Pesan Kesetaraan dari Selembar Kain
Selembar kain menyimpan aneka kisah kehidupan. Kain juga bisa dijadikan alat untuk menyuarakan diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat.
Kain tak hanya berfungsi untuk sandang. Selembar kain menyimpan aneka kisah kehidupan. Tak melulu hal yang menyenangkan atau keagungan, namun bisa juga tentang perjuangan, kegetiran, keberagaman, hingga penyatuan dengan alam.
Kain juga bisa dijadikan alat untuk menyuarakan diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat. Kain bisa mewakili suara perempuan yang selama ini sulit mengungkapkan keinginan dan kehendaknya secara bebas akibat sistem dan nilai masyarakat yang menempatkan mereka sebagai warga kelas dua.
Pesan itulah yang ingin dibawa dalam Pameran Seni Tekstil Asia-Afrika dengan tema Fabric of Being yang diadakan di sela-sela Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi untuk Peringatan 25 Tahun Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Internasional (ICPD) atau Nairobi Summit on ICPD25 di Nairobi, Kenya, 12-14 November 2019.
Rosalia Sciortino Sumaryono, penanggung jawab utama pameran Fabric of Being di Nairobi, Kenya, Rabu (13/11/2019), mengatakan dalam banyak budaya, perempuan sulit untuk mengutarakan pandangan mereka secara langsung tentang berbagai hal, termasuk persoalan yang menyangkut dengan tubuhnya atau isu kesehatan reproduksi yang lekat dengan mereka.
Dalam banyak budaya, perempuan sulit untuk mengutarakan pandangan mereka secara langsung tentang berbagai hal.
“Melalui karya seni tekstil, pesan ke masyarakat bisa disampaikan dengan cara yang tidak akademis namun tetap bisa menyentuh hati,” katanya.
Baca juga: Perlu Hampir Seabad untuk Mencapai Kesetaraan Jender
Salah satu karya instalasi yang dipamerkan dalam pameran tersebut adalah karya perupa asal Makassar, Sulawesi Selatan, Abdi Karya. Dalam karya yang bertema Born from the Same Womb, sang perupa menggunakan media sarung untuk menggambarkan universalitas tentang asal muasal manusia.
Dari sejumlah lembaran sarung, Abdi membuat sejumlah ayunan bayi dan beberapa boneka. Karya instalasi itu mengandung pesan untuk mengingatkan manusia bahwa apa pun dan bagaimana pun kondisinya saat ini, sejatinya semua manusia berasal dari tempat yang sama, rahim perempuan.
Walau saat manusia dewasa dilekatkan dengan berbagai identitas yang membuat mereka berbeda-beda, mulai dari ras, warna kulit, suku, agama, hingga pilihan politik, namun mereka semua memiliki asal yang satu. Semangat inklusivitas itulah yang ingin didorong Abdi di tengah menguatnya intoleransi dan politik identitas di Indonesia akhir-akhir ini.
Walau saat manusia dewasa dilekatkan dengan berbagai identitas yang membuat mereka berbeda-beda, namun mereka semua memiliki asal yang satu.
Sarung digunakan sebagai media karena dalam budaya Bugis-Makassar, sarung adalah tubuh kedua. “Dalam tradisi keluarga Bugis-Makassar, setiap bayi lahir akan mendapat sarung khusus dari nenek mereka,” ujar Abdi. Sarung itu akan digunakan untuk membedung tubuh bayi atau disimpan untuk digunakan sang anak di masa depan dalam acara-acara khusus.
Selain saat bayi, sarung juga digunakan dalam berbagai prosesi di setiap tahap kehidupan manusia, baik anak, remaja, hingga ketika dewasa maupun saat tua. Sarung digunakan saat sunat, menikah, hingga dalam berbagai acara adat.
Meski motif sarung beragam, sarat makna, serta kaya akan simbol-simbol, namun sarung digunakan oleh siapa saja, tak mengenal jenis kelamin maupun kelas sosial. Sarung jadi bagian penting kehidupan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
“Di masa lalu, sarung digunakan sebagai alat seorang perempuan untuk mengungkapkan perasaan hati kepada laki-laki yang disukainya,” tambah Abdi. Sementara bagi anak-anak, sarung bisa jadi alat permainan yang beragam, mulai dibuat jadi boneka-bonekaan, perahu, hingga berdandan ala ninja.
Abdi sudah memanfaatkan sarung untuk berbagai karya seninya sejak lama. Setidaknya, Abdi sudah enam kali mengadakan pertunjukan teater menggunakan sarung sejak 2001 dan menjadikannya sebagai media seni rupa sejak 2013.
