Pelaku Pendidikan Nonformal Minta Audiensi dengan Mendikbud
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –Penghilangan pendidikan masyarakat dari nomenklatur dikhawatirkan mematikan praktik pendidikan kesetaraan dan pemberdayaan di akar rumput. Karena itu, para pelaku pendidikan nonformal meminta audiensi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim untuk membahas perubahan nomenklatur, tugas pokok, dan fungsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan periode 2019-2024
Permintaan tersebut dikemukakan perwakilan dari komunitas pendidikan masyarakat ketika melakukan rapat dengan pendapat dengan Komisi X DPR RI di Jakarta, Selasa (14/1/2020). Acara itu dipimpin oleh Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
“Kami sudah melayangkan permintaan audiensi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sebanyak tiga kali, tetapi tidak ditanggapi, termasuk ketika para pelaku dan pegiat pendidikan masyarakat berunjuk rasa di depan gedung Kemendikbud pada tanggal 8 Januari lalu,” kata perwakilan pelaku pendidikan masyarakat Zulkifli Adam.
Kami sudah melayangkan permintaan audiensi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sebanyak tiga kali, tetapi tidak ditanggapi.
Mereka mempersoalkan Peraturan Presiden 82/2019 yang diturunkan menjadi Peraturan Mendikbud 45/2019 tentang restrukturisasi di dalam Kemendikbud. Untuk melakukan efisiensi birokrasi, ada beberapa direktorat jenderal (ditjen) yang dilebur.
Pada periode 2014-2019 Kemendikbud memiliki Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD Dikmas). Unit itu membawahi pendidikan kesetaraan, keaksaraan, keluarga, dan kursus. Selain itu, ada Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) yang menaungi sekolah formal, yaitu Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Data Pokok Pendidikan Kemendikbud tahun 2019 mencatat ada 9.232 PKBM di Indonesia. Jumlah peserta didik kesetaraan atau yang belajar Kejar Paket A, B, dan C ada 1.315.696 orang, sementara peserta didik keaksaraan atau program pemberantasan buta huruf ada 69.384 orang.
Berdasarkan Peraturan Mendikbud 45/2019 akan dibentuk Ditjen Vokasi yang membawahkan SMK, politeknik, dan kursus berupa keterampilan kerja. Selain itu, Ditjen PAUD Dikmas akan dilesapkan dan diganti menjadi Ditjen PAUD Dikdasmen.
Rencana tersebut menuai polemik karena pendidikan masyarakat hilang dari nomenklatur. Tanpa ada nomenklatur tidak ada kejelasan aturan kinerja, indikator standar capaian, pelaporan, hingga penjaminan anggaran.
“Jika di pusat tidak jelas sistemnya, apalagi di lapangan, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), tempat kursus terakreditasi, rawan tidak mendapat perhatian dan bantuan dari pemerintah daerah. Kalau begini, tujuan mencerdaskan masyarakat dan makna merdeka belajar yang sejati tidak akan tercapai. Malahan inovasi berbagai PKBM dan pemberdayaan masyarakat bisa dimatikan,” papar Zulkifli.
Cakupan amat luas
Guru Besar Kebijakan Pendidikan Nonformal Universitas Negeri Yogyakarta Yoyon Suryono memaparkan, apabila pendidikan masyarakat digabung di bawah Ditjen PAUD Dikdasmen, yang tercakup hanya pendidikan kesetaran Kejar Paket A, B, dan C, bagi anak-anak usia sekolah. Padahal, pendidikan kesetaraan cakupan aslinya amat luas karena tak memandang batas usia dan waktu belajar.
Selain itu, meskipun Kejar Paket A setara dengan ijazah SD, pemelajarannya merangkap berbagai hal kecakapan hidup karena peserta didiknya sudah berusia dewasa. Oleh sebab itu, guru yang bertanggung jawab pun harus disiapkan secara khusus. Beban ini tidak bisa dibebankan kepada sumber daya pendidikan formal karena kebutuhan belajar, indikator hasil, dan teknik belajarnya khusus.
Menanggapi penjelasan dari pelaku dan penggiat pendidikan masyarakat, anggota Komisi X dari Fraksi Partai Amanat Nasional Zainuddin Maliki berpendapat Kemdikbud semestinya tak berniat buruk menghilangkan pendidikan masyarakat dari nomenklatur. “Tampaknya niat untuk efisiensi dilakukan secara keliru, tetapi bisa diperbaiki apabila DPR RI menjembatani dialog warga dengan Kemendikbud. Peraturan Presiden dan Permendikbud tetap masih bisa diubah sampai ada keputusan definitif,” ujarnya.