Kedutaan Besar RI Diminta Pro-aktif Lindungi Buruh Migran
Komitmen pemerintah untuk melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri terus dinantikan, menyusul pengaduan delapan perempuan Indonesia yang bekerja di Malaysia atas buruknya kondisi kerja yang mereka alami.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen pemerintah untuk melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri terus dinantikan, menyusul pengaduan delapan perempuan Indonesia yang bekerja di Malaysia kepada Migrant Care Malaysia atas situasi dan kondisi kerja tidak layak yang dialami mereka. Selain itu, diduga ada praktik tindak pidana perdagangan orang, yakni penempatan pekerja anak atau di bawah umur, yang diberangkatkan saat berusia 16 tahun.
”Seharusnya dalam kasus yang dihadapi pekerja migran Indonesia, ada peran aktif kedutaan besar RI di negara terkait. Tapi sepertinya KBRI sangat pasif, tidak melakukan perlawanan apa-apa. Kami tidak ragukan komitmen Menteri Luar Negeri, tetapi ide dan visi perlindungan PMI tidak jalan di tingkat perwakilan di luar negeri,” ujar Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant Care, Rabu (22/1/2020), di Jakarta.
Saat ini ada delapan pekerja migran Indonesia di Malaysia yang dikriminalisasi. Padahal, mereka justru menjadi korban karena tidak mendapat perlakuan yang layak sebagai pekerja bahkan diduga mereka menjadi korban perdagangan orang.
Seharusnya dalam kasus yang dihadapi pekerja migran Indonesia, ada peran aktif kedutaan besar RI di negara terkait. Tapi sepertinya KBRI sangat pasif, tidak melakukan perlawanan apa-apa.
Kasus tersebut bermula dari pengaduan yang diterima Migrant Care Malaysia pada akhir November 2019, dari delapan perempuan pekerja migran Indonesia yang bekerja di Malaysia tentang situasi dan kondisi kerja mereka yang tidak layak. Mereka direkrut dan ditempatkan perusahaan perekrut Pekerja Migran Indonesia PT Bukit Mayak Asri dan PT Millenium Muda Makmur ke perusahaan IClean Services Sdn Bhd di Malaysia.
Para pekerja migran yang berasal dari Padang (Sumatera Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Sumba Timur, Nagakeo dan Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur) bekerja sekitar 5 tahun, bahkan ada yang lebih dari 5 tahun, tetapi upah yang diterima tidak sesuai perjanjian, bahkan ada yang tidak dibayar atau dipotong gajinya.
Alex Ong, Country Representative Migrant Care di Kuala Lumpur, saat dihubungi Rabu malam mengungkapkan dari pengaduan yang diterima, ditemukan beberapa dugaan pelanggaran kontrak kerja yang dilakukan perusahaan. Selain penempatan kerja, pembayaran, dan besaran gaji yang tidak sesuai dengan kontrak kerja, juga tidak ada penggantian uang kerja lewat jam kerja (uang lembur), serta terjadi penahanan dokumen dan pembatasan akses komunikasi, termasuk terbatasnya peralatan keselamatan kerja dan terjadinya kekerasan.
Bahkan, ditemukan praktik penempatan pekerja anak (di bawah umur), salah satu pekerja migran diberangkatkan saat berusia 16 tahun. ”Ada yang dipaksa menjadi pekerja rumah tangga, ada pemalsuan identitas orang lain saat melamar pekerjaan, dan sebagainya,” kata Alex.
Didampingi Migrant Care Malaysia, para PMI melaporkan IClean Services Sdn Bhd ke Majlis Anti Pemerdagangan Orang dan Anti Penyelundupan Migran (MAPO) pada 25 November 2019. Atas laporan tersebut, MAPO bersama Polisi Diraja Malaysia, merazia perusahaan IClean Sdn Bhd, serta membawa 51 pekerja migran yang mayoritas dari Indonesia (45 orang) ke Rumah Perlindungan Malaysia.
Dikriminalisasi
Belakangan, pada 7 Januari 2020 lalu, Polisi Diraja Malaysia menyatakan bahwa kasus itu belum memenuhi unsur TPPO, dan pekerja migran yang dokumennya memenuhi syarat dipekerjakan kembali ke perusahaan. Namun, delapan pekerja migran dinyatakan memiliki dokumen tak sah dan akan dideportasi. Selama menanti proses deportasi, mereka ditahan di Tahanan Imigrasi Semenyih. ”Sangat dibutuhkan kehadiran KBRI dalam perlindungan pekerja migran Indonesia,” kata Alex.
Wahyu bahkan memertanyakan KBRI Kuala Lumpur yang tidak melakukan perlawanan atas kasus hukum yang dihadapi PMI. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga harus menyampaikan protes keras terhadap perlakuan pemerintahan Malaysia terhadap diskriminasi yang dilakukan kepada delapan pekerja migran Indonesia. ”Saksi pelapor harusnya dilindungi, tetapi malah dikriminalisasi,” ujar Wahyu.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Tindak Pidana Perdagangan Orang, Destri Handayani meminta selain melapor ke MAPO, para korban atau migrant care harus melaporkan kasus yang menimpa delapan PMI ke KBRI Kuala Lumpur, agar negara bisa hadir untuk mendampingi dan melayani korban.
Dari kasus tersebut, menurut Destri, sudah ada indikasi TPPO. Karena TPPO harus memenuhi 3 unsur, yaitu proses, cara, dan tujuan. Dari unsur ”proses” sudah ada perekrutan, pemindahan, dan penempatan; dari ”proses” sudah ada kekerasan dan penipuan (pelanggaran kontrak kerja); dari sisi tujuan juga ada ”eksploitasi”, yaitu tidak adanya penggantian uang kerja lewat jam kerja (uang lembur), penahanan dokumen, dan pembatasan komunikasi. ”Namun, masih perlu pendalaman lebih lanjut oleh pihak MAPO dan KBRI,” tegas Destri.
Dukungan kepada Migrant Care disampaikan Ketua Jaringan Nasional Anti-TPPO (JarNas Anti-TPPO) Rahayu Saraswati Djojohadikusumo. ”JarNas Anti-TPPO mendesak Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO untuk menyelamatkan korban TPPO, serta mendesak Menlu untuk perintahkan Dubes RI untuk Malaysia segera selamatkan para PMI,” tambah Gabriel Goa Sekretaris II Jarnas Anti-TPPO.