas, foto, lukisan, atau rekaman suara. Upaya digitalisasi arsip dikebut sejak akhir 2019. Namun, beberapa masalah menghambat proses ini.
Oleh
CEICILIA MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Dewan Kesenian Jakarta terus mendigitalisasi arsip dokumen dan karya seni budaya koleksinya. Namun, upaya ini masih terkendala oleh ketiadaan ruang penyimpanan, penggolongan karya yang sistematis, serta tenaga. Perlu dukungan serius untuk mengatasinya.
Supervisor pengarsipan DKJ Adinda Hanafi, di Jakarta, Minggu (16/2/2020), menyebutkan, koleksi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mencakup berbagai bentuk benda. Sebagian berupa kertas, foto, lukisan, dan rekaman suara. Pada perjalanan DKJ, ada pihak-pihak yang memanfaatkan arsip untuk riset, seperti penelitian skripsi dan tesis, tetapi hasil penelitian itu tidak terdeteksi. "Semua itu salah satu bukti perjalanan seni modern Indonesia," katanya.
Saat mengunjungi DKJ Jumat (14/2/2020), sekitar pukul 12.00-13.00, Kompas melihat dokumen dan koleksi karya seni budaya DKJ di lantai 3 Gedung Teater Jakarta. Ini kantor sementara DKJ, setelah Pemerintah DKI Jakarta menjalankan revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM). Gedung lama dewan sedang dirobohkan.
Di lantai 3, banyak deretan rak berisi kardus-kardus coklat berisi arsip seni budaya modern Indonesia mulai dari tahun 1970-an. Total ada 30 lemari, masing-masing berisi 36 kardus. Kardus menyimpan ribuan arsip kertas, seperti poster, katalog, buku, kliping pameran, dan dokumen skenario pementasan skenario. Ada pula kardus berisi sekitar 7.000-8.000 kaset. Setiap kaset mempunyai durasi waktu 60-90 menit.
Di sebelah kamar mandi, ada gudang penyimpanan lukisan koleksi DKJ dan TIM. Ruangan ini cukup dingin. Bagian sayap kanan gudang dipenuhi banyak lukisan. Ada sejumlah lukisan yang ditempatkan dengan menempelkan bagian muka satu lukisan dengan muka lukisan lain. Pada sayap kiri, banyak lukisan dibungkus kardus. Total ada sekitar 300-an lukisan.
Sejak 1968
Arsip dan koleksi dikumpulkan DKJ sejak dikukuhkan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1968. Pada September 2019, DKJ mulai melakukan digitalisasi arsip. Proyek ini kian mendesak bersamaan dengan revitalisasi TIM. Gedung-gedung lama dirobohkan untuk dibangun gedung baru. Graha Bhakti Budaya, yang jadi kantor dewan, juga dirobohkan.
Kantor DKJ sementara dipindahkan ke gedung Teater Jakarta, tapi kurang dibarengi perencanaan penempatan. Hujan deras awal Januari 2020 sempat berdampak buruk pada sejumlah arsip kertas.
Digitalisasi arsip DKJ baru mencapai 7,5 persen dari total arsip kertas dan suara. Adinda hanya dibantu tiga orang peneliti.
Salah satu peneliti yang ikut program itu adalah Esha Tegar Putra. Dia menyebutkan, kerumitan pengarsipan digital bahkan dimulai sejak membongkar kardus. Isi arsip kertas seringkali tercecer. Ini menyebabkan, tim harus mencari bagian sambungan di kardus lain.
"Padahal, DKJ bisa dikatakan sebagai lembaga yang selalu rutin mendokumentasikan kegiatan, bahkan hasil pemberitaan pun dikliping. Barangkali, ada pihak yang meminjam arsip kliping untuk penelitian, tetapi mengembalikannya bukan di kardus awal," kata dia.
