Menagih Komitmen Pemberantasan Kasus Perdagangan Orang
Kasus perdagangan orang terus terjadi menggunakan beragam modus, dengan sasaran terutama perempuan dan anak perempuan. Untuk mencegahnya, pemahaman aparat penegak hukum dan komitmen para pihak terkait sangat menentukan.
Kasus perdagangan orang dengan berbagai modus terus terjadi. Lemahnya penegakan hukum, membuat sindikat perdagangan orang terus beroperasi, mengincar para korban terutama perempuan dan anak-anak perempuan di pelosok daerah.
Perempuan dan anak-anak masih menjadi kelompok yang rentan menjadi korban kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Ini seperti terjadi dalam kasus TPPO bermodus pengantin pesanan dari Cina. Pada 2019 lebih dari 50 perempuan, termasuk anak perempuan dari berbagai daerah yang menjadi korban dipulangkan ke Tanah Air.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pada periode 2011–2013, dari 509 kasus TPPO yang tercatat, 55,36 persen (418 orang) terjadi pada perempuan dewasa. Kasus terbanyak kedua terjadi pada anak perempuan, yakni sebesar 28,87 persen (218 orang). Sejak 2014 hingga Oktober 2018 terdapat 1.911 perempuan dan 335 anak korban TPPO
“Kita sering melupakan TPPO yang melibatkan korban anak, dan menganggap bahwa itu kasus kekerasan pada anak. Padahal prostitusi anak seharusnya masuk dalam TPPO. Data menunjukkan 30 persen dari pekerja seksual komersial di Indonesia berusia anak,” Ketua Jaringan Nasional (JarNas) Anti TPPO Rahayu Saraswati Djojohadikusumo di Jakarta, Senin (13/1/20120).
Baca juga: Jokowi: Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Anak Harus Komprehensif
Untuk mencegah dan memberantas TPPO, sejak 11 tahun lalu pemerintah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PP TPPO). “(Namun) selama ini Gugus Tugas PP TPPO tidak berjalan maksimal,” kata Rahayu Saraswati.
Tidak optimalnya Gugus Tugas PP TPPPO karena sejumlah faktor. Salah satunya adalah tidak ada data yang lengkap tentang kasus TPPO yang terjadi di Indonesia. Data yang ada hanya berdasar kasus-kasus yang ditangani kepolisian. Gugus Tugas tengah bekerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) atau Organisasi Internasional untuk Migrasi terkait pemutakhiran database dan mekanisme pendataan kasus-kasus TPPO.
Pemerintah dan aparat penegak hukum juga dinilai belum serius menghentikan sindikat-sindikat TPPO yang sudah diketahui beroperasi di Indonesia. Buktinya, kasus TPPO terus saja terjadi, seperti pada kasus pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal. Pada Oktober 2019, misalnya, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menggagalkan pemberangkatan 48 warga negara Indonesia yang hendak dijadikan pekerja migran di wilayah Timur Tengah secara ilegal.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu daerah asal pekerja yang dikirim ke luar negeri secara ilegal. Gabriel Goa, Direktur Advokasi Parinama Astha di Jakarta, mengatakan, sepanjang tahun 2019 ada 122 jenasah pekerja migran Indonesia asal NTT yang dipulangkan dari luar negeri, sebagian besar pengirimannya ke luar negeri secara ilegal.
Baca juga: 966 Calon TKI Ilegal Asal NTT Berhasil dicegah di Bandara Kupang
Penegakan hukum atas kasus-kasus TPPO juga tidak bisa berjalan sesuai harapan karena pemahaman aparat penegak hukum terhadap permasalahan TPPO masih kurang. Sekretaris KPPPA Pribudiarta Nur Sitepu saat membuka Pelatihan Penanganan TPPO bagi Aparat Penengak Hukum Tahun 2019 Angkatan II di Batam, Juli 2019, mengatakan, implementasi berbagai peraturan dan kebijakan dalam penegakan hukum kasus TPPO masih menjadi tantangan.
