Metamorfosis Teror di Candi Borobudur
Tepat 21 Januari, 35 tahun silam, peristiwa memalukan tercatat dalam buku sejarah bangsa. Candi Borobudur, mahakarya Dinasti Syailendra, salah satu keajaiban dunia, dibom. Kini, benarkah warisan budaya itu telah aman?
Tepat 21 Januari, 35 tahun silam, peristiwa memalukan tercatat dalam sejarah. Candi Borobudur, mahakarya Dinasti Syailendra yang menjadi salah satu keajaiban dunia, dibom. Kini, benarkah warisan arkeologi itu sepenuhnya aman?
Senin, 21 Januari 1985, Wahyuno (66) terkejut saat dihentikan polisi sekitar 200 meter dari gerbang masuk kompleks Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Semua orang dilarang mendekat. Polisi dan tentara lalu lalang, menjaga area itu.
Setelah menunjukkan identitas sebagai petugas keamanan candi, ia pun diperbolehkan masuk. Memasuki bagian atas candi, sontak ia terkejut menyaksikan sembilan stupa candi luluh lantak. Candi kebanggaan yang saat itu baru saja selesai dipugar jadi sasaran bom.
”Peristiwa ledakan bom itu adalah peristiwa paling pahit dalam hidup dan karier saya sebagai satpam, petugas pengaman Candi Borobudur,” kata Wahyuno, Jumat (24/1/2020).
Sejak awal diangkat sebagai satpam di Candi Borobudur pada 1971, Wahyuno dan puluhan satpam di Candi Borobudur selalu ditegaskan bahwa mereka mengemban tugas penting menjaga aset dunia. Maka, tercabiklah sudah kebanggaan mereka menjaga candi setelah teror bom terjadi.
Ledakan itu terjadi hanya berselang sekitar dua tahun seusai Candi Borobudur menjalani tahapan pemugaran kedua 1971-1983. Ketika itu, sekitar area candi baru saja dibersihkan dengan menggusur lima dusun di Desa Borobudur. Selanjutnya, area tersebut digunakan sebagai lokasi pembangunan kantor pengelolaan Candi Borobudur (kini kantor Unit Borobudur milik PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko).
Sembilan bom meledak. Ledakan pertama terdengar pukul 01.30, sedangkan ledakan kesembilan terdengar pukul 03.30. ”(Ledakan) Tak terlampau besar. Patungnya hancur karena peledak diletakkan di punggung patung. Kemudian atap stupa runtuh dan itu yang merusakkan patung,” ujar Pangdam VII/Diponegoro saat itu, Mayjen Soegiarto (Kompas, 22/1/1985).
Aksi teror bom itu terjadi di lantai 8-10 Candi Borobudur. Sebanyak 13 bom telah diletakkan oleh pelaku teror, sembilan di antaranya meledak dan empat di antaranya tidak. Berdasarkan data Balai Konservasi Borobudur (BKB), ledakan merusak sembilan stupa. Akibatnya, 631 balok batu stupa runtuh, 6 balok batu hancur, 243 balok batu pecah, dan 155 balok gempil.
Baca juga: Dari Wangsa Syailendra untuk Dunia
Ledakan juga merusak sembilan arca Buddha, dengan rata-rata kerusakan terjadi pada bagian kaki, tangan, dan perut. Kerusakan terparah terjadi pada arca Buddha di teras tingkat III di lantai 10 tempat arca tersebut pecah hingga 67 bagian dan ada bagian-bagian yang hancur serta hilang.
Tak seorang pun menyangka Candi Borobudur pagi itu dibom. Sekalipun sempat beberapa kali mendengar ledakan, sejumlah masyarakat tidak langsung mengenali suara tersebut sebagai suara bom. Apalagi, bukit Dagi yang berada di dekat candi sering digunakan sebagai tempat latihan kemiliteran.
Sejumlah warga sekitar, termasuk Wahyuno, mengira suara tersebut berasal dari aktivitas tersebut. Beberapa warga yang mendengar mengaku juga hanya terkejut sesaat, mengabaikannya, dan melanjutkan tidur.
