Perempuan Pekerja Indonesia Berbagi Pengalaman dengan India
Perwakilan perempuan pekerja Indonesia berbagi pengalaman dengan India dalam menghapus kekerasan seksual di tempat kerja. Pengalaman India mendorong Indonesia mewujudkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·6 menit baca
Sejumlah perempuan pekerja yang tergabung dalam Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Cakung, Jakarta, mogok kerja pada 2012. Mereka menuntut upah dan pemecatan supervisor pelaku pelecehan seksual. Tuntutan upah ditanggapi, tetapi untuk penyelesaian kasus pelecehan seksual atas perempuan pekerja diabaikan.
Kendati demikian, pekerja perempuan tak berhenti berjuang. Mereka melakukan bedah kasus pelecehan seksual di hunian pekerja dengan menghadirkan sepuluh pekerja yang berbagi pengalaman pelecehan. Dua tahun kemudian, 2014, FBLP mengundang serikat buruh lain menggelar konferensi perempuan pekerja. Salah satu rekomendasi adalah membuat plang melawan pelecehan seksual di kawasan industri.
Proses panjang pun dilalui. Fakta dan data adanya pelecehan seksual yang dialami sejumlah perempuan pekerja dibawa pihak perusahaan, pengelola KBN, dan pemerintah. Empat tahun kemudian, 25 November 2016, di kawasan industri tersebut akhirnya dipasang plang besar bertuliskan ”PT KBN (Persero) Bebas Pelecehan Seksual”.
Perjuangan perempuan pekerja (buruh) di KBN Cakung melawan pelecehan seksual tersebut dibagikan Sultinah (43), Koordinator Posko Pembelaan Perempuan Buruh, di KBN Cakung, saat berdialog dengan pimpinan Konfederasi Industri India (Confederation of Indian Industry/CII) di kantor CII, New Delhi, India, Rabu (29/1/2020).
”Pelecehan seksual harus diakui. Plang melawan pelecehan seksual menjadi tanda pengakuan dari pengusaha dan pengelola kawasan,” kata Sultinah yang membawakan materi berjudul ”Buruh Melawan Pelecehan Seksual”.
Pengakuan itu sangat berarti. Selain memberi tambahan kekuatan bagi perempuan-perempuan pekerja untuk melawan pelecehan seksual dan memberi keberanian bagi korban untuk bersuara, plang tersebut sekaligus menjadi alarm bagi para pelaku pelecehan seksual.
Pelecehan seksual harus diakui. Plang melawan pelecehan seksual menjadi tanda pengakuan dari pengusaha dan pengelola kawasan.
”Plang memang tidak cukup karena plang tidak otomatis melindungi. Namun, dengan plang itu, setidaknya membantu korban berani berkata: Stop atas pelecehan seksual terhadap perempuan pekerja,” kata Sultinah.
Karena itu, selain memasang plang, FBLP juga menggunakan sejumlah cara untuk mencegah dan melawan pelecehan seksual di kawasan yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan. Di KBN Cakung juga dibangun Posko Pembelaan Buruh Perempuan, Komite Buruh Perempuan, dan Sekolah Buruh Perempuan. Bahkan, mereka memiliki Radio Buruh Perempuan Marsinah FM, yang menyiarkan perjuangan buruh dan perempuan, serta menjadi media bagi komunitas FBLP untuk belajar bicara hak perempuan pekerja.
Bangun komitmen
Sultinah berharap perjuangan perempuan pekerja KBN Cakung yang mendorong perusahaan dan pemerintah berkomitmen melindungi perempuan pekerja di pabrik bisa menjadi contoh di India. Sebab, India memiliki kesamaan dengan Indonesia, yakni memiliki pabrik-pabrik garmen dan sejenisnya yang mempekerjakan ratusan juta perempuan.
Pihak CII merupakan asosiasi industri di India yang berusia 125 tahun dengan 9.100 anggota dari sektor swasta dan publik, termasuk usaha kecil dan menengah, serta ratusan anggota tidak tetap dari 300.000 perusahaan nasional dan regional.
Selain Sultinah, Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah Frans Kongi juga berbagi pengalaman dengan CII bagaimana mencegah kekerasan berbasis jender terjadi di pabrik-pabrik di Jateng.
Pengalaman Sultinah dan Frans disambut baik pimpinan CII yang hadir, antara lain Rumjhum Chatterjee (Co-chair CII National CSR Committee and Group Managing Director, Feedback Infra Pvt, Ltd), termasuk perwakilan pengusaha di India, antara lain Anant Ahuja (Head Organizational Development Shahi Exports Pvt Ltd) dan HKL Magu (Past Chairman AEPC and CMD Jyoti Apparels).