Untuk arsip suara, kerumitan terjadi pada kumpulan kaset yang direkam sekitar tahun 1970 - 1975. Tidak semua kaset berada dalam kondisi bagus. Esha menyebutnya lapuk, baik pada pita maupun bagian sambungan ke roda pemutar. Jika bagian lapuk terletak pada bagian sambungan ke roda pemutar, Esha akan membongkar pitanya lalu memasangkan ke kaset lain yang sudah selesai didigitalkan.
"Ya, kaset itu harus diselamatkan dengan cara demikian. Kami kesusahan mencari kaset yang wujud sama persis. Kaset tersebut kan berasal dari tahun 1970-an," tutur pria yang juga dikenal sebagai Direktur Program di Ruang Kerja Budaya, Kota Padang, Sumatera Barat ini.
Setiap hari Senin - Jumat, Esha bekerja mendigitalkan arsip suara dari pukul 10.00 hingga pulang sekitar pukul 18.00. Jika satu kaset rata-rata berdurasi 1 jam, maka saat bekerja di DKJ, maka dia bisa menyelesaikan digitalisasi arsip sekitar delapan kaset. Oleh karena itu, ketika sampai di rumah, dia memilih melanjutkan digitalisasi hingga sampai tengah malam. Bahkan, saat akhir pekan, dia juga menyempatkan digitalisasi. Total baru ada 200-an kaset yang selesai didigitalkan.
Esha mengaku ada kesenangan sendiri di balik pengarsipan digital yang ia lakukan. Beberapa kali, dia memilih mendengarkan utuh kaset yang sedang didigitalkan karena penasaran dengan isinya.
"Saya bisa mendengar suara Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) ceramah soal film, Mochtar Lubis bercerita soal lawatannya ke Jepang, dan Sutan Takdir Alisjabana ceramah. Saya berasa berada di lorong waktu dan menyaksikan mereka langsung," tutur dia.
Kerumitan lain adalah isu adanya sejumlah arsip DKJ pernah didigitalkan oleh Perpustakaan Nasional. Akan tetapi, hingga sekarang, data tersebut tidak jelas apakah sudah disetorkan ke DKJ atau belum. Dia bersama tim akhirnya sepakat bahwa pengarsipan digital kali ini mulai dari nol.
Andina menambahkan, keterbatasan menjadi benang merah kerumitan yang dihadapi. Dia berharap, arsip-arsip DKJ yang berasal dari tahun 1970 itu turut menjadi perhatian pemerintah.
Kepala Subdirektorat Penyimpanan Arsip di lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Dhani Sugiharto, saat dihubungi terpisah, menceritakan, ANRI pernah membantu digitalisasi arsip suara milik Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin pada tahun 2017. Pada saat itu, ANRI mendigitalkan secara gratis sekitar 1.000 kaset.
"Kami bisa membantu kembali digitalisasi arsip yang dimiliki unit pengelolaan teknis TIM. Hanya saja, upaya digitalisasi arsip di sana harus bertahap karena bergantian dengan program rutin," ujar dia.
Terlepas dari persoalan pengarsipan di DKJ dan TIM, Dhani mengatakan, ANRI saat ini hanya melakukan pelestarian arsip agar dapat bertahan selama mungkin. Caranya adalah menyediakan tempat penyimpanan arsip yang layak, seperti kelembahan suhu ruangan yang terkontrol sesuai Peraturan Kepala ANRI Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pedoman Preservasi Arsip.
Utk akselerasi pelestarian, misalnya digitalisasi arsip, ANRI mengalami kendala berupa keterbatasan anggaran. Selain itu, kata dia, beberapa peralatan pelestarian sudah usang sehingga perlu peremajaan.
Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Tamara Adriani Salim, berpendapat, kegiatan pelestarian arsip informasi dan produk seni budaya seharusnya menjadi program tahunan negara. Beberapa lembaga yang ada, seperti ANRI dan Perpustakaan Nasional RI, semestinya menjadi pembina yang mengayomi kegiatan pengarsipan yang dilakukan instansi lain.
"Permasalahan kekurangan tenaga ahli dan digitalisasi arsip penting sekali dibicarakan sampai tuntas. Kerja sama lintas kementerian/lembaga penting sekali agar segera mendapatkan solusi," kata Tamara.