Din Syamduddin: Ajaran Agama Mudah Dikatakan, Susah Dilaksanakan
Pada Konferensi Persaudaraan Manusia untuk Kedamaian dan Keamanan Dunia di Zagreb, Kroasia, Din Syamsuddin menegaskan pentingnya kasih sayang untuk penyelesaian konflik. Sayangnya, idealisme itu tak mudah diwujudkan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsuddin
JAKARTA, KOMPAS – Konferensi Persaudaraan Manusia untuk Kedamaian dan Keamanan Dunia diselenggarakan di Zagreb, ibu kota Kroasia, menegaskan pentingnya kembali ke jalan kasih sayang sebagai landasan penyelesaian konflik di masyarakat. Landasan ini melintasi batasan ras, suku bangsa, agama, dan kewarganegaraan. Namun, idealisme itu tidak mudah diwujudkan.
“Setelah tarahum (kasih sayang), perlu dilanjutkan dengan ta\'aruf atau saling memahami dan menghormati. Baru kemudian dilanjutkan dengan ta’awun yang berarti bekerja sama dan mewujudkan tadhamum, yaitu saling melindungi,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsuddin dari Zagreb melalui rilis yang diterima oleh Kompas, Rabu (5/2/2020).
"Sayangnya, ajaran-ajaran agama yang luhur dan agung ini mudah dikatakan tapi susah dilaksanakan," katanya.
Sayangnya, ajaran-ajaran agama yang luhur dan agung ini mudah dikatakan tapi susah dilaksanakan.
Konperensi diselenggarakan bersama Rabithah al-‘Alam al-Islami (Muslim World League atau Liga Islam Sedunia) dan Meshihat of Islamic Community in Croatia serta didukung oleh Pemerintah Kroasia. Berlangsung dua hari, 4-5 Februari 2020, acara dihadiri sekitar 200 tokoh Muslim serta Kristen dan Yahudi dari berbagai negara. Forum ini dibuka oleh Presiden Kroasia Kolinda Grabar-Kitarovic. Hadir pula Perdana Menteri Kroasia Andrej Plencovic, Presiden Parlemen Kroasia, Walikota Zagreb, dan Sekretaris Jenderal Liga Islam Sedunia Dr Abd al-Karim al-‘Isa.
Konferensi ini merupakan peringatan satu tahun ditandatanganinya perjanjian kemanusiaan oleh Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi pada tanggal 4 Februari 2019. Kegiatan ini diikuti perwakilan dari kelompok Islam, Nasrani, dan Yahudi dari berbagai negara.
Paus Fransiskus dan Sheikh Ahmed el-Tayeb, Imam Besar Al-Azhar Mesir, bertukar dokumen Persaudaraan Manusia setelah pertemuan antar-agama di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Senin (4/2/2019). Paus menegaskan, para pemimpin agama memiliki tugas untuk menolak semua perang dan berkomitmen untuk berdialog.Menurut Din Syamsuddin, yang juga merupakan Guru Besar Politik Islam Global FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, disrupsi besar di dunia dewasa ini harus segera diatasi secara bersama. Jika tidak ditanggulangi, kerusakan global akan berdampak sistemik terhadap kerusakan peradaban. Sebagaimana dalam pidato pada Konperensi Al-Azhar di Kairo, Mesir, pekan lalu, dia menekankan perlunya sistem dunia baru yang menekankan jalan tengah (wasathiyah) serta persaudaraan kemanusiaan sebagai dasar kehidupan umat manusia. Langkah itu diharapkan dapat mencairkan hubungan umat manusia yang sudah terlanjur terkotak-kotak pada egosentrisme atas dasar agama, ras, etnik, dan kepentingan ekonomi dan politik.
Belum jadi arus utama
Pada kesempatan yang berbeda, Direktur Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi mengkritisi belum aktifnya pemerintah menjadikan toleransi sebagai kegiatan arus utama bangsa. Padahal, Indonesia sudah memiliki modal sosial yang besar karena mayoritas masyarakat menginginkan terwujudnya perdamaian, keadilan, kesetaraan, dan keamanan.
“Belum tampak strategi pemerintah menerjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam praktik pendidikan maupun hukum positif,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta.
Zuhairi mencontohkan berbagai aturan yang membungkam masyarakat seperti pasal mengenai penodaan agama dan minimnya perlindungan terhadap minoritas. Akibatnya, hukum yang multitafsir bisa disalahgunakan untuk kian menekan mereka yang sudah terpojok di masyarakat.
“Keberpihakan negara kepada penyelesaian konflik sektarian yang melibatkan kelompok Syiah dan Ahmadiyah ataupun memberi solusi bagi pelarangan pendirian rumah ibadah di berbagai tempat juga belum bisa dilihat,” ujarnya. (*)