Pernikahan usia anak berdampak pada tidak tercapainya target pembangunan berkelanjutan, antara lain di bidang pendidikan, kesehatan, dan penurunan kemiskinan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghentian penikahan usia anak memiliki efek pada pemenuhan setidaknya delapan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Tanpa penanganan masalah secara komprehensif, pernikahan usia anak membuat Generasi Emas Indonesia dan bonus demografi tahun 2045 terancam gagal.
Anak-anak yang menikah di bawah usia 18 tahun berisiko empat kali lebih banyak putus sekolah dibandingkan dengan mereka yang menikah di atas umur 18 tahun. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, rata-rata lama pendidikan anak perempuan yang menikah muda hanya 7,92 tahun. Artinya, mereka tidak menyelesaikan pendidikan di bangku kelas VIII.
”Dampaknya langsung berkorelasi dengan tidak tercapainya wajib belajar 12 tahun, kematian ibu dan bayi, anak balita tengkes, kemiskinan, dan tenaga kerja tidak terampil,” kata Direktur Statistik Kesejahteraan Sosial BPS Gantjang Aminnullah dalam peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tak Bisa Ditunda, di Jakarta, Selasa (4/2/2020). Acara dibuka oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa.
Laporan tersebut dibuat berdasarkan survei oleh BPS yang bekerja sama antara lain dengan Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), serta Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef).
Prevalensi nasional untuk penikahan usia anak adalah 11,2 persen dengan 1,2 juta kasus pernikahan yang tercatat. Perlu dicatat bahwa kasus-kasus ini adalah pernikahan yang didokumentasikan oleh kantor urusan agama dan dinas kependudukan dan pencatatan sipil. Pernikahan di bawah tangan merupakan fenomena gunung es yang belum terungkap. Penyebab perkawinan usia anak ini juga beragam, ada karena kehamilan tidak diinginkan, kemiskinan, hingga interpretasi nilai adat istiadat tertentu.
Dari 34 provinsi, sebanyak 20 provinsi memiliki prevalensi di atas rata-rata nasional. Sulawesi Barat memiliki persentase tertinggi, yaitu 19,4 persen.
Dari 34 provinsi, sebanyak 20 provinsi memiliki prevalensi di atas rata-rata nasional. Sulawesi Barat memiliki persentase tertinggi, yaitu 19,4 persen pernikahan yang tercatat di sana melibatkan salah satu ataupun kedua mempelai di bawah usia 18 tahun. Dari survei di lapangan, banyak masyarakat belum mengetahui bahwa batas minimal usia perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan UU No 1/ 1974 tentang Perkawinan.
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan, koordinasi sejumlah pihak secara efektif dari pusat hingga akar rumput menjadikan penghentian pernikahan anak masuk ke dalam agenda pembangunan daerah. Targetnya pada tahun 2024 prevalensinya bisa turun menjadi 8,74 persen.
Gantjang mengatakan, penghapusan perkawinan anak berefek langsung pada target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), antara lain pemenuhan hak atas pendidikan, penghentian praktik berbahaya terhadap anak, pemberantasan kemiskinan dari masyarakat, kesetaraan jender, pemberdayaan masyarakat, dan tenaga kerja terampil.
Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung (MA) Amran Suadi mengatakan, telah keluar Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2019 tentang pemberian dispensasi menikah bagi calon mempelai di bawah usia 19 tahun. Ini adalah wujud kehadiran negara untuk mencatat para orangtua yang berniat menikahkan anak mereka.
Amanat aturan itu ialah orangtua dan anak harus diberi konseling psikologi dan sosial untuk mencari akar permasalahan pernikahan yang membuat mereka mengira anak bisa menjadi jalan keluar. Orangtua dan anak diberi pendampingan mengenai pentingnya pendidikan. Tidak tertutup kemungkinan juga membuka mata orangtua dan anak mengenai berbagai program pemberdayaan keluarga.
”Ini masalah yang harus dikeroyok semua sektor, mulai dari ekonomi hingga pendidikan. Apalagi kalau orangtua mendesak anak yang mengalami kehamilan tak diinginkan untuk menikah. Harus ada pendidikan sejak usia dini mengenai pencegahan hal-hal tak diinginkan karena dispensasi di pengadilan agama sejatinya adalah gerbang terakhir,” tutur Amran.
Kurang informasi
Duta Generasi Berencana (Genre) Indonesia Teliana Juwita, sebagai perwakilan remaja, menerangkan, anak-anak Indonesia sangat kekurangan informasi mengenai hak-hak mereka, perlindungan negara, pendidikan kesehatan reproduksi, dan bahaya pernikahan anak.
”Pengalaman Genre di lapangan mengungkapkan beberapa kasus keinginan untuk menikah adalah pasangan remaja yang jatuh cinta dan tidak mau berpisah. Kami memberikan tempat curhat di desa-desa, bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional tentang pacaran sehat dan pendidikan kesehatan reproduksi. Tetapi, selain keterbukaan informasi yang mudah dimengerti remaja, mereka juga butuh berbagai kegiatan untuk menyalurkan bakat dan energinya secara positif,” kata Teliana.