Klaim China atas wilayah perairan Natuna Utara mengingatkan kembali akan sejarah Laut China Selatan, juga Pulau Natuna yang menjadi pelintasan perdagangan global masa lalu.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Klaim China atas wilayah perairan Natuna Utara mengingatkan kembali akan sejarah Laut China Selatan, juga Pulau Natuna yang menjadi pelintasan perdagangan global masa lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Penyebutan Laut China Selatan bermula sejak abad ke-16 ketika para pedagang Eropa menandai jalur laut dari Eropa menuju ke Asia Timur dan China. Meski menyebut secara langsung nama China, namun Laut China Selatan bukan serta-merta milik China.
Jika ditarik ke belakang, Dinasti Zhou Timur (771-221 sebelum Masehi) menyebut Laut China Selatan sebagai Nan Hai atau Laut Selatan. Tidak ada tambahan kata China di sana. Meski sempat beberapa kali berubah nama, pada Dinasti Qing (1644-1912), perairan tersebut kembali dinamakan Nan Hai.
Laut China Selatan sering pula disebut sebagai Laut Champa. Sebutan ini muncul dari keberadaan Kerajaan Champa yang berkuasa di wilayah Indochina yang berpusat di Vietnam dari abad ke-2 hingga ke-17. Sementara itu, di Vietnam, Filipina Barat, dan Laut Natuna Utara, perairan tersebut (Laut China Selatan) justru dinamakan East Sea (Laut Timur).
“Sebutan nama laut menunjukkan bahwa laut tersebut berdekatan dengan daerah, kerajaan, atau negara tertentu. Ini dianggap biasa, seperti (penyebutan) Teluk Meksiko, Laut Panama, dan sebagainya. Karena itu, nama Laut China Selatan bukan otomatis milik China. Analoginya, Samudera Hindia merupakan samudera terluas di dunia yang bukan dimiliki oleh India,” kata Prof Djoko Marihandono, sejarawan Universitas Indonesia dalam diskusi Ada Apa dengan Natuna? “Kilas Balik Kepulauan Natuna, Arkeologi Dari Batas Negeri” yang digelar di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Laut yang kaya
Menurut Djoko, klaim China atas laut China Selatan berdasarkan pada garis yang dibuat oleh Pemerintah Republik China (sekarang Taiwan) pada 1947. Begitu pemerintahan komunis Republik Rakyat China berdiri pada 1949, mereka akhirnya menjadikan sembilan garis putus-putus (Nine-Dash Line) berbentuk U sebagai dasar untuk mengklaim sekitar 80 persen Laut China Selatan yang total luasannya sekitar 3,5 juta kilometer persegi. Klaim China kemudian dituangkan dalam edaran Nota Diplomatik Kementerian Luar Negeri China pada 2011.
Sementara itu terkait batasan wilayah Laut China Selatan yang menjadi daerah teritorial, Indonesia berpegangan pada Konvensi Hukum laut PBB yaitu 200 mil dari titik terluar dari wilayah kedaulatan suatu negara. Konvensi Hukum Laut PBB yang tertuang dalam UNCLOS (United Nations Convention of the Law on the Sea) berlaku pada 16 November 1994.
Terkait batasan wilayah Laut China Selatan yang menjadi daerah teritorial, Indonesia berpegangan pada Konvensi Hukum laut PBB yaitu 200 mil dari titik terluar dari wilayah kedaulatan suatu negara.
Jika dilihat dari potensi alamnya, Laut China Selatan memiliki kekayaan yang luar biasa. Perairan tersebut merupakan jalur transportasi perdagangan tersibuk di dunia dengan hasil tangkapan ikan sekitar 5 triliun dollar AS per tahun atau sekitar 10 persen dari kebutuhan ikan dunia.
Laut China Selatan juga menjadi sumber hasil tambang minyak bumi sebesar 11 miliar barrel dollar AS serta gas alam 190 triliun kaki kubik. Laut itu menjadi sumber perhatian dunia karena diklaim kepemilikannya oleh negara-negara yang berpantai dengan Laut China Selatan, seperti China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Indonesia sendiri bersengketa dengan China yang mengklaim wilayah laut yang dibatasi dengan Nine-Dash Line yang berada di wilayah perairan Natuna Utara.
Pulau pelintasan
Hasil ekskavasi atau penggalian arkeologi di sejumlah situs di Natuna, seperti Setapang, Sepempang, Tanjung, dan Batu Bayan dalam satu dekade terakhir menunjukkan temuan-temuan menarik. Para peneliti menemukan sejumlah kubur kuno, benggong atau keranda kubur dari kayu, gelang perunggu, dan keramik yang diduga merupakan bekal kubur.
“Ketika kami menemukan kerangka-kerangka manusia, sempat ada keributan dengan masyarakat setempat karena mereka mengira orang yang meninggal itu beragama Islam sehingga harus dikafani dan dimakamkan kembali. Kami akhirnya meyakinkan mereka bahwa kerangka-kerangka tersebut bukan kerangka orang Islam karena posisi penguburannya tidak mengarah ke utara-selatan, tetapi barat daya dan timur laut,” kata arkeolog Senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Sonny C Wibisono.
Teknik-teknik penguburan kuno dengan bekal-bekal kubur seperti di Natuna ternyata mirip dengan temuan-temuan di sejumlah situs Nusantara lain, seperti di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan) dan Semawang (Bali). Khusus di Natuna, beberapa kerangka ditemukan tidak lengkap dan rusak. Selain itu, keramik-keramik yang menjadi bekal kuburnya juga hilang karena aksi pemacokan atau perburuan benda-benda antik oleh masyarakat setempat.
Di Pulau Bunguran Besar, Natuna juga ditemukan begitu banyak artefak keramik dari periode abad ke-10 hingga ke-20. Keberadaan keramik-keramik (sebagian besar dari China) dari berbagai masa ini menunjukkan adanya hubungan pelayaran dan perdagangan global di Natuna. Natuna menjadi pelabuhan singgah karena hasil alamnya dan letaknya strategis.
Selain memiliki hubungan jarak jauh dengan negara-negara lain, pada zaman dahulu Natuna juga menjalin hubungan jarak dekat dengan pulau-pulau di Nusantara. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gerabah berbentuk kendi dari Gosari, Gresik, Jawa Timur era abad ke-13.