Bahasa Indonesia yang lahir dari bahasa Melayu ditengarai berawal dan berkembang di Barus, Sumatera Utara, sejak berabad-abad silam. Ini diperkuat oleh karya-karya sastrawan dari Barus, Hamzah Fansuri, di abad ke-16.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI, NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Bahasa Indonesia yang lahir dari bahasa Melayu ditengarai berawal dan berkembang di Barus, Sumatera Utara, sejak berabad-abad silam. Hal itu diperkuat oleh karya-karya sastrawan dari Barus, Hamzah Fansuri, di abad ke-16, jauh sebelum Gurindam 12 diciptakan Raja Ali Haji dari Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, di abad ke-19. Karya-karya Hamzah Fansuri kemudian menyebar dan berpengaruh hingga ke Kepulauan Riau.
”Hal ini diperkuat oleh temuan Balai Arkeologi bahwa Barus adalah pelabuhan besar untuk memperdagangkan barang-barang mewah yang terjadi dua abad sebelum Masehi,” tutur Kepala Balai Bahasa Sumatera Utara, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Maryanto dalam kunjungannya ke Kantor Redaksi Harian Kompas Biro Sumatera, di Medan, Jumat, (7/2/2020) petang. Barang mewah seperti keramik, emas, dan kapur barus diambil oleh kapal-kapal mewah di Barus yang saat itu merupakan pelabuhan internasional.
”Ada interaksi antara orang lokal dan orang dari dunia (luar). Di situlah kami bisa memprediksi munculnya ligua franca (bahasa pengantar) di Barus dari interaksi orang yang berbeda-beda,” kata Maryanto. Situasi itu menumbuhkan kebudayaan Melayu. Saat orang Arab datang, muncul kemudian Islam-Melayu. Tradisi literasi yang berkembang kemudian adalah Arab-Melayu yang kemudian dikembangkan oleh Hamzah Fansuri.
Belanda yang kemudian datang juga memberi perhatian kepada kebudayaan Melayu. Tradisi penulisan aksara Arab-Melayu ditransformasi menjadi tradisi Latin oleh Charles van Ophuijsen, sarjana Belanda yang diberi tugas oleh Pemerintah Belanda. Van Ophuijsen menulis Kitab Logat Melajoe. Buku ditulis di Padang Sidimpuan, Sumatera Utara. Kitab itu kemudian menjadi ejaan Van Ophuijsen yang menjadi embrio bahasa Indonesia.
Transformasi yang dilakukan Van Ophuijsen itu yang dijadikan simbol wujud bahasa Indonesia dalam pergerakan nasional oleh tokoh dari Sumatera Utara Sanusi Pane dan tokoh Jong Java M Tabrani. Tabrani bahkan menyatakan, ”Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia”.
Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia.
Maka, pada 2 Mei 1926 disepakati bahasa Indonesia dilahirkan, dan diikrarkan dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. ”Sanusi Pane bahkan sudah berpikir mendirikan institut bahasa, lembaga bahasa yang menjaga bahasa Indonesia,” kata Maryanto.
Peneliti Balai Bahasa Medan, Syahril, mengatakan, Gurindam 12, dari segi sastra, 30-40 persennya cenderung terpengaruh syair-syair Hamzah Fanzuri dari Barus. Selain itu, hampir semua artefak sejarah bahasa ada di Sumatera Utara. Sastrawan-sastrawan besar juga lahir dari Sumatera Utara, seperti Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Sanusi Pane.
Pengembang agama Islam diketahui lebih dulu mengislamkan Raja Haru yang berkuasa dari Aceh Tamiang hingga Kota Pinang di abad ke-7 sebelum ke Aceh dan mengislamkan Kerajaan Samudra Pasai. Mereka mendarat di Barus. Hal ini menunjukkan bahasa Melayu sudah berkembang di Sumatera Utara.
Menurut Maryanto, saat ini sedang berlangsung gelombang ”tsunami” pelemahan identitas keindonesiaan, seperti halnya isu kemelanesiaan di Indonesia bagian timur. Isu kemelayuan yang muncul telah membuat bahasa Indonesia sebagai simbol identitas negara tersubordinasi oleh gerakan geopolitik bahasa. Bahasa Melayu dibuat sedemikan rupa hingga bahasa Indonesia tersubordinasi dengan isu Melayu supranasional. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan salah satunya terjadi karena warga di dua pulau itu berbahasa Melayu Malaysia.
Peneliti Balai Bahasa, Suyadi San, mengatakan, berdasarkan pengalamannya mengikuti kegiatan-kegiatan budaya di Sumatera, bahasa yang digunakan justru bahasa Melayu-Malaysia, bukan menggunakan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia didorong menjadi bahasa internasional.
Maryanto mengatakan, pihaknya akan menggelar Seminar Nasional, ”Bahasa dan Sepeda Bangsa”, Dari Barus ke Barus: Pemusatan Kebudayaan Melayu di Sumatera Utara dan Menangkal Gelombang ”Tsunami Kebahasaan”, yang akan dilaksanakan di Medan, Kamis, 20 Februari 2020. Seminar bertujuan membahas eksistensi bahasa Indonesia dan kelembagaannya atas prakarsa tokoh Sumatera Utara terhadap konstelasi geopolitik di kawasan Nusantara dewasa ini.