Wahyuno mengatakan, karena masih dalam pembenahan, ketika itu fasilitas pengamanan di Candi Borobudur belum memadai. Borobudur hanya dikelilingi pagar kawat berduri dan semak-semak. Di malam hari, jumlah lampu dan cahaya penerangan pun kurang memadai.
Masih longgar
Meski belum ada metal detector, pemeriksaan barang bawaan pengunjung tetap dilakukan dengan ketat, dengan membongkar tas. Kendati demikian, para penjaga juga mengizinkan warga sekitar masuk untuk kepentingan mencari rumput bagi ternak.
Setelah mengurus izin dan melapor ke kepolisian serta satpam di kompleks candi, warga diizinkan melakukan aktivitas di kompleks candi pada malam hari. Berdasarkan penuturan masyarakat sekitar, sejumlah warga kala itu ada yang memiliki kebiasaan ritual di candi, khususnya di hari-hari tertentu.
”Selain wisatawan, orang yang masuk melewati pos satpam dan beraktivitas di candi adalah warga, tetangga sekitar, yang alamatnya pun juga diketahui oleh kami, para satpam,” ujar Wahyuno.
Malam sebelum peledakan, para pelaku ditengarai masuk dari arah tenggara kompleks candi, meletakkan bom dengan pengatur waktu, dan keluar melalui pintu timur.
Dari catatan Kompas, pengejaran terhadap para pelaku berhasil pada April 1985. Penangkapan diawali secara tak sengaja, bermula dari insiden ledakan bus Pemudi Express di Banyuwangi, Jawa Timur. Bus itu meledak lantaran ada bom yang dibawa penumpang. Bom itu tak tahan panas karena bergesekan dengan mesin mobil.
Bom yang meledak di bus tersebut membuka celah memburu pelaku bom Candi Borobudur. Polisi menangkap Abdul Kadir Ali al-Habsyi di sekitar lokasi ledakan bus. Ia sedianya membawa bom untuk diledakkan di Bali dengan sasaran hotel-hotel atau tempat prostitusi. Dari situ, polisi juga mengungkap Husein bin Ali al-Habsyi, saudara Kadir. Keduanya menjadi tersangka pelaku peledakan Candi Borobudur.
Dalam persidangan, sebenarnya muncul nama Mohammad Jawad yang disebut sebagai otak pengeboman. Namun, sosoknya tak tertangkap dan hingga kini masih misteri. Abdul Kadir divonis 20 tahun penjara dan Husein seumur hidup. Setelah menjalani hukuman 10 tahun, Abdul Kadir mendapat remisi, sedangkan Husein mendapatkan grasi dari pemerintah Habibie pada 23 Maret 1999.
Baca juga: Jumlah dan Perilaku Pengunjung Candi Borobudur Diawasi
Tak hanya merusak bangunan candi, ledakan bom itu juga mengacak-acak kehidupan sejumlah warga di sekitar Borobudur. Sebelum para pelaku ditangkap, sejumlah warga sekitar candi berulang kali diperiksa polisi.
”Saat itu hidup saya tidak tenang karena berkali-kali dipanggil dan dimintai keterangan oleh polisi dan tentara,” ujar Sucoro (69), salah satu warga.
Baca juga: 56 Kepala Arca Buddha Belum Terpasang
Kejadian itu juga sempat membuat puluhan pedagang asongan yang semula berjualan di kompleks candi terpaksa mencari penghasilan dari sektor lain karena kawasan candi ditutup selama beberapa minggu.
”Karena tidak bisa berjualan di candi, saya akhirnya mencari kerja sebagai buruh di proyek-proyek pembangunan gedung,” ujar Sumeri (59). Sumeri sempat 25 tahun berjualan suvenir di kompleks Candi Borobudur.
Rombongan pengunjung asyik berfoto di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (24/1/2020).
Ancaman baru
Puluhan tahun berlalu, setelah teror bom, upaya pengamanan Candi Borobudur dilakukan intensif dengan melibatkan 52 petugas yang bergantian berjaga dalam tiga giliran. Mereka pun siaga mengawasi barang bawaan pengunjung dengan metal detector.
Program pelatihan untuk tenaga pengamanan juga terus dilakukan dua hingga tiga kali per tahun. Pengawasan juga makin diintensifkan dengan menempatkan sedikitnya 16 kamera pemantau di berbagai lokasi sekitar candi.
