Perempuan Jurnalis Bisa Apa?
Disadari atau tidak, belakangan di media massa Tanah Air banyak muncul pemberitaan yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Ironisnya, pemberitaan seperti itu umumnya menarik banyak perhatian.
Disadari atau tidak, belakangan di media massa Tanah Air banyak muncul pemberitaan yang mengeksploitasi tubuh perempuan. Ironisnya, pemberitaan seperti itu umumnya menarik banyak perhatian. Terhadap hal-hal seperti itu, perempuan jurnalis bisa apa?
Apakah menulis kecantikan atau kegantengan itu salah? Kesalahan ada di sudut pandang pemberitaan. Seharusnya orang tidak digiring pada kecantikan atau kegantengan fisik, tetapi capaian atau kinerja sosok tersebut.
Hal-hal yang tampak sepele itu menjadi salah satu pembicaraan dalam Asia Pacific Female Journalists Exchange Program, 1-3 Desember 2019 di Tokyo, Jepang. Hadir dalam acara itu puluhan perempuan jurnalis dari belasan negara Asia Pasifik.
Bahasan lain adalah adanya jurnalis yang merasa dieksploitasi kecantikannya agar mudah mendapatkan informasi dari narasumber. Di lain pihak, ada juga jurnalis harus berjuang menjadi ”seperti pria” agar diakui berkinerja baik. Dari pertemuan itu, muncul pemahaman bersama bahwa kesadaran jender belum seluruhnya dipahami masyarakat.
Bahkan, hal itu juga terjadi di perusahaan media tempat perempuan jurnalis bekerja. ”Untuk mengajak orang sadar jender memang tidak mudah. Saya rasa, mari kita mulai dari perusahaan media kita masing-masing, baru kemudian menyebarkannya kepada masyarakat,” kata Ayako Kumei, jurnalis International News Division NHK Japan Broadcasting Corporation.
Ayako menceritakan, dirinya sudah 21 tahun bekerja sebagai jurnalis. Selama itu pula, ia melihat perempuan jurnalis harus bekerja keras untuk diakui mampu berkarya seperti pria jurnalis. ”Saya juga melalui proses bekerja hingga pukul 03.00 dini hari untuk membuktikan saya mampu. Namun, setelah saya menikah dan punya anak, saya memutuskan tidak harus seperti itu untuk diakui mampu berkarya dengan baik,” katanya.
Bersuara
Ayako akhirnya mampu menyuarakan budaya kerja yang lebih ramah bagi jurnalis yang juga seorang ibu, yaitu pulang sebelum petang. Kalaupun dia harus pulang larut, itu karena pilihannya, bukan karena tekanan di tempat kerja. Ayako juga bisa membuktikan kepada pimpinannya bahwa pulang lebih awal tidak mengganggu kinerjanya. Hal itu pula yang ditekankan Ayako kepada perempuan yang jadi anak buahnya.
Sementara itu, Janet McIntyre, perempuan jurnalis asal TV New Zealand, menuturkan, perusahaannya sudah berusaha memenuhi target 50:50, yaitu 50 persen pria jurnalis dan 50 persen perempuan jurnalis. ”Ini tentu bukan hanya soal jumlah, tetapi juga tentang kemampuan. Hanya mereka dengan kemampuan yang bagus yang akan mendapat posisi bagus,” kata Janet. Janet mengatakan bahwa pemimpin perusahaan tempatnya bekerja adalah seorang perempuan.
Dengan jumlah kuota perempuan setara dengan pria, menurut dia, arah kebijakan pemberitaan pun akan lebih sensitif jender. Pernyataan Janet tersebut mengundang harap bagi salah seorang jurnalis Jepang. ”Wah, jika di tempat saya bisa seperti itu, perempuan jadi pemimpin, tentu akan menyenangkan sekali,” ujarnya.
