Pelajaran dari Putusan Pengadilan di Inggris dalam Kasus Reynhard
Dari kasus Reynhard, ada pelajaran yang bisa dipetik masyarakat Indonesia, yakni kekerasan seksual merupakan kejahatan yang pelakunya bisa dihukum berat, seperti yang terjadi di Inggris.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Kasus pemerkosaan yang berujung pada putusan pengadilan Manchester Crown di Inggris yang menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap mahasiswa asal Indonesia, Reynhard Sinaga (36), viral di media sosial ataupun media arus utama di Tanah Air. Kendati tidak terjadi di Indonesia, kasus kekerasan seksual tersebut mengundang perhatian dan komentar publik.
Seperti pemberitaan kasus kekerasan seksual lainnya, tak hanya kehidupan pribadi, dalam kasus Reyhard, kehidupan keluarga ataupun institusi pendidikan yang bersangkutan juga ikut terseret dalam pusaran berita. Kasus tersebut pun menjadi perbincangan di masyarakat, seiring munculnya berbagai pertanyaan-pertanyaan terkait profil pribadi yang bersangkutan, terutama pertanyaan ”Mengapa yang bersangkutan sampai melakukan kejahatan seperti itu dan apa yang salah dalam kehidupannya?”.
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, dari kasus Reynhard, sebenarnya ada pelajaran yang bisa dipetik masyarakat Indonesia, yakni kekerasan seksual merupakan kejahatan yang pelakunya bisa dihukum berat, seperti yang terjadi di Inggris.
Tak hanya itu, ada hal yang dilakukan di Inggris yang bisa dicontoh Indonesia. Misalnya, terungkapnya kasus Reynhard karena di Universitas Manchester ada layanan pengaduan melalui telepon, yang menawarkan dukungan untuk korban kekerasan seksual ataupun bagi mereka yang terdampak. Mereka yang merasa menjadi korban dapat melaporkan kasusnya melalui layanan pengaduan tersebut.
Ini berbeda dengan kondisi di Indonesia. Selama ini, kasus-kasus kekerasan seksual yang lebih banyak terjadi kepada perempuan dan anak, termasuk anak laki-laki, justru sering tenggelam begitu saja dan sulit terungkap. Ketika masuk proses hukum, hal itu belum tentu akan memberi keadilan kepada korban.
Sistem hukum
Penegakan hukum yang berpihak kepada korban menjadi kunci dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (Kompaks) menilai kasus Reynhard Sinaga yang terjadi di Inggris dapat menemui titik terang karena sistem hukum di negara tersebut mengakomodir penanganan kasus kekerasan seksual.
”Sementara, di Indonesia, korban kekerasan seksual pada umumnya disalahkan (victim blaming), mengalami intimidasi, sampai dengan impunitas pelaku,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ricky Gunawan, yang juga dari Kompaks, di Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Sejauh ini, di Indonesia, proses hukum untuk kasus kekerasan seksual dinilai belum memberikan rasa keadilan bagi korban. Tidak banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir di pengadilan.
Di Indonesia, proses hukum untuk kasus kekerasan seksual dinilai belum memberikan rasa keadilan bagi korban.
Dari Catatan Akhir Tahun 2019, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, misalnya, dari 148 laporan kasus kekerasan seksual yang diterima LBH APIK Jakarta sepanjang 2019, hanya enam kasus yang sudah diputus di pengadilan. Sebanyak 16 kasus lain masih dalam proses litigasi dan sisanya mendapatkan layanan nonlitigasi, seperti konsultasi atau dirujuk ke lembaga layanan lainnya.
Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta Uli Pangaribuan mengungkapkan, untuk kasus kekerasan seksual, terutama yang menimpa perempuan dewasa, kendalanya adalah sikap polisi yang menganggap hubungan seksual terjadi atas dasar suka sama suka saat tidak ada unsur kekerasan. Dalam beberapa kasus, polisi berkali-kali menyarankan korban untuk mencabut laporannya.
Karena itu, selain menilai perlunya dibentuk layanan pengaduan kekerasan seksual di Indonesia, Kompaks juga mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Viralnya berita Reynhard mengundang reaksi dan tanggapan masyarakat yang beragam, disertai sejumlah pertanyan yang menjurus pada hal-hal terkait seksualitas. Bahkan, ada yang sampai masuk pada pembahasan soal orientasi seksual, yang bisa menimbulkan stigma baru terhadap kelompok-kelompok tertentu berdasarkan latar belakang pelaku.
Mamik Sri Supatmi, pengajar Kriminologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengingatkan bahwa pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja. ”Jadi, tidak lantas dilekatkan secara sembrono kepada orang-orang dengan identitas seksual (tertentu). Sebab, dengan mudah kita dapat menemukan data pelaku kekerasan seksual heteroseksual jauh lebih banyak,” katanya.
Pelaku kekerasan seksual bisa siapa saja. Jadi, tidak lantas dilekatkan secara sembrono kepada orang-orang dengan identitas seksual (tertentu).
Mantan Komisioner Komnas Perempuan Budi Wahyuni menilai, dalam kasus kekerasan seksual, perlu ditelusuri lebih jauh latar belakang pelaku. Misalnya, pelaku kemungkinan pernah menjadi korban kekerasan seksual dan tidak pernah melewati pemulihan atas trauma yang dialaminya.
”Seorang korban, jika tidak ada pendampingan, yang terjadi adalah dendam berkepanjangan,” ujar Budi yang mengingatkan urgensi pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena RUU tersebut juga mengatur pemulihan dan rehabilitas terhadap korban.
Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, di Indonesia hingga kini ada sejumlah anak berhadapan dengan hukum yang menjalani proses rehabilitasi di panti rehabilitasi Kementerian Sosial. Sejumlah anak menjadi pelaku kekerasan seksual setelah sebelumnya menjadi korban, tetapi tidak melewati pemulihan.
Di tengah bergulirnya pemberitaan kasus Reynhard, pihak media juga diminta agar publikasi terkait kasus tersebut memberikan edukasi kepada masyarakat, bukan sebaliknya mengungkap hal-hal yang seharusnya tidak perlu menjadi konsumsi publik. ”Pemberitaan seharusnya fokus kepada kasus, mengapa sampai terjadi dan bagaimana pencegahannya. Termasuk menelusuri akar masalah mengapa kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual kerap terjadi,” tutur Ricky.