Ide tentang semut
Perupa Indonesia lain yang ikut dalam pameran tersebut adalah Agus Ismoyo dan Nia Flam. Mereka membuat karya instalasi menggunakan batik yang ditata hingga membentuk lorong-lorong atau juantaian sebagai perlambang sarang dan kehidupan semut serta sejumlah elemen klasik alam, yaitu air, tanah, api dan udara.
“Semut adalah gambaran kesatuan dan hubungan yang dekat dengan alam,” kata Agus.
Dalam karya yang bertema Fertility tersebut, Agus dan Nia memang mengambil ide tentang semut. Semut berbaris ke segala arah untuk mencari makanan. Saat bertemu dengan semut lain, semut mengeluarkan cairan khusus yang jadi petunjuk arah atau penanda bahaya hingga semut bisa bekerja sama dan membawa pulang makanan menuju sarangnya.
Ide tentang semut itu diambil dari teks Jawa kuno Agastyaparwa. Dalam mitologinya, semut adalah asal muasal berbagai kehidupan di Bumi, simbol kesuburan. Cairan yang dikeluarkan semut itu akan masuk ke dalam tanah, diserap tumbuhan dan dikonsumsi manusia hingga memberikan energi bagi sperma laki-laki dan sel telur perempuan.
Karena itu, zat yang disekresikan semut memiliki peran penting dalam reproduksi manusia. “Semut memiliki andil dalam kesuburan dan regenerasi manusia,” tambah Agus.
Semut juga perlambang kekuatan yang besar. Meski tubuhnya kecil, mereka mampu menggulung dedaunan yang berdimensi dan berbobot jauh lebih besar dari ukuran dan berat tubuhnya. Kemampuan semut itu menunjukkan kekuatan yang kecil sekali pun akan memberi dampak luar biasa jika menyatu dengan alam.
Selain dua perupa Indonesia, pameran kain itu juga diikuti sejumlah perupa dari India, Filipina, Thailand, Nigeria, Kenya, Mali, Uganda, dan Afrika Selatan. Di negara asal para perupa itu, kesehatan reproduksi dan kesetaraan perempuan masih menjadi persoalan.
Baca juga: Tantangan Besar Wujudkan Komitmen Nairobi
ICPD Kairo 1994 telah memberikan kemajuan yang sangat besar bagi perempuan karena hak perempuan untuk memilih diakui. Meski demikian, setelah 25 tahun komitmen ICPD Kairo dijalankan, perempuan masih menghadapi banyak persoalan pelik mulai dari kematian ibu melahirkan, keinginan menggunakan kontrasepsi yang tak terlayani serta kekerasan berbasis jender. Karena itulah, pertemuan di Nairobi digelar untuk meneguhkan kembali komitmen meningkatkan harkat martabat perempuan.
“Semua persoalan perempuan itu tidak akan bisa diselesaikan selama posisi perempuan dalam masyarakat tidak berubah,” tambah Lia.
Upaya mengatasi persoalan perempuan itu tidak hanya bisa dilakukan dengan pendekatan medis atau teknokratis semata. Langkah itu tidak akan memberi hasil yang optimal selama tidak terjadi perubahan nilai di masyarakat terhadap perempuan. Perempuan harus bisa membuat pilihan untuk segala hal yang menyangkut tubuhnya serta terbebas dari diskriminasi dan kekerasan.
“Harus ada perubahan peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga,” katanya. Peran perempuan dalam urusan domestik masih sangat dominan meski perannya di ruang publik makin besar. Sementara peran laki-laki dalam urusan rumah tangga belum menunjukkan perubahan signifikan.
Melalui seni instalasi tekstil yang dipamerkan, pesan-pesan itu diharapkan bisa sampai dalam pikiran masyarakat tanpa menggurui atau instruktif. Dengan demikian, upaya untuk mengakhiri diskriminasi pada perempuan bisa serentak dilakukan masyarakat. Jika perempuan berdaya, maka keluarga dan masyarakat juga akan berdaya.
Presiden Kenya Uhuru Kenyatta saat pembukaan Pertemuan Tingkat Tinggi Nairobi mengatakan, “Pemberdayaan perempuan sejatinya adalah pemberdayaan keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia.” Karena itu, kemajuan dan kesejahteraan sebuah bangsa tidak akan terwujud selama kaum perempuannya tetap menjadi warga negara kelas dua.