Budaya baru
Menteri Pemberdayaan Perempuan Jepang Seiko Hashimoto dalam penutupan acara mengatakan, jurnalis berperan besar menyebarluaskan informasi tentang kesetaraan jender kepada masyarakat luas, melintasi batas negara. ”Harapannya, akan terbangun jaringan kerja di antara perempuan jurnalis untuk saling mendukung dan mengusung kesetaraan jender,” katanya.
Adapun Kaori Hayashi dari Universitas Tokyo berharap ada penguatan peran perempuan jurnalis di tempatnya bekerja. Ke depan, perempuan jurnalis diharapkan bisa duduk di level manajemen sehingga bisa turut mengambil keputusan penting di perusahaan.
”Dengan demikian, isu-isu terkait jender akan semakin bisa terangkat ke permukaan dan tidak bias,” ujar Hayashi. Kesepahaman bersama tentang pentingnya meningkatkan peran perempuan jurnalis di antara perempuan jurnalis sendiri, menurut Hayashi, cukup penting. Ini membuat sesi berbagi pengalaman pada acara itu harus dimanfaatkan menjadi semacam ajang membangun kultur baru di antara perempuan jurnalis.
Direktur Jenderal Biro Kesetaraan Jender Kantor Kabinet Jepang Toshie Ikenaga mengatakan, program bertukar pengalaman dan informasi dalam Asia Pacific Female Journalists Exchange Program 2019 itu, antara lain, bertujuan mendorong kultur kesetaraan jender di Asia Pasifik, yang dimulai dari perusahaan media.
”Mungkin ini bermula dari dunia jurnalistik. Namun, ke depan, harapannya kesetaraan jender akan meluas ke perusahaan swasta dan masyarakat umum. Kami membayangkan isu peningkatan peran perempuan akan dinaikkan oleh media dan akan mendorong kesadaran jender di masyarakat,” tutur Ikenaga.
Dari 44,2 persen jumlah perempuan pekerja di Jepang, hanya 14,9 persen yang menduduki posisi manajerial.
Dalam buku Data dan Fakta Perempuan dan Pria di Jepang tahun 2019 yang dikeluarkan Biro Kesetaraan Jender Kantor Kabinet Jepang, tampak bahwa proporsi perempuan pekerja dan perempuan dalam posisi manajerial masih menunjukkan kesenjangan cukup tinggi. Dari 44,2 persen jumlah perempuan pekerja di Jepang, hanya 14,9 persen yang menduduki posisi manajerial.
Apa pentingnya mendorong perempuan jurnalis bisa ikut dalam pembuatan kebijakan di dewan redaksi? Salah satunya adalah agar bisa melengkapi pemberitaan dari sudut pandang perempuan serta mampu terus menyuarakan hak dan kebutuhan perempuan. Hak dan kebutuhan perempuan pun dinilai berbeda-beda, tergantung kondisi setempat. Di India, misalnya, potret ketidakberdayaan perempuan bisa diwakili oleh sebuah toilet.
”Di tempat saya, bicara soal menyediakan toilet aman bagi perempuan saja masih harus terus dilakukan,” kata Vidya Iyengar, perempuan jurnalis asal Bangalore, India. Sejak 2014, India berjuang memenuhi ketersediaan toilet di setiap rumah. Hal itu dilakukan oleh Perdana Menteri Narendra Modi dengan program Clean India.
”Kini, yang harus didorong adalah agar perempuan India mulai membiasakan diri pergi ke toilet tertutup di dalam rumahnya. Sebab, itu lebih aman juga higienis,” kata Vidya. Persoalan spesifik dalam penyediaan infrastruktur toilet bagi keamanan perempuan, menurut jurnalis The New Indian Express tersebut, masih menjadi satu hal penting sebelum mulai bicara soal pemberdayaan perempuan secara umum.
Dari gambaran di atas, bicara pemberdayaan perempuan tentu sangat berbeda-beda tingkatannya, tergantung lingkungan dan negaranya. Namun, setidaknya dengan keterlibatan perempuan jurnalis dalam mengawal proses itu (baik di tataran internal perusahaan maupun eksternal), suara perempuan akan terus terdengar.