Penangkapan Sudarto, aktivis kebebasan beragama/berkeyakinan dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara sekaligus pembungkaman terhadap suara kritis dan demokrasi.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kalangan menyesalkan tindakan Kepolisian Daerah Sumatera Barat menangkap Sudarto, seorang aktivis kebebasan beragama atau berkeyakinan di Sumatera Barat, Selasa (7/1/2020). Meski pengajuan penangguhan penahanan Sudarto akhirnya dikabulkan oleh Polda Sumatera Barat, namun penangkapan tersebut dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara sekaligus pembungkaman terhadap suara kritis dan demokrasi.
Sudarto adalah Manajer Program Pusaka Foundation Padang. Selama ini ia aktif melakukan advokasi terhadap kepentingan kelompok-kelompok minoritas di Sumatera Barat.
Pada 2019, Sudarto menunjukkan intensitas advokasinya dengan memberikan informasi faktual mengenai restriksi atas hak-hak konstitusional warga minoritas Kristiani di Sumbar. Terakhir, kasus pelarangan perayaan Natal di Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya pada akhirnya kondusif karena kontribusi banyak pihak, antara lain Sudarto dan Pusaka.
Sayangnya, pembelaan intensif yang dilakukan Sudarto dengan memobilisasi dukungan gerakan pro demokrasi dan pejuang hak asasi manusia itu justru berujung pada kriminalisasi atas dirinya. Pada, Selasa (7/1), Polda Sumbar justru menangkap Sudarto dan menetapkannya sebagai tersangka.
Pembelaan intensif yang dilakukan Sudarto dengan memobilisasi dukungan gerakan pro demokrasi dan pejuang hak asasi manusia itu justru berujung pada kriminalisasi atas dirinya.
Penangkapan tersebut dilakukan dalam rangka penyidikan dugaan tindak pidana kejahatan dunia maya dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA melalui akun Facebook Sudarto.
Menyikapi hal ini, Rabu (8/1), Jaringan Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan menyampaikan tiga desakan, pertama sangat menyesalkan penangkapan Sudarto karena hal ini merupakan bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara sekaligus pembungkaman terhadap suara kritis dan demokrasi.
Sebagai pembela hak-hak konstitusi yang terdapat dalam UUD 1945, negara harusnya melindungi Sudarto, bukan malah mengkriminalisasi. Apa yang dilakukan Sudarto pada dasarnya merupakan bentuk tanggung jawabnya sebagai warga negara untuk ikut mengawasi pelayanan publik yang menjadi tugas negara.
Kedua, Jaringan Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan juga mendesak Kapolri memerintahkan Polda Sumatera Barat membebaskan Sudarto dan menghentikan perkara karena apa yang dilakukannya merupakan bentuk pembelaan terhadap hak-hak konstitusional warga negara khususnya hak atas kemerdekaan beragama atau berkeyakinan, serta bentuk dari kemerdekaan berekspresi dan berpendapat.
Ketiga, jaringan ini juga mendesak Polda Sumatera Barat untuk menjamin keamanan dan keselamatan Sudarto dan keluarganya dari segala bentuk tindakan melawan hukum seperti persekusi, ujaran kebencian, intimidasi dan lain sebagainya. Jaringan Pembela Hak Konstitusional Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan terdiri dari 35 lembaga dan 55 individu.
Beberapa organisasi yang tergabung, antara lain Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Aliansi Jurnalis Independen, Aliansi Sumut Bersatu, BEM Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, LBH Jakarta, dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Lebih obyektif
Pernyataan lain juga muncul dari SETARA Institute. Menurut Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institute, tindakan kriminalisasi tersebut, apalagi penahanan terhadap Sudarto, nyata-nyata menunjukkan arogansi kepolisian dalam menggunakan kewenangan polisionalnya untuk membungkam kritik dan pembelaan atas kelompok minoritas.
“Polisi mestinya lebih obyektif melihat fakta restriksi terhadap hak-hak minoritas di Sumatera Barat seperti yang selama ini disuarakan oleh Sudarto,” ucapnya.
SETARA berpendapat, kriminalisasi atas Sudarto merupakan serangan secara terbuka terhadap pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas untuk beragama dan beribadah secara merdeka, sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Kriminalisasi atas Sudarto merupakan serangan secara terbuka terhadap pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas untuk beragama dan beribadah secara merdeka.
Upaya advokasi dan pembelaan yang dilakukan Sudarto selama ini merupakan tindakan yang semestinya mendapat dukungan dari aparatur pemerintah. Sebab, pembelaan demikian merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil untuk memajukan jaminan konstitusional kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah kondisi lemahnya kapasitas aparat untuk melayani dan melindungi minoritas untuk menikmati hak-hak konstitusionalnya.
Setelah sempat menahan Sudarto selama sehari, pada Rabu (8/1), Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumbar, Komisaris Besar (Pol) Juda Nusa Putra akhirnya melayangkan Surat Perintah Pelepasan Tersangka Sudarto. Surat tersebut diterima Sudarto pukul 13.00.