Upaya pengamanan sudah dilakukan optimal, tetapi bukan berarti Candi Borobudur aman dari ancaman dan gangguan, terutama perilaku pengunjung yang sering kali tak terkendali.
Salah seorang teknisi konservasi dari BKB, Basuki, mengatakan, perilaku pengunjung juga sering kali membahayakan keutuhan bangunan candi. Ia pernah mendapati seorang pengunjung menaiki pagar langkan dan menyebabkan satu batu antefik seberat 30 kilogram dan terpasang pada ketinggian 1,5 meter jatuh.
Baca juga: Demi Konservasi, Pengunjung di Candi Borobudur Dibatasi
”Waktu itu terdengar suara berdebam keras dan ketika saya pergi untuk melihat, batu tersebut sudah jatuh dan ada bagian yang pecah berserak di lantai,” ujarnya. Saat kejadian, Basuki sedang bertugas berkeliling di bangunan candi.
Lain waktu, seorang pengunjung juga ada yang pernah naik hingga ke atas stupa. Ingin bergaya difoto sambil menyentuh bagian atas stupa, dia justru menyenggol dan membuat bagian puncak stupa jatuh ke lantai di bawahnya.
Seorang pengunjung lain juga pernah mencoba difoto di atas pagar langkan. Dalam upaya menaiki pagar tersebut, batu yang dinaiki akhirnya pecah. Dalam pengamatan di lapangan, Jumat (24/1/2020), garis retakan masih terlihat jelas pada batuan yang pecah tersebut.
Karena ulah dan perilaku pengunjung pula, BKB pernah terpaksa merusak batuan candi. Hal ini terjadi pada 2010. Ketika itu, kepala salah seorang pengunjung yang masih balita terjepit dalam lubang stupa, yang berukuran 30 x 30 sentimeter.
”Demi keselamatan pengunjung, tidak ada cara lain bagi kami kecuali mengikis sebagian batu untuk memperlebar celah agar kepala balita tersebut bisa keluar,” ujarnya.
Tak hanya itu, menurut Basuki, ada juga aksi vandalisme sejumlah pengunjung dengan mencorat-coret dinding candi dengan cat semprot. Aksi "teror" lain juga dilakukan pengunjung dengan membuang sampah permen karet secara sembarangan di bagian lantai.
Mungkin terlihat sepele, tetapi menurut Basuki, dampaknya sangat buruk bagi batuan berumur lebih dari 1.200 tahun seperti Borobudur. Sekalipun bisa dibersihkan, menempelnya bahan-bahan kimia tersebut dipastikan tetap berdampak merusak dan mempercepat pelapukan batuan candi.
Tak hanya perilaku yang merusak, pelapukan dan keausan batuan juga terjadi secara simultan akibat pijakan kaki para pengunjung pada batuan. Hasil penelitian Balai Konservasi Borobudur (BKB) tahun 2008, diketahui laju keausan batuan candi di sisi timur atau di bagian tangga naik, tercatat mencapai 0,175 sentimeter per tahun. Adapun pada tangga turun atau sisi utara mencapai 0,2 sentimeter per tahun, sedangkan di bagian lantai selasar atau lorong mencapai 0,042 sentimeter per tahun.
Dengan mempertimbangkan jumlah pengunjung yang saat ini berkisar 3-4 juta orang per tahun, keausan batuan candi diprediksi berlangsung lebih cepat dan dalam skala yang lebih besar.
Kepala BKB Tri Hartono mengatakan, masalah konservasi candi memang selalu kontra dengan target peningkatan jumlah wisatawan demi peningkatan ekonomi negara. Sejarah menunjukkan semakin banyak wisatawan, terlebih dalam waktu bersamaan, juga memberi ancaman yang lebih berat pada kelestarian candi. Dengan alasan itu, wacana pembatasan jumlah kunjungan wisatawan ke candi menjadi hal penting kendati hingga kini belum terealisasi.
Teror bom 35 tahun silam memang langsung memberikan dampak kerusakan dalam hitungan jam. Namun, eksploitasi berlebih dari kunjungan wisatawan yang tak terbatas juga ibarat teror yang secara perlahan merusak warisan arkeologi Borobudur.