Menaikkan Batas Maksimal Pembayaran Gaji Guru Honorer Bukan Solusi Akhir
Peningkatan gaji hanyalah satu aspek dari terjaminnya kesejahteraan tenaga pendidik honorer. Di luar gaji, masih ada bentuk kesejahteraan lain yang dituntut guru honorer, yaitu kepastian status.
Oleh
Caecilia Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah menaikkan batas maksimal pembayaran gaji guru honorer menjadi 50 persen dari total dana bantuan operasional sekolah patut diapresiasi. Meski demikian, keputusan ini baru memenuhi salah satu tuntutan kesejahteraan yang selama ini diserukan oleh tenaga pendidik honorer.
Pada tahun 2020, alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) dalam APBN sebesar Rp 54,32 triliun untuk 45,4 juta siswa. Alokasi dana itu meningkat 6,03 persen dari Rp 51,23 triliun pada 2019. Skema penyaluran dibagi dalam tiga tahap, yakni 30 persen, 40 persen, dan 30 persen.
Bersamaan dengan hal itu, pemerintah juga mengumumkan batas maksimal untuk pembayaran gaji guru honorer ditingkatkan dari sebelumnya 15 persen untuk sekolah negeri dan 30 persen untuk sekolah swasta menjadi 50 persen dari total dana BOS.
Dalam konferensi pers dana BOS, di Gedung Djuanda I Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (10/2/2020), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan, kenaikan batasan maksimal untuk pembayaran gaji guru honorer diyakini tidak mengurangi kualitas anggaran.
Ini bukan solusi, melainkan langkah pertama untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer
Kesejahteraan guru akan memengaruhi pendidikan, terutama di daerah-daerah terpencil. ”Ini bukan solusi, melainkan langkah pertama untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer,” ujar Nadiem.
Menurut data di laman Kemendikbud, jumlah guru honor sekolah secara nasional mencapai 704.503 orang.
Koordinator Wilayah Forum Honorer Kategori 2 (K2) Indonesia DKI Jakarta, Nurbaiti, mengapresiasi keputusan pemerintah meningkatkan meningkatkan anggaran untuk gaji guru honorer. Keputusan ini dinilai positif di tengah menunggu regulasi pemerintah atas status guru honorer.
Meski demikian, dia mempertanyakan teknis pelaksanaan di lapangan. Sebab, selama ini sudah ada sejumlah guru honorer yang telah menerima upah setara upah minimum provinsi (UMP).
”Apakah guru honorer yang telah mendapat upah setara UMP juga akan mendapat gaji dari BOS? Sumber dananya kan berbeda, yakni dari daerah dan APBN,” ujarnya.
Tantangan teknis lainnya, kata Nurbaiti, adalah nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK) sebagai syarat memperoleh gaji dari dana BOS. Di lapangan masih ada sejumlah guru honorer yang sudah terdata di sistem data pokok pendidikan, tetapi belum memiliki NUPTK. Kasus lainnya yang jadi keluhan sesama guru honorer adalah mempunyai NUPTK, tetapi tidak terdaftar di sistem data pokok pendidikan karena wilayah mereka belum mempunyai akses internet optimal.
Kepastian status
Ketua Umum DPP Forum Honorer Nonkategori 2 Indonesia, R Sutopo Yuwono, mengemukakan, pihaknya mengapresiasi keputusan pemerintah untuk menambahkan batas maksimal untuk pembayaran gaji guru honorer menjadi 50 persen dari dana BOS. Keputusan ini dianggap sebagai wujud perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru honorer.
Di luar gaji, masih ada bentuk kesejahteraan lain yang dituntut, yaitu status. Salah satu seruan yang berkembang menyoal tuntutan agar ada pengangkatan guru tidak tetap dan pegawai tidak tetap berusia 35 tahun ke atas sebagai aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).
”Pemerintah perlu memetakan data jumlah honorer guru berusia 35 tahun ke atas atau honorer nonkategori dan bagaimana kelanjutan status kemudian,” katanya.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Muhammad Ilham Ramli, saat dihubungi terpisah, berpendapat, penambahan 50 persen batas maksimal untuk pembayaran gaji guru honorer dari dana BOS sesungguhnya kontraproduktif dengan keputusan DPR dan Badan Kepegawaian Negara untuk menghapuskan sistem honorer.
”Pemerintah daerah seharusnya dibiarkan saja memikirkan caranya menanggulangi kekurangan guru. Di sisi lain, penambahan porsi honorer otomatis mengurangi pembiayaan untuk kebutuhan lain yang juga mendesak di sekolah-sekolah,” katanya.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 3 Jakarta Adriansyah mengaku, pihaknya masih menunggu pemerintah daerah mengeluarkan petunjuk teknis pelaksanaan kebijakan pembayaran gaji guru honorer maksimal 50 persen dari total dana BOS.
”Kami mengikuti peraturan petunjuk teknis dari pemerintah daerah. Kalau sekarang, peraturan petunjuk teknisnya belum ada,” kata Adriansyah.