Berbagai pengalaman di CII merupakan bagian dari rangkaian Study Excursion on Gender Based Violence at the Work Place yang dilakukan Fair Wear Fondation (FWF) Indonesia. Kegiatan itu melibatkan perwakilan serikat buruh di Indonesia, termasuk dari Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit, dan Sentra Industri (Garteks), dan perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan, serta Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, dan jurnalis.
Sementara FWF merupakan organisasi yang bekerja dengan dunia usaha, pemerintah, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil untuk meningkatkan kondisi tenaga kerja di sektor garmen. FWF aktif di negara-negara produksi garmen, seperti Bangladesh, India, China, Vietnam, Myanmar, Tunisia, Romania, Macedonia, dan Indonesia.
”Selain mempelajari dan bertukar pengetahuan tentang lobi yang efektif dan strategi advokasi tentang kekerasan berbasis jender di tempat kerja, peserta juga berbagi pengalaman tentang peran pengusaha dalam pencegahan kekerasan berbasis jender di pabrik garmen,” kata Amalia Falah Alam, Country Representative Indonesia FWF.
Dalam sesi diskusi dengan perwakilan Pemerintah India, Ketua Federasi Serikat Buruh Garteks Ary Joko Sulistyo menyampaikan tantangan dan kendala dalam melaksanakan sosialisasi mengenai pencegahan kekerasan berbasis jender di lingkungan perusahaan. Selain buruh/pekerja, pengusaha/manajemen perusahaan belum memahami tentang kekerasan berbasis jender. Karena itu, pembahasan kekerasan berbasis jender selaku dilakukan dalam perjanjian kerja bersama meski perusahaan masih enggan membahas soal itu.
Seperti FBLP, Garteks juga memasang spanduk-spanduk kampanye pencegahan/eliminasi kekerasan berbasis jender di area perusahaan dan melobi perusahaan. Hasilnya, sejumlah perusahaan Garteks menerapkan eliminasi kekerasan berbasis jender.
Selain tim Indonesia, sejumlah pembicara dari unsur pemerintah, pakar, dan lembaga swadaya masyarakat dari India berbagi pengalaman negara tersebut. Mereka berbagi pengalaman mengenai langkah Pemerintah India dan masyarakat sipil yang secara aktif menangani pelecehan seksual di tempat kerja.
India memiliki regulasi
Berbeda dengan Indonesia, dalam penanganan kekerasan atau pelecehan seksual, India lebih maju selangkah dalam hal regulasi. Sejak 2013, India memiliki Undang-Undang tentang Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja, yakni The Sexual Harassment of Women at Workplace (Prevention, Prohibition, and Redressal) Act, 2013. Aturan perundang-undangan itu diajukan Kementerian Pengembangan Perempuan dan Anak di India.
Lahirnya UU itu dilatarbelakangi sejumlah faktor. Perlindungan perempuan terhadap pelecehan seksual dinilai penting lantaran sejalan dengan instrumen internasional, yakni Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Konvensi itu diratifikasi India sejak 1993.
India memandang, UU yang mencegah pelecehan seksual di tempat kerja tersebut diharapkan menjamin perempuan bekerja dengan bermartabat. Menurut Manjunath G, Additional Labour Commissioner, Government of Karnataka, India, perjalanan hingga lahirnya UU Pelecehan Seksual tahun 2013 melalui riset panjang berbagai kasus pelecehan seksual dan kekerasan berbasis jender di India.
Kehadiran UU itu dinilai penting lantaran 20 persen perempuan di India merupakan bagian dari angkatan kerja India. Namun, dalam 20 tahun terakhir, jumlah perempuan pekerja menurun. Di tempat pekerjaan, perempuan India amat rentan mengalami pelecehan seksual. ”Pelecehan terjalin dalam norma sosial budaya kita. Kesadaran mencegah pelecehan seksual perlu diciptakan di tempat kerja karena perusahaan membutuhkan tenaga kerja,” ujarnya.
Kannegi Pachianathan, Chairperson Tamildanu State Commission for Women, mengungkapkan, selain mencegah pelecehan seksual, UU di India melarang perempuan bekerja pada malam hari. Melalui regulasi, perempuan di Indonesia yang mengalami pelecehan seksual bisa mendapat keadilan dengan melaporkan kasus yang dialaminya kepada pihak kepolisian.
”Namun, meskipun sudah disiapkan saluran untuk melaporkan masalahnya, perempuan menghadapi hambatan untuk mengangkat kekerasan berbasis jender yang dihadapinya,” ujarnya.
Pengalaman India setidaknya mendorong Indonesia untuk segera mewujudkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang akan melindungi seluruh perempuan serta anak perempuan dan anak laki-laki di Tanah Air dari kekerasan seksual. Karena pelecehan seksual dan kekerasan berbasis jender bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan menimpa siapa saja, maka kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Seksual makin mendesak bagi Indonesia.