Perupa Dolorosa Sinaga menghayati perjalanan karyanya dalam proses jatuh bangun gerak kemanusiaan yang panjang dan tidak mudah. Perjalanan empat dasawarsa berkesenian dituangkannya dalam sebuah buku.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Perupa Dolorosa Sinaga menghayati perjalanan karyanya dalam proses jatuh bangun gerak kemanusiaan yang panjang dan tidak mudah. Perjalanan empat dasawarsa berkesenian dituangkannya dalam sebuah buku.
“General, Have You Read the Book of Love?”, demikian nama patung berukuran 37 x 24 x 80 sentimeter itu. Patung perunggu itu menampilkan dua orang yang tengah berdiri bersandingan. Di sebelah kiri tampak seorang tentara bersenjata laras panjang dan bertopi baja, sementara di sisi kanan seorang perempuan berkebaya tengah membuka buku besar. Ia menoleh kepada sang tentara dan bertanya…”Jenderal, sudahkah anda membaca buku cinta?”
Patung karya perupa Dolorosa Sinaga tahun 2006 ini sangat mengesan bagi aktivis Usman Hamid. “Patung ini sangat dalam maknanya buat saya. Karena Dolo (Dolorosa) memberikan patung ini tidak lama setelah dia datang bersama orang-orang yang pernah kehilangan,” ujarnya.
Tahun 2003, Dolorosa juga membuat sebuah patung perunggu berjudul “Hanya Satu Kata: Lawan!”. Kata-kata ini adalah pekikan legendaris di masa reformasi dari penyair Wiji Thukul yang hilang pada 1998.
Lima tahun setelah tragedi itu, Dolorosa mengabadikan perjuangan Wiji Thukul melawan rezim Orde Baru dalam karyanya. Dengan tangan kiri mengepal ke atas dan tangan kanan memegang kertas, Wiji berteriak lantang melawan penindasan.
Dolorosa juga membuat patung unik berjudul “Wali Tertawa I”. Patung tersebut sekilas tampak seperti patung Budhha tidur. Namun, begitu melihat wajahnya, rupanya itu adalah sosok Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Tokoh bangsa itu sedang terbaring santai bersandarkan tangan kanan. Ia tertawa sembari tangan kirinya menepuk-nepuk pinggang.
Ya, Dolorosa menyebutnya sebagai wali, sebuah predikat yang sangat pantas disandang Gus Dur, presiden sekaligus tokoh bangsa yang berani memperjuangkan nasib kelompok-kelompok minoritas. Penghargaan itu digambarkan Dolorosa dengan menampilkan sosok Gus Dur seperti halnya Buddha yang sedang tertidur.
Patung-patung di atas adalah segelintir dari 620 karya Dolorosa Sinaga yang ia ciptakan selama 40 tahun terakhir, sejak 1976. Beberapa karyanya disuguhkan dalam Kaleidoskop Pameran Instalasi 40 Tahun Aktivisme Seni Dolorosa Sinaga yang berlangsung 31 Januari-11 Februari 2020 di Gedung B, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Aktivisme seni
Karya-karya Dolorosa memang tak bisa dipisahkan dari jiwa aktivisme yang menggelora dalam dirinya. Sejak 1994, dosen Institut Kesenian Jakarta itu sudah mulai bersinggungan dengan para aktivis seperti Joebaar Ajoeb, Semsar Siahaan, Firman Ichsan, dan para intelektual muda dari Jaringan Karja Budaya, Partai Rakyat Demokratik, dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi.
Karya-karya Dolorosa memang tak bisa dipisahkan dari jiwa aktivisme yang menggelora dalam dirinya.
Pada 1998, ketika terjadi kerusuhan 13-14 Mei, rumah Dolorosa pernah menjadi markas Tim Relawan Kemanusiaan untuk menyelidiki perkosaan massal dan kerusuhan rasial terhadap warga Tionghoa di Jakarta. Perjuangannya tak pernah berhenti, pada 2015-2018, Dolorosa juga menjadi anggota Dewan Pengarah International People’s Tribunal 1965-1966 Mahkamah Rakyat Internasional tentang pembunuhan massal 1965-1966 yang dilakukan negara terhadap masyarakat Indonesia dengan sistematis, diam-diam, serta meluas.
“Inilah seni Dolorosa Sinaga yang menjadikan tubuh sebagai alat untuk berbicara dengan publik, dengan dunia yang berakar di luar sosok tubuh yang dia ciptakan. Beginilah nasib yang tidak bisa dihindari oleh patung-patung yang bersikap dalam menghadapi ketimpangan sosial dan pembodohan zaman,” kata penulis Martin Aleida.
Seperti nama yang disandangnya, Dolorosa atau penderitaan, Dolorosa Sinaga menghayati perjalanan karyanya dalam proses jatuh bangun gerak kemanusiaan yang panjang dan tidak mudah. Ini tercermin dari karya-karyanya yang tak pernah lepas dari persoalan-persoalan tragedi kemanusiaan di sekitarnya.
Buku perjuangan
Menandai perjalanan empat dasawarsa berkesenian, Dolorosa menyusun buku “Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk, Substansi” bersama dua editor, yaitu Alexander Supartono (sejarawan seni dan dosen di Edinburgh Napier University) dan Sony Karsono (dosen sejarah di Sejong University, Korea Selatan) yang diluncurkan, Jumat (31/1/2020) malam, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Buku ini menghadirkan dialektika panjang antara pengalaman hidup, kegelisahan politik, eksplorasi artistik, dan letup-letup inspirasi yang mewujud dalam 620 karya patungnya.
Penerbitan buku seni rupa “Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk, Substansi” membutuhkan waktu panjang, hingga tiga tahun. Menurut Alex, penerbitan buku seni rupa bukan hal yang mudah karena kerja-kerja di balik buku seni rupa membutuhkan sangat panjang.
Proses pendokumentasian dan pencatatan karya selama 40 tahun adalah bagian paling berat dalam penyusunan buku ini. Para editor dan Dolorosa melakukan pemeriksaan ulang untuk memastikan berapa jumlah patung, variasi, dan edisi yang pernah diciptakan sejak 1976 hingga sekarang.
“Buku ini menyusun katalog lengkap dengan data sedetail mungkin. Tidak hanya tahun, judul, bahan, dimensi, tetapi juga siapa yang mengoleksi, siapa saja yang pernah memamerkan, di mana karya-karya Dolorosa pernah di bahas, pada tulisan apa saja, dan sebagainya. Buku ini akan menjadi kekayaan budaya luar biasa yang bisa diberikan warga negara kepada negerinya,” kata Sony.