Penegakan hukum masih kurang memberi efek jera bagi pelaku TPPO dan kurang memenuhi rasa keadilan bagi korban yang sebagian besar perempuan dan anak perempuan. Hal ini disebabkan perbedaan pemahaman aparat penegak hukum tentang hak asasi manusia, norma jender dan TPPO yang diatur dalam Palermo Statuta, CEDAW, Konvensi Hak Anak (CRC), UU Perlindungan Anak, dan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Penegakan hukum masih kurang memberi efek jera bagi pelaku TPPO dan kurang memenuhi rasa keadilan bagi korban yang sebagian besar perempuan dan anak perempuan.
Kondisi tersebut tentu saja menjadi tantangan besar bagi Indonesia dalam mencegah dan memberantas TPPO. Sementara ancaman TPPO terus membayangi perempuan dan anak-anak perempuan di Tanah Air.
Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Anwar Ma\'arif memperkirakan kasus TPPO modus pengantin pesanan masih terus terjadi. Bahkan SBMI menduga ada perluasan perekrutan oleh jaringan sindikat pelaku. Jika sebelumnya, korban yang disasar paling banyak berasal dari Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jakarta, belakangan ini, jaringan pelaku mulai beroperasi di Jawa Timur dan Lampung. Tujuan pengiriman pengantin pesanan paling banyak ke Provinsi Heibei dan Heinan, China.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maryati Solihah membidangi Trafficking dan Eksploitasi Anak menilai TPPO modus pengantin pesanan terus terjadi dan menimpa anak-anak antara lain karena situasi ekonomi yang rentan dari keluarga korban, yang menginginkan ada perbaikan taraf kehidupan ekonomi.
Baca juga: Minimnya Lapangan Kerja Jadi Faktor Utama Perdagangan Anak
Restitusi sulit dieksekusi
Sementara itu, ketika kasus TPPO masuk ke pengadilan, selain mendapatkan hak keadilan atas kasus yang menimpanya, korban juga berhak mendapatkan ganti rugi atas kasus yang dialami melalui pembayaran restitusi dari pelaku. Namun, sejauh ini meskipun ada putusan pengadilan memenangkan korban dan ada perintah kepada terdakwa/terpidana untuk membayar restitusi kepada korban, kenyataannya tidak semudah itu realisasi di lapangan.
“Putusan pengadilan tidak punya daya eksekusi, begitu juga dengan proses penyidikan dan pengadilan, tidak punya daya untuk mengusai buku rekening bank milik pelaku. Jadi menang di atas kertas saja,” kata Bobi.
Contoh kasus tahun 2019, ketika ada vonis Pengadilan Jakarta Timur atas kasus TPPO bermodus penempatan pekerja migran Indonesia ke Libya, korban seharusnya mendapat restitusi sebesar Rp 50 juta. Namun putusan itu tidak bisa di eksekusi.
Sulitnya merealisasikan pembayaran restitusi terhadap korban TPPO terungkap dalam Catatan Awal Tahun 2020 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), awal Januari 2020. Sepanjang 2019, dari 21 perkara dan 44 korban terlindung, berdasarkan perhitungan total pembayaran restitusi sekitar Rp 2,923 miliar. Putusan restitusi yang dikabulkan hanya untuk 6 perkara senilai Rp 1,178 miliar, dan yang masih dalam proses peradilan 13 perkara (Rp 813 juta). Ada juga yang ditolak pembayaran restitusinya.
Akan tetapi, meski sudah ada putusan pengadilan, kenyataannya sepanjang 2019 pembayaran restitusi kepada korban yang benar-benar direalisasikan hanya sekitar Rp 15.600.000. Pembayaran restitusi ini untuk 2 kasus TPPO di Kupang dan Soe, Nusa Tenggara Timur.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS Wibowo menyatakan pembayaran restitusi terkendala karena sejumlah faktor, seperti belum semua aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) memahami bahwa restitusi merupakan hak korban tindak pidana.
