Televisi Republik Indonesia merupakan lembaga penyiaran publik yang menurut undang-undang harus mengabdi kepada kepentingan publik. LPP harus mendorong munculnya partisipasi publik, bukan membuat audiens jadi konsumen.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Beberapa hari terakhir, pembicaraan tentang Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia menghangat, terutama setelah Dewan Pengawas TVRI mencopot Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI. Tak sedikit masyarakat dan pejabat yang mempertanyakan keputusan Dewan Pengawas karena menurut mereka TVRI sekarang telah berubah dan bahkan mulai mengimbangi televisi-televisi swasta. Akan tetapi, apakah tepat membandingkan TVRI dengan televisi swasta? Mari kita lihat landasan hukumnya.
Dari sisi kelembagaan, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mengategorikan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik (LPP) bersama Radio Republik Indonesia (RRI). LPP adalah lembaga penyiaran berbentuk badan hukum yang didirikan negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
Sementara itu, kelembagaan lembaga penyiaran swasta (LPS) atau televisi swasta diatur dalam pasal lain. Pasal 16 UU Penyiaran mendefinisikan LPS sebagai lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau televisi.
Jika berpegang dari dua definisi di atas, LPP dan LPS jelas sekali memiliki perbedaan mendasar. Menurut Ketua Panitia Khusus Undang-Undang Penyiaran 2002, sekaligus pengamat penyiaran, Paulus Widiyanto, terminologi LPP adalah jangkauan, sedangkan LPS adalah rating. Karena itulah, LPP harus mendorong munculnya partisipasi publik, bukan membuat audiens menjadi konsumen.
Dengan mengacu pada fungsinya sesuai undang-undang, maka eksistensi TVRI (dan juga RRI) bukanlah sebagai public relation atau humas pemerintah, melainkan sebagai lembaga penyiaran yang mengabdi pada kepentingan publik.
”Perspektif publiklah yang diutamakan. Kalau TVRI atau RRI menjadi humas pemerintah, tak akan ada daya kritis di sana. Lembaga ini akhirnya hanya akan menyampaikan citra-citra positif pemerintah dan daya kritisnya tumpul,” ucap Nina Mutmainah Armando, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, sekaligus pegiat Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).
Perspektif publiklah yang diutamakan. Kalau TVRI atau RRI menjadi humas pemerintah, tak akan ada daya kritis di sana.
Prinsip independensi, netralitas, dan kewajiban memberikan layanan untuk kepentingan publik merupakan keniscayaan yang melekat pada LPP, baik TVRI maupun RRI. Untuk menjamin tiga prinsip mendasar itu, LPP semestinya diatur dengan UU khusus. Sayangnya, di Indonesia LPP masih diatur jadi satu bersama lembaga-lembaga penyiaran lain dalam UU Penyiaran. Di sejumlah negara maju, keberadaan LPP diatur melalui UU tersendiri.
”Di Australia, misalnya, penyiaran publik diatur melalui ABC Act. Adapun BBC di Inggris diatur dengan Royal Charter,” kata dosen Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia sekaligus anggota Tim Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik, Masduki.
Ikut perangi hoaks
Di tengah serbuan hoaks, sejumlah LPP di Eropa rutin menggelar program periksa fakta. Dengan program ini, mereka berusaha menunjukkan komitmen melawan hoaks secara praktis dalam tayangan terstruktur. Di sinilah, peran konkret LPP untuk melayani masyarakat mendapatkan informasi yang kredibel dan berkualitas direalisasikan.
Beberapa LPP di Eropa yang berkomitmen memproduksi program periksa fakta antara lain BBC di Inggris dengan program Reality Check. Ada pula ARD di Jerman dengan faktencheck. LPP tersebut membuat program periksa fakta dengan dukungan dana dan sumber daya manusia cukup besar.
”Program ini sangat relevan untuk publik di tengah serbuan hoaks yang beredar tidak hanya di media sosial, tetapi juga di media arus utama, seperti portal berita daring, radio, dan televisi komersial,” ucap Masduki.
Layanan konten siaran yang bersifat edukatif ini mulai populer di sejumlah LPP dari berbagai belahan dunia sejak 2010. Akhir tahun lalu, program serupa mulai diadopsi LPP di Indonesia, khususnya TVRI, dengan program Verifikasi Viral.
”Dalam waktu dekat, TVRI harus mencoba ’naik kelas’ dengan mengembangkan sendiri tim jurnalis pemburu hoaks, tidak sekadar bermitra dengan Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) atau lembaga lain,” kata Masduki.
Sayangnya, kemunculan program Verifikasi Viral di TVRI telah ditutup. Setelah berjalan selama beberapa episode, TVRI menghentikannya. Pada 7 Mei 2019, episode Verifikasi Viralyang terakhir ditayangkan.
Direktur Program dan Berita TVRI Apni Jaya Putra mengungkapkan, program Verifikasi Viral dihentikan karena persoalan anggaran. ”Kami menunggu anggaran berikutnya. Format akan kami ubah. Nanti akan dibuat lebih simpel, tetapi (sisi) kreatifnya kurang lebih sama,” ucap Apni.
Program Verifikasi Viral dihentikan karena persoalan anggaran. Kami menunggu anggaran berikutnya.
Menurut dia, selain Verifikasi Viral, TVRI memiliki beberapa program edukasi untuk mengatasi hoaks dan bagaimana bersikap bijak dalam bermedia sosial. Beberapa program tersebut ialah Kreator Nongkrong dan Keluarga Medsos.
Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho berharap, di tengah kondisi saat ini, media, termasuk LPP, jangan terpancing hanya menjadi media yang pertama menampilkan berita dan mendapatkan traffic tinggi. Media mesti mengedukasi warga.
”Kita perlu ekosistem demokrasi tumbuh kembali, kepercayaan masyarakat muncul lagi. Media mesti menjadi pilar demokrasi yang mencerahkan,” katanya.
Jadi, kembali ke pertanyaan awal, adilkah membandingkan TVRI dengan televisi swasta? Melihat peran dan kedudukannya, jelas fungsi dan visi kedua lembaga penyiaran ini berbeda. Kodrat TVRI seharusnya memang untuk pelayanan publik, bukan sekadar mengejar rating, popularitas, ataupun iklan.