Pengungkapan komplek kubur kuno di Situs Lambanapu, Desa Lambanapu, Kecamatan Kambaniru, Sumba Timur bukan semata-mata aktivitas penelitian arkeologis belaka. Bagi masyarakat setempat, situs tersebut memiliki makna mendalam yang menegaskan akar awal pertumbuhan ke-Indonesiaan.
Para peneliti telah menemukan 53 individu yang dikuburkan tanpa wadah di situs tersebut. Mereka juga menemukan 52 tempayan yang berfungsi sebagai wadah kubur. Pada tempayan-tempayan kubur itu, arkeolog menemukan sejumlah bekal kubur berupa gelang dari tanduk dan kerang, juga Mamuli dan Lulu Amah yang berfungsi sebagai belis atau mas kawin dalam pernikahan adat serta upacara adat kematian Sumba yang tradisinya masih berlanjut sampai sekarang.
Keberadaan kubur komunal tersebut menggambarkan bagaimana dahulu kala sekitar periode 3.500-3.000 tahun yang lalu, leluhur masyarakat Sumba telah merawat nilai-nilai persaudaraan, kebersamaan, dan gotong-royong, dan solidaritas.
“Mereka telah menerapkan kearifan-kearifan lokal dengan menetapkan lokasi pinggir Sungai Kambaniru sebagai tempat hunian untuk mempermudah mendapatkan pasokan air. Hunian mereka berada di pinggir Sungai Kambaniru tua yang alirannya kemudian berubah arah. Bekas sungai itu masih terlihat hingga sekarang,”kata arkeolog senior Prof Harry Truman Simanjuntak, akhir Desember lalu saat peluncuran Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur di Sumba Timur, NTT.
Selain dekat dengan sumber air, para penghuni Lambanapu juga pintar memilih tempat tinggal yang indah. Dari Lambanapu tampak berjajar Pegunungan Seribu di seberang sungai. Di belakangnya terdapat Bukit Persaudaraan yang tak kalah indahnya.
Ras Campuran
Jika ditilik dari ciri-ciri fisik individu-individu yang terkubur di situs tersebut, para peneliti meyakini bahwa leluhur masyarakat Sumba berasal dari ras campuran Australomelanesid dan Mongoloid. “Pada masa itu, sudah terjadi percampuran antar ras. Sampai sekarang, tidak ada lagi ras yang murni di Indonesia. Semua sudah bercampur,”tambah Truman.
Hal menarik lain dari temuan para arkeolog adalah, di situs tersebut ditemukan wadah kubur yang dibuat bukan dari tembikar, melainkan dari perunggu sebagai tempat menaruh tulang-tulang manusia. Keberadaan wadah kubur berbentuk semacam baskom logam tersebut menandakan bahwa para penghuni Lambanapu sudah berinteraksi dengan dunia luar.
Seperti diketahui, tradisi pembuatan logam pada masa itu berkembang di daerah Dongson, Vietnam Utara. Dengan demikian, diperkirakan sudah ada perdagangan internasional dari Vietnam ke Sumba sekitar 3.500-3.000 tahun yang lalu.
Selain itu, keberadaan wadah kubur berupa baskom logam juga menandakan adanya stratifikasi sosial di masyarakat masa itu. Ini adalah bentuk konsepsi kepercayaan dalam memuliakan leluhur yang berkembang dahulu.
Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi mengatakan, ekskavasi Situs Lambanapu mengingatkan kembali kepada siapapun bahwa kebinekaan sudah dihidupi sejak era nenek moyang dahulu kala. “Kehidupan kita sekarang semestinya tidak terlepas dari masa lalu,”kata dia.
Sebagai langkah konkrit pascaekskavasi, Pemprov NTT bekerja sama dengan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengembangkan Situs Lambanapu sebagai Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur. Pengembangan Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur ini menggunakan konsep membumi atau menyatu dengan kekhasan identitas masyarakat setempat.
Pembentukan Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur merupakan kelanjutan dari penelitian Puslit Arkenas yang dirintis sejak 1978 oleh begawan arkeologi Indonesia sekaligus Kepala Puslit Arkenas, almarhum RP Soejono yang kemudian dilanjutkan secara intensif pada 1980, 1982, dan 1989.
Balai Arkeologi Bali yang merupakan Unit Pengelola Teknis di bawah Puslit Arkenas melanjutkan penelitian ini secara simultan pada 1990-2006. Pada 2016 hingga 2019, Puslit Arkenas kembali meneruskan penelitian di Situs Lambanapu
”Kami tidak akan membuat bangunan megah ataupun museum di situs ini yang nantinya justru mangkrak, masyarakat tergusur, dan mereka tidak mendapatkan apa-apa. Pusat Studi dan Rumah Peradaban ini biarlah menyatu dengan masyarakat dan budayanya,” kata Kepala Puslit Arkenas I Made Geria.
Keberadaan Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur di Situs Lambanapu memberikan penegasan bagaimana awal mula akar ke-Indonesiaan terbentuk. Seperti daerah-daerah lainnya, Sumba Timur turut menyumbang dan membentuk fondasi ke-Indonesiaan.