“Kasus TPPO kadang terbukti sebagai pelanggaran UU PPMI (Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) dan aparat penegak hukum belum memahami bahwa korban pelanggaran UU PPMI pun berhak atas restitusi juga,” kata Antonius.
Aparat penegak hukum belum memahami bahwa korban pelanggaran UU PPMI pun berhak atas restitusi juga.
Selain itu, belum ada petunjuk teknis terkait sita aset dalam perkara TPPO, sehingga jaksa tidak bisa melakukan penyitaan harta terpidana. Belum lagi, karena bukti-bukti yang diajukan korban tidak lengkap atau kurang lengkap sehingga tidak meyakinkan hakim. Kendala lain juga dari pelaku (terpidana) yang kemampuan finansial berbeda-beda. Apalagi, dalam kasus TPPO rata-rata pelaku yang diproses hukum adalah operator lapangan seperti perekrut dan penampung yang merupakan perorangan dari masyarakat golongan ekonomi biasa.
Melihat situasi dan kondisi tersebut, maka mencegah dan memberantas TPPO, termasuk mewujudkan pembayaran restitusi bagi korban, masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Sosialisasi
Bagaimana mencegah dan memberantas TPPO, sejauh ini sejumlah upaya dilakukan pemerintah. Deputi Perlindungan Hak Perempuan KPPPA Vennetia R Danes menyatakan selain intensif melakukan sosialisasi untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang modus-modus baru yang berkembang, bahaya dan dampaknya, pencegahan upaya TPPO berbasis masyarakat di wilayah rawan TPPO terus dilakukan.
Di daerah-daerah yang menjadi sasaran pelaku TPPO seperti modus pengantin pesanan, perlu ada sosialiasi secara khusus kepada masyarakat setempat tentang modus TPPO berkedok perkawinan atau pengantin pesanan. Masyarakat harus diyakinkan agar tidak mudah tepedaya dengan iming-iming hidup bahagia di China. Begitu juga dengan tawaran pekerja dengan menjadi pekerja migran Indonesia di luar negeri, masyarakat sampai di tingkat desa harus diberikan edukasi agar tidak mudah percaya, apalagi jika ada perempuan yang masih berusia anak-anak yang direkrut bekerja di luar negeri.
Komitmen
Selain penegakan hukum yang memberikan efek jera kepada pelaku, solusi lain yang perlu dilakukan adalah pengawasan ketat proses pengurusan paspor di imigrasi. Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM harus lebih ketat mengawasi proses pengajuan paspor. Misalnya jika ada permohonan paspor yang bukan berasal dari wilayah di kantor imigrasi yang bersangkutan, apalagi asal daerah nya jauh, maka perlu dipertanyakan. Begitu pula, jika yang mengajukan dicurigai masih berusia anak-anak dan tidak didampingi keluarga langsung, maka pengajuan paspornya perlu diteliti lebih lanjut.
Komitmen lembaga seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil juga sangat penting, agar tidak ada lagi oknum yang diduga terlibat dengan jaringan TPPO menerbitkan dokumen kependudukan dengan mengubah identitas sejumlah perempuan, seperti yang terjadi dalam kasus modus pengantin pesanan dan pengiriman pekerja migran Indonesia.
Di luar upaya tersebut, upaya diplomasi dengan negara tujuan juga menjadi penting, agar sejumlah perempuan dan anak yang menjadi korban TPPO bisa dipulangkan ke Tanah Air.
Kendati sudah ada upaya-upaya tersebut, pencegahan dan pemberantasan TPPO akan tetap menjadi pekerjaan rumah yang berat, jika semua pihak berjalan sendiri-sendiri. Maka sinergi semua pihak dan komitmen yang kuat dan aksi konkret menjadi kunci pencegahan dan pemberantasan TPPO. (YOVITA ARIKA)